Menyempurnakan Pesona Nirwana
Anak Gimbal adalah fenomena langka. Wujud rambut gimbal yang unik dengan muasalnya yang mistik. Dikombinasikan ritus ruwatan yang sarat simbolik. Dalam pandangan saya, demikian adalah sebuah ‘indigenousity’. Anak gimbal hanya bisa ditemui di Dataran Tinggi Dieng.
Imajinasi saya lantas terbang tinggi. Bisa jadi ‘indigenousity’ anak Gimbal melegitimasi muasal kata Dieng yang berbau perdewaan.Dieng berasal dari gabungan dua kata Bahasa Kawi. "Di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "Hyang" yang bermakna “Dewa”. Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Dieng adalah Negeri Para Dewa. Kehadiran Anak Gimbal adalah demi mengistimewakan Dieng, Negeri Para Dewa.
Kini saya lebih realistis. Mendekati Dieng sebagai sepotong daerah di muka Bumi. Tetap saja Dieng pantas disebut ‘Negeri para Dewa’. Dari pesona alam dan budayanya, Dieng teristimewa layak sebagai ‘nirwana Dewa’ di dunia. Dieng menawarkan setiap sudutnya terukir lekuk keindahan, kekayaan alam serta kesuburan tanah luar biasa. Begitu pula budayanya. Dieng adalah tempat tersebarnya artefak kuno berabad-abad silam. Dan, ‘Indigenousity’Anak Gimbal Dieng hadir menyempurnakan keistimewaan ‘nirwana’ Dieng.
[caption id="attachment_204820" align="aligncenter" width="517" caption="Prosesi pencukuran Ruwat Anak Gimbal di beranda Candi Puntadewa. @iqbal_kautsar"]
Kehadiran saya menyaksikan Ruwatan Anak Gimbal adalah kali ketiga saya mengunjungi Dieng. Bukan hal yang membosankan meski saya tiga kali telah menginjakkan kaki di Dieng. Kawasan dataran tinggi yang berketinggian lebih dari 2000 m ini menyediakan begitu banyak kenikmatan berpetualang.
Kedatangan pertama ke Dieng adalah sebuah perkenalan. Saya anggap perkenalan lantaran menemui tempat-tempat yang telah terkenal di permukaan. Ya, mirip dengan destinasi yang ditawarkan agen wisata. Hanya saja, saya tidak hadir ditemani agen wisata. Melainkan bersama kawan-kawan seperjuangan dalam ekspedisi Valentine “Community Lampah-lampah Rajelas” tahun 2009.
[caption id="attachment_204825" align="alignright" width="310" caption="Golden Sunrise di Sikunir. Salah satu yang terbaik di Indonesia. Photo: @jauharii"]
Waktu itu saya berhasil menyapa terbitnya matahari pagi di Gunung Sikunir (2.263 m). Dari sana petualangan saya bermula di Dieng. Sikunir adalah salah satu dari tempat terbaik menikmati sunrise di Indonesia. Makanya, bisa hadir di sana adalah sebuah keberuntungan dan perjuangan. Sunrise Sikunir adalah kombinasi cuaca cerah dengan upaya tak kenal menyerah mendaki setapak menuju puncak.
Matahari telah meninggi. Saya turun membasuh muka di Telaga Cebong. Telaga ini setia berada di samping Desa Sembungan. Menghidupi desa tertinggi di Pulau Jawa. Airnya bersih mengantarkan saya pada pagi hari yang luar biasa di Dieng.
Berikutnya, Dieng Plateau Theater. Hanya saja saya belum beruntung. Masih terlalu pagi. Teater yang menyediakan tontonan kebencanagunungapian Dieng saat itu belum buka. Candi Bima menjadi destinasi selanjutnya. Menyelami satu artefak peninggalan Hindu Kuno di abad 7 silam. Kekhasan Candi Bima ada pada bentuknya yang mirip dengan Candi-Candi di India.
