Tugas Sosiologi Hukum
Nama  : M. Akma Iqbal Hamdani
NIM Â Â Â : 222111366
Kelas   : HES 5E
Dosen  : Dr. Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.
Disini saya mengambil dari kasus Hak Perdata Anak dari seorang penyanyi Indonesia yaitu Machica Mochtar, yang menikah dengan Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara pada masa pemerintahan Presiden Soeharto) dengan perkawinan secara siri (rahasia, tidak legal). Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Muhammad Iqbal Ramadhan. Namun sejak berusia dua tahun sang anak tidak pernah berjumpa dengan ayahnya, akibat cerai dari ibunya. Dari situ mulai terjadi persengketaan yang tak kunjung usai Machica untuk mencari pengakuan atas anaknya dari hasil hubungannya yang tidak diakui oleh negara dengan Moerdiono tersebut. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010,3 anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah siri status hukumnya sama dengan anak luar kawin hasil zina yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya (lihat Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam konteks Indonesia nikah siri di kenal juga nikah di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin dan kerap pula disebut kawin kiyai.
Analisis
Dari kasus diatas dapat dianalisis menggunakan cara pandang filsafat hukum positivism, dimana menurut cara pandang dari John Austin yang mencetuskan bahwa hukum adalah perintah dari otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang untuk mematuhinya, juga disertai dengan ancaman sanksi bagi yang melanggar. Dalam kasus Machica Mochtar ini perintah dari penguasa adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 dapat dianggap sebagai perintah dari otoritas hukum tertinggi di Indonesia. Dan kepatuhan dan sanksi yang dapat diambil dari teori Austin ini yaitu hukum yang dihasilkan oleh MK harus dipatuhi oleh semua pihak, dan ketidakpatuhan dapat berakibat pada sanksi hukum. Dengan demikian, pengakuan hak perdata anak luar kawin yang tidak dicatatkan negara dengan ayah biologisnya adalah hasil dari perintah hukum yang sah setelah adanya putusan MK tersebut. Lanjut dari cara pandang Hans Kelsen dimana beliau mengembangkan teori hukum murni (pure theory of law) yang memisahkan hukum dari moral dan politik. Kelsen menguraikan bahwa hukum adalah sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen). Bagi Hans Kelsen, norma merupakan produk pemikiran manusia. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma, yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik. Dalam kasus ini terdapat hierarki norma yaitu putusan MK berada dalam hierarki norma hukum yang sah, di mana MK memiliki kewenangan untuk menafsirkan konstitusi dan menguji undang-undang. Selain itu validitas hukum yang tidak bergantung pada moralitas, tetapi pada prosedur pembentukan hukum yang sah. Putusan MK ini valid karena dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang sesuai prosedur yang berlaku. Kemudian adapun cara pandang dari H.L.A. Hart yang membedakan antara hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer adalah aturan yang mengatur perilaku, sedangkan hukum sekunder adalah aturan tentang bagaimana hukum primer dibuat, diubah, atau dihapus. Dalam kasus ini hukum primernya adalah terletak pada Pasal 43 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur hubungan perdata anak luar kawin dengan ibunya, sedangkan hukum sekundernya adalah putusan MK yang mengubah interpretasi hukum primer, sehingga anak luar kawin juga memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika dapat dibuktikan secara ilmiah (misalnya, melalui tes DNA).
Mazhab Hukum Positivism
Mazhab hukum positivism adalah aliran dalam filsafat hukum yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas. Aliran ini berpendapat bahwa hukum adalah peraturan yang dibuat oleh otoritas yang berwenang dan harus ditaati tanpa mempertimbangkan aspek moral atau etis.