Judul Buku    : Salah Pilih
Pengarang    : Nur St. Iskandar
Penerbit      : Balai Pustaka
ISBN Â Â Â Â Â Â Â : 978-979-407-178-6
Halaman      : 266 hlm
Tahun Terbit   : 2013
Cetakan      : Ketiga puluh tiga
Nur St. Iskandar merupakan salah seorang sastrawan yang produktif dari angkatan Balai Pustaka yang telah menghasilkan kurang lebih 82 judul buku. Salah satunya adalah "Salah Pilih". Sebuah novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun (1928), penulis ingin mengajak kita kembali untuk merasakan keadaan sosial Minangkabau pada masa itu yang masih kental dan tunduk terhadap adat istiadat, yakni beda suku berarti beda adat, pun beda kasta beda adat pula. Sehingga kerap kali terjadi perselisihan antar dua insan yang berbeda suku. Hal itu ditegaskan dengan jelas oleh penulis dalam novel "Salah Pilih" ini.
Pada bagian awal novel tersebut penulis menyajikan sosok wanita paruh baya yang terbaring lemah tak berdaya dalam sebuah bilik rumah gadang, yakni rumah adat Minangkabau yang  kerap kali dijumpai di Sumatera Barat. Ibu Mariati, nama wanita tua yang terbaring lemah itu. Ia tinggal di rumah gadang itu bersama dua orang anak dan adiknya. sering kali Sitti Maliah, adiknya, ingin memberikannya obat agar sembuh pula penyakitnya, namun selalu ditolaknya. Karena ia hanya ingin Asnah, yakni anak angkatnya yang sejak kecil telah tinggal dengan dirinya dan sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri, adik Asri.Â
Asnah memiliki paras yang sangat menarik di mata laki-laki dan elok pula perangainya. Sedangkan Asri, sangat lama tak ia jumpai karena sedang menempuh pendidikannya di Jakarta. Telah lama ibu dan anak angkat itu menunggu kepulangan sang kakak Asnah itu.Â
Sehingga seringkali terfikir oleh Ibu paruh baya itu untuk meminta anaknya segera menghentikan pendidikannya dan tinggal bersama di rumah gadang dengan adik dan bibinya, serta agar anak lelaki itu segera mencari pendamping hidupnya untuk meramaikan suasana rumah gadang yang amat besar itu. Bukan ia egois akan mementingkan dirinya dan kebahagiaannya, mengingat wanita itu telah berumur, dan ia sudah tidak peduli lagi akan kematian di depan matanya asalkan ia bisa bersama-sama berbahagia dengan Asnah, Asri dan istrinya, juga adiknya Sitti Maliah, kelak di akhir hayatnya.
Asnah sebenarnya selalu meminta kepada Ibu Malriati agar ia menceritakan tentang kedua orang tua kandungnya itu sebab dia sudah cukup umur untuk mengetahui hal itu. Ibu Mariati enggan menceritakannya karena takut perasaan Asnah nantinya menjadi canggung dan asing di rumah itu. Akan tetapi, Asnah memaksanya sehingga ia tak kuasa melihat paras anak gadis itu yang memohon. Akhirnya diceritakannya lah bahwa Asnah merupakan anak dari lelaki dermawan nan bijaksana, pun seorang anak dari keluarga bangsawan.Â
Ayahnya rela diusir dari rumahnya meninggalkan harta benda milik kedua orang tuanya karena ia menikah dengan ibu Asnah, yakni wanita yang bukan dari keluarga bangsawan. Memang adat pada kala itu sangat menyeramkan, yang kaya harus bergaul dengan yang kaya sedangkan yang miskin dipandang sebelah mata, hina jika orang dari keluarga bangsawan bergaul dengan orang miskin, dan merasa turun derajat. Sehingga ayahnya pergi dengan ibunya ke suatu tempat untuk merantau dan berpencaharian sendiri.Â
Ketika ayahnya hendak melakukan suatu pekerjaan, dalam sebuah perjalanan rombongannya pun dirampok tanpa sisa oleh kolonial Belanda sehingga menyisakannya yatim, terdengarlah kabar tersebut oleh Ibu Mariati, dan dipanggilnyalah Ibu Asnah itu untuk tinggal bersamanya sebagai orang yang membantu di rumah itu. Saat usia Asnah genap 3 tahun ia ditinggal oleh Ibunya untuk selamanya, sehingga Asnah menjadi yatim piatu. Tapi, Ibu Mariati menganggap dan menerima Asnah sebagai anak kandungnya sendiri yakni Adik Asri sampai kapanpun juga.
Penantian lama yang tak kunjung usai antara Ibu Mariati dan Asnah kini telah selesai. Asri pulang dari perjalanan panjangnya menempuh pendidikan, Ibunya sudah tak sabar akan melihat paras anak muda itu yang sudah lama tak ia jumpai dan sesegera mungkin ia akan menyampaikan hajatnya, yakni segera menikahkan Asri dan tinggal bersamanya di rumah gadang. Namun Asnah enggan bertemu dengan Asri itu karena sebetulnya telah lama ia menyimpan perasaan kepada anak muda itu, bukan perasaan sebagai adik dan kakak, tetapi perasaan wanita kepada seorang laki-laki pada umumnya. Karena mereka bukan saudara kandung jadi menurut agama diperbolehkan.Â
Lain lagi jika menurut adat, jika ketahuan seperti itu maka akan dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang tak beradat. Ibu Mariati menyampaikan hajatnya itu kepada Asri atas dasar yang sangat kuat sehingga Asri tidak dapat menolak hajat ibunya itu, segera ia menuruti apa kata ibunya. Lain dengan Asnah, ia sangat bersedih akan hal itu terjadi. Namun, bagaimana pula akan mengelaknya, itulah yang akan membuat ibu senang di sisa akhir hidupnya.
Berapa minggu sudah Asri mencari wanita yang kelak menjadi pasangan hidupnya, namun tidak satupun yang bisa merenggut hati Asri. Asri merupakan anak muda yang ramah tamah, baik tuturnya, pun dermawan pula dirinya. Ia sangat tidak senang akan adat sukunya yang amat merepotkan, Asri lebih suka melakukan hal yang dermawan meski melanggar adat, selama tidak bertentangan dengan agama ia masih berani. Karena dianggapnya adat sukunya itu kuno, anak bangsawan dikira perlu menikah dengan banyak istri, jika tidak maka malu keluarga anak bangsawan tersebut.
Sedangkan Asri tidak suka akan hal itu, ia lebih memikirkan perasaan salah satu perempuan, menurutnya satu sudah cukup untuk menjalin kebahagiaan selama-lamanya. Terlebih sangat berbeda dengan pergaulannya di Jakarta.
Asri akhirnya menemukan perempuan yang elok parasnya, manis dipandangnya, berpendidikan pula perempuan itu. Saniah namanya, ia berasal dari keluarga bangsawan yang dipandang sangat mengerikan bagi kaum miskin karena Ibunda Saniah yakni Rangkoyu Saleah melarang tegas antara bangsawan dan orang miskin berpapasan. Tapi karena Asri juga berasal dari keluarga yang kaya raya, banyak sawah dan ladang yang dimilikinya, juga harta Ibu Mariati sangat melimpah ruah, tidak ada alasan bagi Ibunda Saniah untuk melarang anaknya menikah dengan Asri. Terlebih lagi Asri telah menjadi pegawai kantor di negeri itu.
Perasaan Asnah sangat kacau kala itu, ia sebetulnya tak sanggup untuk melihat Asri menikah, tapi apalah daya. Berlangsunglah upacara pernikahan Asri dengan Saniah, yang segala pertunangan hingga pernikahannya itu, semua diatur oleh adat. Kini anak muda itu sudah tidak lajang lagi, sekarang ia beristeri. Bahagia sudah Asri telah mengabulkan permintaan Ibunya itu.
Sehari dua hari telah berlalu, adat setelah menikah pun telah mereka lewati, dimana pihak laki-laki harus diam di kediaman istri selama dua minggu, kini Saniah telah dibawanya pula ke rumah gadang sesuai yang dihajatkan oleh Ibu Mariati. Dengan sangat gembira orang rumah menyambut pasangan pengantin baru itu, tetapi ada hal yang membuat Ibu Mariati beserta yang lain dirumah bersedih, ketika Saniah dijamukan dengan berbagai macam kue-kue, ia tak mengindahkan suasana itu melainkan langsung pergi saja ke kamarnya. Menurut Saniah duduk sejajar dengan orang yang bukan bangsawan adalah bukan adat yang baik baginya. Di rumah gadang itu siapapun boleh masuk tak memandang kasta serta harta mereka, semuanya duduk sama rata. Dari sini sudah terlihat jelas perbedaan adat yang jauh berbeda antara adat di rumah gadang dan adat di rumah berukir, yakni rumah Saniah tinggal bersama keluarga bangsawannya.
