Mohon tunggu...
Iqbal Fiqry
Iqbal Fiqry Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Biasa

Saya adalah Seorang Mahasiswa di Salah Satu Universitas Swasta di Kota Tangerang yang mengambil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Selain sebagai mahasiswa aktif, saya juga turut ikut terjun dalam Organisasi Kampus. Saya mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Kampus serta saya Aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM FISIP)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Electric Vehicle, Sebuah Solusi atau Arogansi

6 Desember 2023   09:44 Diperbarui: 6 Desember 2023   09:53 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Investing Network

Kendaraan Listrik atau yang kerap juga disebut dengan Electric Vehicle (EV) tengah menjadi perbincangan Publik. Kendaraan ini dianggap sebagai sebuah Solusi untuk mengatasi Polusi udara serta perubahan iklim dengan mengurangi jumlah Emisi Karbondioksida yang dihasilkan oleh sejumlah kendaraan berbahan bakar minyak bumi. Kendaraan Listrik juga dikalim lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkanemisi gas buang serta memiliki biaya operasional yang lebih murah dan efisien.

Indonesia sendiri masuk dalam jajaran pengguna kendaraan berbahan bakar tertinggi di Dunia, Adapun menurut Pew Research Centre dalam surveinya pada Juli 2023 yang dilansir dalam laman sohib.indonesiabaik.id Indonesia mendapatkan peringkat 3 dari Total 10 Negara dengan Penggunaan Sepeda Motor Tertinggi di Dunia dan Skor yang didapatkan ada di angka 85%.. Disisi laim, Menurut Asean Automotive Federation (AAF) Indonesia mendapat Peringkat Pertama sebagai Konsumen Kendaraan Roda Empat dikawasan Asia Tenggara pada tahun 2022 dengan Penjualan sekitar 475.321 Unit diikuti Thailand di Posisi kedua. Fenomena ini tentu menjelaskan bahwa Masyarakat Indonesia memiliki Kebutuhan yang lebih terhadap Akses Kendaraan Berbahan Bakar.

Kendaraan Listrik menjadi sebuah Primadona karena dianggap dapat mengatasi permasalahan Polusi yang ada di dalam negeri, terlebih pada beberapa pekan lalu sudah kita ketahui bahwa DKI Jakarta sebagai Pusat Ibu Kota hamper mengalami kelumpuhan kualitas udara karena masuk dalam suasana berkabut akibat Polusi Udara. Berbagai Kebijakan Pemerintah Mulai diterapkan demi mendorong segala upaya pengembangan serta implementasi secara merata terkait Kendaraan Listrik ini yang dianggap sebagai salah satu Solusi baik. Presiden Joko Widodo sendiri menyatakan secara langsung bahwa Pemerintah akan melakukan dorongan besar agar Kendaraan Listrik dapat di pakai secara menyeluruh sehingga Indonesia nantinya akan menggunakan energi listrik untuk kendaraannya. Bahkan Pemerintah memberikan Subsidi sebesar Rp. 7 Juta perunit untuk 200 Motor Listrik pada 2023 serta Insentif Kendaraan Listrik yang akann diberikan pada Konversi kendaraan BBM menuju Listrik yang besarannya sama untuk 50.000 Unit. "Terus akan kita dorong ekosistem besar dari hulu sampai hilir untuk mobil listrik, terus akan kita dorong disambungkan dengan pembangunan industri-industri yang berkaitan dengan EV battery. Ini yang akan kita lakukan terus," Ungkap Preside Joko Widodo seperti dilansir dalam laman Sekretariat Kabinet RI (14/02/2023).

Seperti dua mata koin, pergantian energi ini tentu akan memiliki dua dampak serta pengaruh yang cukup kuat. Kendaraan Listrik memiliki sisi gelap yang terkadang luput dari perhatian banyak pihak. Produksi dari Kendaraan ini tentu akan membutuhka sejumlah Komponen Utama seperti Baterai yang tentu berasal dari Kobalt, Nikel, hingga litium yang kemungkinan akan dapat habis suatu saat nanti. Ditambah Penambangan Kobalt sendiri yang merupakan bahan pokok untuk baterai akan berdampak terhadap lingkungan sekitar diantaranya terjadinya pencemaran air, tanah, serta hutan akibat dari limbah ataupun pembukaan lahan pertambangan yang secara Besar besaran akan di lakukan.