Kemudian, saya mengejar kijang di Kawah Sikidang. Tapi, jangan tertipu! Tak ada Kijang di sana. Kawah Sikidang dikenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Dari karakter inilah nama Sikidang berasal akibat penduduk setempat melihatnya berpindah-pindah seperti kijang.
Candi Gatotkaca menjadi persinggahan saya selanjutnya. Sekedar sejenak berhenti menemuinya yang berada tepat di tepi jalan. Candi Hindu ini berbentuk bujur sangkar dengan satu pintu di sisi sebelah barat. Sedangkan pada ketiga sisi dinding yang lain terdapat relung berhias kala-makara.
[caption id="attachment_204828" align="alignright" width="226" caption="Candi Gatotkaca. Sepenggal artefak Hindu di Dieng. @iqbal_kautsar"]
Di seberangnya berdiri Museum Kaliasa Dieng. Berisikan artefak dan cerita tentang geologi, flora fauna, kehidupan sehari -hari, dan kesenian daerah Dataran Tinggi Dieng. Saya cukup terpaku memandangnya dari Candi Gatotkaca. Museum Kaliasa sepertinya baru saja mulai menyongsong hari.
Petualangan dilanjutkan menyusuri Dieng ke arah Barat. Cukup berharga untuk bisa menyaksikan instalasi-instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang mencengkeram bukit-bukit Dieng. Instalasi-instalasi ini menyedot energi panas bumi yang begitu kaya terkandung di Bumi Dieng.
Perjalanan saya kemudian menuju Telaga Merdada. Sebuah telaga yang sepi dan tenang dengan hiasan dinding perkebunan kentang. Telaga ini terluas di Dataran Tinggi Dieng. Telaga Merdada cocok untuk menenangkan diri sambil memegang alat pancing mencoba peruntungan mengail ikan.
Kompleks Candi Arjuna adalah titik saya beristirahat pada siang itu yang terik. Kompleks Candi Arjuna terdiri dari candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi, candi Puntadéwa dan candi Sembadra. Candi-candi ini seakan mengembalikan saya ke suasana abad 7-8 lampau. Seperti dulu dimaksudkan sebagai tempat pertapaan, saya pun ‘bertapa’ mengistirahatkan diri. Sayangnya, semilir angin sejuk dari puncak-puncak Dieng, membuat saya tertidur di rerumputan yang mengelilingi candi-candi.
Mendung mulai menggumpal di langit kayangan Dieng. Saya bergegas menuju Telaga Warna. Konon saat sang surya kuat bersinar, Telaga Warna bisa menampakkan khasanah warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung. Sayangnya, kala itu mendung. Saya hanya bisa melihat warna hijau yang dibalut dengan warna putih. Di tepi telaga Warna, saya mengunjungi Goa Semar, Goa Jaran, Goa Sumur yang sejuk dipayungi hutan rimbun.
[caption id="attachment_204833" align="aligncenter" width="506" caption="Telaga Warna yang memesona. Photo: @jauharii"]
[caption id="attachment_204837" align="alignright" width="221" caption="Menapaki tebing bukit Telaga Warna. Pengorbanan menuju sebuah keindahan. @jauharii "]
Namun, pengalaman terbaik di Telaga Warna adalah saat saya bersama kawan-kawan menuju puncak bukit di tepian Telaga Warna. Menduga jalannya setapak, tapi kami harus merayap. Kami menembus hutan dengan kemiringan lereng 75 derajat. Dan, hasilnya luar biasa. Kami melihat Telaga Warna bergandengan tangan dengan Telaga Pengilon di sebelahnya. Telaga Warna tampak hijau akibat belerangnya. Telaga pengilon tetap bening tidak terkontaminasi. Padahal hanya dibatasi rawa kecil berhiaskan rerumputan. Masing-masing menjaga ‘idealismenya’.
Perjalanan perkenalan diakhiri dengan mencicipi kentang goreng di tempat parkir Telaga Warna. Sangat renyah. Renyah di sini bukan karena penggorengannya – api tak mencapai titik didih 100 derajat Celcius di Dieng. Melainkan karena kentangnya masih segar, langsung diambil dari ladang yang melimpah ruah. Dataran Tinggi Dieng adalah salah satu penghasil kentang terbesar di Indonesia.
[caption id="attachment_204843" align="aligncenter" width="501" caption="Telaga Warna dan Telaga Pengilon bergandengan tapi tetap menjaga idealismenya. @jauharii "]
Setahun berikutnya, saya datang ke Dieng untuk kedua kalinya pada Mei 2010. Kali ini sebagai agen wisata sukarela untuk teman saya. Petualangan kedua adalah tentang Napak Tilas Petualangan Pertama. Destinasi yang dituju merupakan cetakan ulang petualangan pertama.
Namun, tetap saja saya menyisipkan beberapa tempat tujuan lain. Kesempatan pribadi memperkaya referensi tentang Dieng.
Sumur Jalatunda adalah salah satunya. Sumur Jalatunda ibarat lubang raksasa di Dieng yang dipenuhi mitos. Konon, masyarakat setempat memercayai sumur ini tembus ke Laut Selatan. Mitos lainnya kalau orang sanggup melempar batu melewati sumur Jalatunda, maka akan terpenuhi harapannya. Sayangnya, tidak tertarik saya menikmati mitos itu. Saya lebih senang menghanyutkan diri mengamati hijaunya air sumur yang tenang dengan beriramakan kicauan burung-burung di sekitarnya.
Destinasi lainnya adalah menyusuri pematang ladang kentang milik penduduk. Ini memang bukan tempat wisata. Namun, aktivitas ini sungguh menyenangkan. Aktivitas ini membuat saya melebur ke dalam realitas asli masyarakat Dieng. Berada di tengah-tengah lahan penghidupan. Berinteraksi dengan petani. Saya ikut menyelami segala keluh kesah perjuangan petani kentang Dieng sepanjang hidupnya.
[caption id="attachment_204847" align="alignright" width="331" caption="Ladang kentang menghiasi lekukan bukit-bukit Dieng. @iqbal_kautsar"]
Kali ini saya tidak meninggalkan Dieng dengan tangan hampa. Saya pulang membawa buah tangan khas Dieng. Carica Dieng dan Cabai Dieng. Carica adalah sebuah lagi ‘indigenousity’ dari Dieng. Di Indonesia, Carica hanya bisa ditemui di Dieng. Buah ini harum, manis dan segar. Carica enak dirasakan terlebih jika dinikmati sebagai manisan. Adapun Cabai Dieng cukup khas sebagai oleh-oleh Dieng. Buah pedas mirip paprika ini tumbuh subur di Dieng. Saya peroleh Cabai Dieng yang masih segar bugar. Langsung dipetik dari ladangnya.
Dan, perjalanan yang ketiga. Saya mantapkan jauh-jauh hari bermaksud menyaksikan Ruwatan Anak Gimbal. Saya ingin melengkapi khasanah perjalanan saya di Dieng dengan upacara budaya yang khas. Tak melulu sekedar menikmati sajian alam dan artefak budayanya. Akhirnya, tujuan saya tercapai. Saya berhasil merekam anak gimbal, prosesi ritual, mitos gimbal, antusiasme masyarakat Dieng, dan perilaku ‘alien’ para turis.
Di lokasi ritus, saya beruntung dapat menjalin kata dan rasa dengan masyarakat setempat. Kami berbincang-bincang seperti sahabat dekat yang telah lama akrab. Mereka sangat ramah dan suka bercerita. Hasilnya, cerita anak gimbal saya dapatkan melimpah.
Saya bertanya kepada seseorang, orang di sekitarnya ramai-ramai ikut memperkaya cerita. Semua semangat menjelaskan ‘indigenousity’ Anak Gimbal Dieng. Sepertinya semua warga Dieng menjadi duta wisata bagi daerahnya. Dari hansip, pemuda sampai orang tua. Mereka benar-benar nyata memiliki Dieng.
[caption id="attachment_204848" align="alignright" width="340" caption="Ramahnya sinar surya pagi menyambut saya di Gardu Pandang Tieng. Eksotis sunrise.@iqbal_kautsar"]
Bonus keberuntungan. Keramahan Dieng tak cuma milik masyarakatnya. Aura keramahan Dieng juga saya dapatkan ketika singgah di Gardu Pandang Tieng. Mentari pagi ikhlas menyambut dengan sunrise yang meneguhkan jiwa. Sinarnya megah membalut Gunung Sindoro – di hadapan saya – dengan warna kuning keemasan. Sindoro gagah berkakikan hamparan ladang kentang beserta pemukiman penduduk di lerengnya. Kabut menghiasi di setiap sudut lekukan pinggangnya. Suasana ini mengantarkan saya serasa terbang tinggi di Negeri di Atas Awan.
[caption id="attachment_204998" align="aligncenter" width="553" caption="Berada di atas awan. Menghadap G. Sindoro. @iqbal_kautsar"]
Kesunyian Pusar Vulkanik Jawa
Tetap saja tiga kali berada di Dieng, saya belum bisa menjangkau semua keanekaragamannya. Tetap saja rasanya masih mengapung di permukaan. Meski sesekali mungkin menyelam dangkal.
Saya perlu introspeksi. Mungkin saya salah memahami Dieng. Ternyata eksistensi Dieng bukan sekedar terwujud karena pesona wisatanya.
Lebih tepatnya Dieng adalah Dataran Tinggi Vulkanik di pusar Jawa Tengah yang membentang luas. Dataran Tinggi Dieng dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Batang. Kendal, Temanggung dan Pekalongan. Hanya saja, Wonosobo dan Banjarnegara yang lebih beruntung. Keduanya lah pemilik titik-titik wisata Dieng yang telah terkenal selama ini.
Meski kagum dengan pesona wisatanya, saya khawatir andaikala semua keindahan itu sirna lantaran begitu rapuhnya Dieng. Saya teringat pada fitrahnya Dieng di dunia ini. Dieng adalah nyanyian sunyi dari sepenggal cincin api Nusantara di Tanah Jawa. Dibalik tirai keindahan alam dan budayanya, tersimpan bencana vulkanik Dieng yang bisa datang sesuka hatinya.
Dieng dulunya adalah sebuah gunung berapi yang sangat besar dan tinggi. Suatu saat gunung tersebut meletus dahsyat. Melemparkan puncaknya ke daerah sekelilingnya. Letusan ini membentuk bukit-bukit besar maupun kecil. Melahirkan Gunung Perahu (2.565 m), Jurang Grawah (2.450 m), dan Gunung Kendil (2.326 m). Serta, perbukitan lain diantaranya Gunung Pakuwojo, Bismo Pangonan dan Sipendu berketinggian antara 2.245 m – 2.395 m.
Kini, meski lampau sekali meletus dahsyat, api Gunung Dieng tidaklah padam. Jejak-jejaknya masih bisa ditemui pada kawah-kawah aktif yang menampakkan diri. Sebut saja, Candradimuka, Sibanteng, Siglagah, Sikendang, Sikidang, Sileri, Sinila, dan Timbang. Kawah Sibanteng, Sinila dan Timbang kerap meletus dan mengeluarkan gas beracun. Rekam sejarah modern menyebutkan Kawah Sinila bersama Timbang pernah memakan 149 korban jiwa pada tahun 1979.
[caption id="attachment_205129" align="alignright" width="339" caption="Telaga Cebong, teman Desa Sembungan. @jauharii"]
Juga, jejaknya bisa disaksikan pada kawah-kawah yang telah mati. Kawah mati ini kemudian terisi air, setia menampungnya. Alhasil, terciptalah telaga-telaga dan sumur-sumur sebagai perhiasan tanah vulkanik. Telaga Warna, Telaga Cebong, Telaga Merdada, Telaga Pengilon, Telaga Dringo, Telaga Nila, dan Sumur Jalatunda adalah telaga-telaga yang menghiasi lipatan-lipatan perbukitan Dieng. Sebagian telaga ini menjadi sumber air penghidupan masyarakat Dieng.