Setelah tahu bahwa kedua adat tersebut bertentangan akhirnya rumah tangga antara Asri dan Saniah tidak berlangsung baik, sering sekali mereka mempertikaikan perihal adat. Saniah yang tidak mau menurut akan perintah Asri padahal ia adalah suaminya, pun Asri tidak mau bertekuk lutut kepada istrinya yang seenaknya itu. Bahkan Asnah dipandang rendah di matanya karena ia bukan adik kandungnya Asri, melainkan hanyalah anak budak yang seharusnya mengikuti perintahnya. Seperti itulah siklus rumah tangga Asri yang tiada ujung. Air mata telah banyak jatuh di antara Asnah, Ibu Mariati, Asri, begitu juga Saniah lawannya.Â
Menyaksikan selalu perselisihan antara Asri dan Saniah, ibunya merasa bersalah akan hal itu. Bukan rumah tangga yang seperti ini yang ia mau. Meskipun Asnah dan Asri selalu bersabar dan bijaksana dalam menghadapi perangai Saniah yang tidak baik itu, namun mereka hanya perlu bersabar lebih lama lagi agar Saniah bisa mendapat hidayah dari Allah SWT. Karena sudah banyak pula nasihat yang diberikan baik dari Asri, Ibu Mariati, begitu juga Asnah. Saniah sangat mirip sekali perangainya dengaan Rangkoyu Saleah, ibunya.
Memang niat Saniah menikah dengan Asri bukan atas dasar kecintaan, melainkan agar Asri takluk dan menuruti segala keinginannya. Namun hal itu tidak akan pernah terjadi dikarenakan Asri adalah orang yang bijaksana pula. Berbagai cara telah Saniah lakukan agar suaminya itu takluk akan dirinya.
Ibu Mariati telah merasa pada dirinya bahwa waktunya sudah tidak lama lagi, dan akan berpulang untuk selama-lamanya. Namun sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya ia berpesan kepada Asnah, Asri, dan Siti Maliah.Â
Bahwa pernikahan Asri ini sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, alangkah baiknya jika Asri dan Asnah menikah, tentu itu akan membuat suasana rumah gadang menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Selepas itu Ibu Mariati telah tiada dan kalimat terakhir yang ia ucapkan ialah kalimat "laa ilaha illallah Muhammadu Rasulullah..". Suasana sekampung itu pun mulai merasa kehilangan akan Ibu yang berbaik hati itu, terlebih bagi Asnah dan Asri.
Berlalu sudah duka cita keluarga tersebut, Asnah dilamar oleh seorang lelaki yang bernama Hasan Basri, kala itu ia telah kaya karena mendapat harta warisan kakaknya. Sehingga ia berani melamar Asnah, namun Asnah menolak akan lamaran itu karena ia telah berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan menikah.
Asri baru menyadari akan ternyata wanita yang ia cari selama ini bukannya Saniah melainkan Asnah yang sejak dahulu selalu bercengkrama dengannya sudah susah senang bersamanya, terlebih Asri lebih nyaman ketika ia bertukar cerita dengan Asnah, Ternyata selama ini ia telah buta akan ketulusan Asnah kepadanya, Asri menaruh rasa pula kepada Asnah bukan sebagai kakak kepada Adik melainkan rasa cinta kepada seorang kekasih. Tapi apalah daya ia telah menikah dengan wanita yang dipilihnya.
Asnah pergi dari rumah gadang itu bersama Ibu Maliah karena sudah tidak ada lagi yang membutuhkannya disana, terlebih Saniah sangat tidak suka kepadanya. Kini ia tinggal bersama Ibu Maliah di Bayun dengan sangat ramah tamah pula orang-orang yeng bertetangga dengannya disana. Lain dengan Asri yang kini selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya sebagai bentuk pelampiasan dari kesedihannya karena ditinggal oleh orang-orang yang sangat dicintainya. Kini rumah gadang itu menjadi sangat berbalik keadaan dibanding semasa ada Ibu Mariati dan Asnah disana.
Dari Negeri seberang sana Ibunda Saniah memintanya untuk datang ke rumah ukir, karena kandanya itu telah menikah di Padang dengan wanita yang tidak jelas asal usulnya tanpa seizin Rangkoyu Saleah, karena itu sudah menurunkan derajatnya. Padahal ayahnya Dt. Indomo serta Tuanku Laras mamaknya mengizinkannya untuk menikah dengan perempuan yang dipilihnya. Saniah tiba dengan pengutus yang diutus Ibunya dan segera berkemas untuk berangkat ke Padang menemui anak yang tak patuh itu.Â
Suaminya Dt. Indomo melarang ia untuk pergi, namun karena kebengisannya ia pun bersama Saniah dan pengawalnya pergi begitu saja. Di tengah perjalanan entah memang sudah takdir atau balasan dari Allah SWT atas kelakuan ibu dan anak itu kepada orang yang tak bersalah sangat di luar batas. Sehingga didapatinya kecelakaan yang amat dahsyat, mobilnya terlempar jauh dari atas tebing ke sebuah danau sehingga tak terselamatkanlah ibu dan anak tersebut, kuasa Allah supir dan pengawal masih hidup bahkan pengawal tidak terluka sedikit pun.
Asri, Dt. Indomo, Rusiah kakanya Saniah sangat berduka cita memohonkan ampun kepada Allah SWT akan dosa yang telah diperbuat oleh kedua Ibu dan Anak itu. Kini Asri tiada beristri. Berlalu sudah sekian bulan tragedi tersebut kini ia hanya seorang diri di rumah gadang itu, sudah banyak wanita yang hendak melamar Asri untuk menjadi suaminya dengan berbagai macam dalih harta kekayaan. Namun bukan kekayaan yang Asri mau melainkan kebahagiaan dalam rumah tangga yang ia inginkan. Dan kebahagiaan itu ia dapati dalam diri Asnah, Adindanya.
Mulai berbincang dia dengan kepala suku agar diperizinkannya menikah dengan Asnah. Namun, kepala suku tetap melarangnya ketika ia nekat melakukan hal tersebut maka ia akan dikucilkan bahkan diusir dari kampung halamannya itu, Sungaibuitang. Ia tetap pada pendiriannya tidak akan menikah kecuali dengan Asnah baginya itu tiada melanggar agama karna mereka tidak sedarah pula.Â
Kemudian ia memutuskan untuk mendatangi kebahagiaanya itu di banyun dan menikahinya dengan segala fikir panjang meninggalkan harta kekayaan yang ia miliki serta tanah yang diwariskan ibunya. Kemudian ia menemui sang penenang hatinya di banyur, berencana merantau dan menikah dengan Asnah di negeri rantauan. Ibu Maliah berfikir mengapa harus repot-repot menikah di Negeri rantauan disini pun mereka bisa menikah. Ibu Maliah mencarikan penghulu dengan diam-diam malam hari menikahkan kedua insan itu, kemudian mereka pergi meninggalkan segala-galanya.
Ke Jakarta mereka merantau tidak mempunyai apapun selain harus mulai mencari pencaharian, di sana kedua insan itu tinggal di sebuah rumah kontrakan sambil mempelajari banyak hal baru. Belum lama di Jakarta, Asri mendapatkan pekerjaan yang layak baginya dengan pangkat yang tinggi sedangkan Asnah belajar banyak hal tentang R.A. Kartini yang sangat menjunjung kaum perempuan. Setaun lebih sudah berlalu, mereka bahagia hidup disana dan bercengkrama dengan para tetanggnya pula, saling mengasihi satu sama lain dan tertawa riang.
Selepas itu walaupun awal mereka pergi itu sangat dibenci dan dicemooh oleh orang kampungnya. Namun, mereka mendapat surat kabar dari Dt. Bendahara kampung asalnya bahwa mereka sangat dibutuhkan bagi masa depan masyarakatnya. Sehingga semua warga telah sadar akan kebencian dan cemoohan yang mereka lemparkan kepada Asnah dan Asri ialah salah. Asri dipinta untuk menjadi kepala Negara. Kedua suami istri itu pulang kembali ke kampung halamannya atas suruhan masyarakat, juga akan membangun segalanya yang telah rusak. Pun akan membekali masyarakat setempat akan pentingnya pendidikan bagi hidup. Sentosalah sudah hidup Asnah dan Asri di tempat asalnya itu.
Nur St. Iskandar sangat amat rapih mengemas kisah yang terjadi di Minangkabau, Sumatera barat itu. Banyak sisi yang dapat diambil dalam Novel ini. Mulai dari percintaan, perkawinan, adat, agama, balas budi, dan harta kekayaan. Semuanya sudah dikemas rapih oleh penulis agar pembacanya dapat mengerti keadaan sosial yang rumit dilalui di Negeri tersebut. Banyak pesan moral yang terdapat dalam Novel ini, rupanya penulis ingin mengingatkan kepada banyak orang untuk jangan pernah libatkan kekayaan dalam sebuah percintaan, karena hakikatnya kekayaan tidak akan menjadi tolak ukur kebahagiaan seseorang.
Di samping banyaknya kelebihan dalam Novel tersebut, banyak pula beberapa kosa kata yang sulit dipahami sehingga harus menelaah baik-baik apa maksud kata tersebut. Tetapi ada sebuah pelajaran berharga dari Novel "Salah Pilih" ini, bahwa baik buruk suatu hal yang kita lakukan semuanya akan ada balasannya, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula, pun dengan kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H