“Saya ingin menanyakan prosedur yang sebenarnya untuk
perpanjang SIM di sini. Juga saya mau tanya jam kerja di sini. Karena tadi saya
11.40 sudah tutup,” kata saya.
“Saya harus lapor atasan saya dulu… Yang tutup pintu siapa
(maksudnya: kan saya atau tim saya yang tutup pintu). Kan di sini baru istirahat
tadi jam 12 tutup pintu,” jelas Aiptu Sulis.
“Kalau saya punya bukti foto 11.40 di sini sudah tutup, apa Ibu
masih mau menyangkal?” saya bertanya.
“Saya telepon atasan saya dulu,” kata Aiptu Sulis.
Dalam hati saya, kok ribet amat ya cuma mau dapat statement
prosedur yang benar untuk perpanjang SIM. Yang ditugasi berdiri di meja
informasi lempar ke dalam. Yang di dalam lempar ke atasannya. Atasannya entah
di mana.
Semenit kemudian, seorang polisi mendatangi saya. Namanya
Pak Kuswanto. Pak Kuswanto langsung sigap melayani perpanjang SIM saya. Dia
meminta SIM lama dan KTP saya untuk di-fotocopy. Lantas saya diminta untuk
bayar ke loket BRI sebesar Rp75.000.
Di loket BRI saya dimintai hasil Tes Kesehatan. Saya
menggeleng. “Tidak bisa Pak, harus tes kesehatan dulu,” kata petugas BRI.
Melihat saya kebingungan, Pak Kuswanto memasukkan kepalanya
ke loket BRI lalu memberi suatu pesan ke petugas BRI, entah apa. Saya tidak
bisa mendengar karena seperti berbisik. Yang jelas, petugas BRI langsung memproses
pembayaran saya.
Lalu saya diarahkan untuk Tes Kesehatan di sebuah ruangan.
Terlihat sekitar 5 orang mengantri di depan ruangan itu. Pak Kuswanto menyuruh saya
langsung masuk, tanpa mengantri.
Di dalam ruang tes kesehatan itu duduk seorang wanita muda
dan langsung mengatakan, “Biaya tes kesehatan Rp25.000.”
“Ok, boleh saya minta kuitansinya?” saya bertanya.