Dari sisi perekonomian, Praktisi Ekonomi Faisal Basri juga menyebutkan bahwa Langkah yang diinginkan oleh pemerintah yang juga dalam hal ini untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri dengan mencoba melakukan Pembangunan Hulur ke Hilir dengan menyekat Bijih Nikel sebagai salah satu bahan pokok dari Sarana Kendaraan Listrik ini akan membuat Indonesia terjebak. Karena ia menganggap tidak ada satu Negara di Dunia yang dapat Memproduksi 100% komponen yang jumlahnya ribuan dari negaranya sendiri dan lebih jauhnnya Ia menyebut Ini adalah peristiwa Deindustrialisasi. "Harusnya berkaca jika Indonesia sedang mengalami gejala dini deindustrialisasi" tegasnya dikutip dalam otomotif.bisnis.com (21/05/2023).

Dilematis ini menghasilkan banyak kritik akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait Percepatan Kendaraan Listrik bahkan Subsidi. Sebagian pihak juga menganggap dilematis serta kebijakan yang bahkan dengan surplus Subsidi untuk Kendaraan Listrik ini akan menghasilkan tanda tanya terkait siapa dalang dari Produsen dalam aspek ini. Pengamat Politik Rocky Gerung menilai bahwa kebijakan yang diambil ini terkesan ugal -- ugalan dan menyebutnya sebagai kebijakan yang tidak demokratis. "Kalau kita mau kembangkan Industri ramah lingkungan, mobil listrik misalnya lakukan dengan proses demokratis, bukan hanya tiga empat orang yang memonopoli pasar" tegasnya dikutip dalam kanal youtube Rocky Gerung Official (22/02/2023). Pesimistis ini terjadi sebagai akibat bahwa diketahui terdapat deretan Pejabat Pemerintahan secara Personality yang memiliki andil sebagai bagian dari Transformasi Kendaraan Listrik dengan sejumlah konglomerat.

Dari Perspektif akademis, tentu perlu kita soroti dengan seksama bagaimana kebijakan ini akan menjadi Bumerang nantinya. Indonesia yang sarat dengan banyaknya pengguna kendaraan tentu akan menjadi semakin penuh dengan kendaraan jika kebijakan ini terus menerus mendapat suplai, sementara yang kita ketahui kemacetan terjadi dimana mana dan salah satu upaya penyelesaian hal ini tentu adalah menambah roda transportasi umum. Penambahan ini juga harus diikuti dengan pengembangan pelayanan serta jumlah armada yang dibutuhkan dengan berbagai rute sehingga dapat Menekan Jumlah Pengguna kendaraan dan tidak hanya pada Suplai Emisi Karbondioksida. 

Di sisi lain, Penambangan Kobalt tentu akan sangat memiliki dampak terhadap lingkungan dan hanya tinggal menungggu waktu agar SDA pendukung ini menjadi habis. 

Kebijakan ramah lingkungan ini juga tentu memiliki Problematika yang pelik karena hanya akan memindahkan Tingkat Polusi yang ada di Kota Kota Besar yang jumlahnya tidak terlalu signifikan jika mengacu pada kendaraan menuju Daerah daerah yang menjadi Pusat Produksi Bahan Mentah Industri Nikel yang bahkan tingkat produksinya dapat memiliki Jumlah Emisi yang lebih Tinggi. Kebijakan Subsidi besar besaran ini juga tentu akan sangat membuat publik pesimis karena disamping sasaran yang kurang tepat, terdapat beberapa pejabat pemerintahan yang ternyata punya peran secara personality sebagai produsen. Kebijakan yang kemudian dinilai sebagai bentuk arogansi Ini akan menimbulkan Opini sebagai "Pembuat Kebijakan yang merangkap Penjual".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun