Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis buku "Keliling Sumatera Luar Dalam" dan "Keliling Nusa Tenggara Luar Dalam"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perpanjang Sim C (Harusnya) Tidak Lebih dari Rp100 Ribu dan Tidak Lebih dari 30 Menit

24 Maret 2015   21:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini SIM menjadi kartu identitas kedua bagi masyarakat
Indonesia, setelah KTP. Tapi prosedur yang ada dalam pembuatan atau
perpanjangannya masih saja belum jelas seperti apa yang seharusnya. Karena
sudah menjadi semacam pembiasaan, jadi praktek2 arahan membeli asuransi dulu
masih subur. Tentang tes kesehatan juga tidak jelas arahnya ke mana. Masyarakat
mengikutinya mungkin karena malas bolak-balik dan malas ribet. Berikut cerita
pengalaman saya memperpanjang SIM C hari ini di Samsat Cipinang, Jakarta Timur..

Satu minggu sebelumnya, saya di-stop polisi (terkahir
di-stop mungkin dua tahun lalu) dan ditanyakan SIM dan STNK. Baru di situ saya
sadar bahwa SIM saya sudah mati sejak 10 bulan lalu. Maka hari ini (24 Maret
2015) saya ke Samsat Cipinang untuk mengurusnya.

Saya sudah googling prosedur perpanjanjang SIM seperti apa
dan biayanya berapa. Rata-rata menghabiskan lebih dari Rp100 ribu. Tiga
komponen biayanya adalah dari biaya perpanjang itu sendiri (lewat BRI), biaya
tes kesehatan, dan biaya asuransi. Saya berniat tidak mau begitu saja menerima
pembebanan tersebut kalau tidak ada kuitansinya.

Di depan pintu kantor perpanjang SIM, terdapat tulisan
jadwal pelayanan penerbitan dan perpanjang SIM. Senin-Kamis pukul 08.00 – 13.30.
Jumat pukul 08.00 –13.30 (istirahat Shalat Jumat 11.30 – 12.30). Sabtu 08.00 –
12.00.

Dengan jadwal itu, saya berasumsi istirahat siang para
petugas baru setelah jam pelayanan (13.30). Tetapi saya keliru. Pukul 11.40
saya datang, kantor sudah tutup. Dan dikabari baru buka lagi pukul 13.00. Kalau
memang seperti itu, menurut saya, sebaiknya jam istirahat Senin-Kamis juga
ditulis di pengumuman jam pelayanan. Atau jangan2 seharusnya memang tidak ada
istirahat?

Pukul 12.45 saya kembali lagi dan tidak lama setelah itu
pintu dibuka. Seorang petugas yang berdiri dibalik meja bertuliskan “Informasi”
saya tanya mengenai prosedurnya seperti apa. Namanya Pak Sitepu. Saya
memperkenalkan diri sebagai wartawan dan ingin share informasi di media atau
blog saya mengenai prosedur perpanjang SIM. Dia mengarahkan untuk tes kesehatan
dulu, lalu membayar asuransi dan membayar biaya perpanjangan di loket BRI.

“Kesehatan itu bukan wajib, tapi harus. Asuransi bukan
keharusan, tapi kesehatan itu harus,” kata Pak Sitepu.

Tapi Pak Sitepu mulai tidak mau memberikan informasi secara
lugas setelah saya tanyakan apa boleh informasi ini saya sebarkan di media?

Pak Sitepu lantas mengarahkan saya untuk “berkoordinasi” di
loket 1 dengan Ibu Sulis. “Ke dalam dulu, koordinasi Pak. Koordinasi dulu di loket
1. Ke dalam ada Ibu Sulis,” kata Pak Sitepu.

Lantas saya mendatangi loket 1 dengan nama Aiptu Sulistiyani
di depannya. “Ibu Sulis?” sapa saya?

“Iya, ada apa?” kata Aiptu Sulis.

“Saya ingin menanyakan prosedur yang sebenarnya untuk
perpanjang SIM di sini. Juga saya mau tanya jam kerja di sini. Karena tadi saya
11.40 sudah tutup,” kata saya.

