Mohon tunggu...
Mochamad iqbalfarouq
Mochamad iqbalfarouq Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang sukses di waktu nanti

Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, kecuali memakan kepala sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Awal Bencana Toxic Masculinity dalam Kebudayaan Masyarakat Indonesia

18 Oktober 2022   09:40 Diperbarui: 18 Oktober 2022   09:46 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sikap toxic masculinity ini juga bisa tergambar pada anggapan bahwa laki-laki tidak boleh mengerjakan apa yang selama ini seolah dilekatkan dengan aktivitas yang dilakukan perempuan. Seperti, mengerjakan pekerjaan domestik atau pengasuhan anak, memasak dan lainnya. Padahal kan, itu semestinya jadi keterampilan dasar (basic skill) untuk hidup yang semua gender perlu bisa. 

Hasil dari pemahaman ini berdampak kepada kehidupan sosial kita yang menjadikan ini sebagai rasa takut sebagian dari lelaki,karena muncul stigma stigma negatif jika kita tak berperilaku ekstrim mengenai sosok diri kita sebagai laki laki.pentingnya kita sebagai masyarakat yang ingin menjadi masyarakat modern berfikir dan bertindak mengenai budaya negatif kita ini,karena jika di biarkan akan menjadikan ini sebagai "penyakit" di masyarakat sehingga bisa mempengaruhi mental individu bagi yang menggunakan budaya negatif ini.

Maka menurut saya pentingnya masyarakat hingga peran orang tua untuk mengendalikan pengaruh toxic masculinity ini dengan memberikan arahan untuk anak kita agar tidak kembali ke rantai yang salah. Jangan memberikan arahan pada nilai seorang laki laki dengan berlebihan seperti anak tidak boleh menangis dan lain lain.

Pentingnya relasi serta pendidikan mengenai batasan batasan mengenai toxic masculinity bagi anak serta saling mendukung antara masyarakat dengan masyarakat lainnya dengan menyetujui pilihan pribadi masing masing kepribadian seseorang tanpa mebgacaukannya dengan stereotip gender sehingga mengembalikan konsep masculiny ke arah yang benar agar tidak keliru .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun