A. PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan menghina, mencela, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh yang dipengaruhi oleh faktor relasi kuasa yang mengakibatkan gangguan mental termasuk menganggu kesehatan reproduksi seseorang dalam memenuhi potensi diri sehingga menghambat dirinya dalam melaksanakan pendidikan dengan baik. Kekerasan seksual juga dapat diartikan sebagai perlakuan yang didasari oleh perbedaan gender yang menyebabkan penderitaan fisik, seksual, atau mental seseorang. Hal ini merupakan tindakan yang bersifat memaksa atau merampas kebebasan diri secara sewenang-wenang, baik di lingkungan publik maupun di rumah. (Yanti, 2011:90)
Pada saat ini, angka kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai angka yang cukup tinggi dan berada pada titik yang mengkhawatirkan. Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), isu kekerasan seksual tercatat sebesar 8.234 kasus yang salah satunya terjadi di beberapa universitas dengan jumlah 27% kasus. Penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi sangat penting. Hal ini muncul karena jumlah kasus kekerasan seksual yang meningkat, terutama yang melibatkan perempuan dan anak. Terdapat sejumlah 4.475 kasus kekerasan seksual pada tahun 2014. Namun, jumlah ini meningkat menjadi 6.499 pada tahun 2015 (Komnas Perempuan, 2018). Dari angka tersebut, perguruan tinggi termasuk kelompok yang memiliki tingkat kasus yang cukup tinggi. Kekerasan seksual pernah terjadi di beberapa perguruan tinggi, baik keagamaan maupun umum, menurut laporan dari majalah Tirto.id dan Tempo. Universitas yang umumnya tempatnya orang berpendidikan, justru juga tidak menjamin tidak adanya kekerasan seksual.
Perguruan tinggi menjadi lembaga pendidikan, tidak hanya mempelajari ilmu, tetapi juga etika dan moral. Apalagi, perguruan tinggi tersebut merupakan perguruan tinggi islam yang mengutamakan norma agama sebagai pedoman dan simbolis dari perguruan tinggi itu sendiri. Maka dari itu, peraturan hukum di sebuah perguruan tinggi sangat penting agar mencegah tindakan-tindakan kekerasan seksual.
Terdapat beberapa alasan mengapa pentingnya pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Pertama, korban kekerasan seksual bisa mengalami dampak fisik, sosial, dan psikologis yang signifikan. Kedua, terdapat beberapa kasus yang dibiarkan dan juga disebabkan karena korban dipaksa untuk bungkam oleh pelaku. Ketiga, kekerasan seksual tidak dianggap sebagai masalah utama karena dianggap normal, contohnya Catcalling, yakni perkataan dengan suara keras yang mengarah ke seksualitas, bersiul, mencolek, dan menyentuh bagian tubuh tertentu, adalah salah satu contoh perlakuan yang tidak dianggap sebagai kekerasan seksual (Melati, 2019).
B. PEMBAHASAN
- Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual tidak hanya merupakan jenis penindasan terhadap perempuan, tetapi juga merupakan pelanggaran HAM. Selama bertahun-tahun, baik pemerintah maupun aktivis hingga akademisi telah berusaha untuk menghentikan kasus kekerasan seksual yang merupakan salah satu tujuan penting dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut undang-undang ini, kekerasan seksual termasuk segala bentuk pelecehan, penghinaan, tindakan menyentuh tubuh dengan hasrat seksual secara paksa. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan dalam hubungan gender yang menyebabkan konflik kuasa, serta alasan lain yang dapat menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, mental, atau sosial (Purwanti, 2018).
- Peristiwa Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang dirasa hal tersebut merupakan tindakan yang biasa hingga dianggap tidak terlalu diperhatikan dikarenakan hal itu mempengaruhi reputasi dan nama baik universitas. Perguruan tinggi seharusnya lebih bisa peduli terhadap kekerasan seksual, salah satunya dengan mengedukasi dan menginformasi tentang kekerasan seksual, keadilan hukum, dan menjelaskan tata cara mengadu jika terjadi kekerasan seksual.
Kejadian kekerasan seksual biasanya dipengaruhi oleh faktor ketimpangan relasi kuasa. Pola relasi kuasa dapat dilihat dari hubungan antara mahasiswa dengan dosen, rektor dengan karyawan, atau lain sebagainya. Akibatnya, blaming victim terjadi jika salah satu korban berani melapor atas tindakan kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Terlebih lagi, kejadian kekerasan seksual disembunyikan dengan alasan untuk menjaga nama baik perguruan tinggi sehingga pelaku menggunakan alasan tersebut untuk menjadi imunitas bagi dirinya (Nikmatulloh ,2020).
Sebagai lembaga yang berfokus terhadap keadilan dan kesetaraan gender, PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) belum pernah menerima laporan korban kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kasus yang dilaporkan dapat dicatat sebagai isu dan diproses apabila ada yang mengajukan. Syarat mengajukan kasus termasuk informasi tentang kronologi peristiwa, harus mencakup berkas data pribadi seperti KTP, KK, akte kelahiran, dan berkas pendukung lainnya.
Berkaitan dengan kekerasan seksual, selain melakukan penanganan, UIN Walisongo Semarang juga melakukan pencegahan yakni membangun lembaga Unit Layanan/Pengaduan yang berfungsi sebagai penerima laporan kasus. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) sebagai pimpinan sektor menjalin kerjasama dengan beberapa unit kampus guna menangani kasus kekerasan seksual. Ada beberapa upaya sikap pencegahan dan penanganan oleh pihak kampus bersamaan dengan lembaga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA). Pertama, melakukan kegiatan sosialisasi SK Dirjen Pendis Nomor 5494 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tingga Keagamaan Islam untuk seluruh civitas akademisi. Hal ini tentunya bertujuan agar dapat memahami ragam kekerasan seksual.