“Saya harus lapor atasan saya dulu… Yang tutup pintu siapa
(maksudnya: kan saya atau tim saya yang tutup pintu). Kan di sini baru istirahat
tadi jam 12 tutup pintu,” jelas Aiptu Sulis.

“Kalau saya punya bukti foto 11.40 di sini sudah tutup, apa Ibu
masih mau menyangkal?” saya bertanya.

“Saya telepon atasan saya dulu,” kata Aiptu Sulis.

Dalam hati saya, kok ribet amat ya cuma mau dapat statement
prosedur yang benar untuk perpanjang SIM. Yang ditugasi berdiri di meja
informasi lempar ke dalam. Yang di dalam lempar ke atasannya. Atasannya entah
di mana.

Semenit kemudian, seorang polisi mendatangi saya. Namanya
Pak Kuswanto. Pak Kuswanto langsung sigap melayani perpanjang SIM saya. Dia
meminta SIM lama dan KTP saya untuk di-fotocopy. Lantas saya diminta untuk
bayar ke loket BRI sebesar Rp75.000.

Di loket BRI saya dimintai hasil Tes Kesehatan. Saya
menggeleng. “Tidak bisa Pak, harus tes kesehatan dulu,” kata petugas BRI.

Melihat saya kebingungan, Pak Kuswanto memasukkan kepalanya
ke loket BRI lalu memberi suatu pesan ke petugas BRI, entah apa. Saya tidak
bisa mendengar karena seperti berbisik. Yang jelas, petugas BRI langsung memproses
pembayaran saya.

Lalu saya diarahkan untuk Tes Kesehatan di sebuah ruangan.
Terlihat sekitar 5 orang mengantri di depan ruangan itu. Pak Kuswanto menyuruh saya
langsung masuk, tanpa mengantri.

Di dalam ruang tes kesehatan itu duduk seorang wanita muda
dan langsung mengatakan, “Biaya tes kesehatan Rp25.000.”

“Ok, boleh saya minta kuitansinya?” saya bertanya.

“Boleh,” jawabnya singkat. Lalu saya diberikan kuitansi
dengan cap atas nama Dr Lystia Vidya Pratiwi

Tes kesehatan di sini hanya tes buta warna. Saya bisa dengan
mudah membaca nomor2 yang ada di dalam beberapa gambar abstrak. Tidak ada tes
lain selain tes buta warna itu. Kalau hanya tes buta warna, dan di pembuatan
SIM sepuluh tahun lalu saya sudah dites hal yang sama, buat apa prosedur ini
diharuskan dijalani? Buta warna adalah penyakit genetik. Jadi, kalau sudah
dites sekali tidak buta warna, maka selamanya tidak akan buta warna. Buat apa
tes ini dilakukan di setiap proses perpanjang SIM?

Saya diarahkan Pak Kuswanto ke loket 1 lagi untuk mengisi
formulir mengenai beberapa data diri. Lalu cap jari, tanda tangan, dan foto di
loket foto. Terakhir, mengambil SIM yang sudah jadi. Semua atas arahan Pak Kuswanto.

Rentang waktu sejak Pak Kuswanto meminta SIM lama dan KTP
saya, sampai saya bisa memegang SIM hasil perpanjangan, hanya 20 menit! Andai
seluruh petugas pelayanan SIM seperti Pak Kuswanto, yang betul-betul melayani
masyarakat untuk mengurus SIM-nya, wah bagus sekali.

Saya puas dengan servis di Samsat Cipinang, terutama karena
ada Pak Kuswanto-nya. Yang masih mengganjal adalah keharusan melakukan tes
kesehatan yang esensinya hanyalah tes buta warna. Saya sudah menghubungi
081236896888 untuk menanyakan mengenai prosedur tes kesehatan ini, tetapi tidak
diangkat terus. Nomor tersebut terpampang pada spanduk di dalam Samsat Cipinang.
Tulisannya seperti ini:

PELAYANAN TANPA PENYIMPANGAN

NOMOR PENGADUAN 081236896888

Kalau nomornya susah dihubungi, bagaimana masyarakat bisa
bertanya atau mengadu?

Semoga tulisan saya ini bermanfaat J

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun