Di Indonesia Toxic masculinity adalah penyakit mengenai pemahaman yang salah mengenai perilaku laki-laki yang terbentuk oleh budaya,sosial dan pendidikan di Indonesia . Istilah ini merujuk pada tekanan ekstrem yang dirasakan kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu.Toxic masculinity berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada pada pria.
Salah satu contoh toxic masculinity, yakni anggapan laki-laki tidak boleh menangis,laki laki tidak boleh menggunakan hal yang berbau dengan wanita mengenai skincare hingga menggunakan pakaian yang berwarna cerah seperti merah muda dan lainnya.
Pada dasarnya toxic masculinity sejak dahulu kala merupakan perwujudan dari budaya kita sendiri yang dimana merujuk pada pendidikan dari peran orang tua semasa kita kecil,kita mengetahui bahwa saat kita kecil kita disosialisasikan mengenai nilai-nilai yang seharusnya melekat pada pria, seperti kuat, agresif, petarung, serta pemburu.Â
Hal ini mengarah pada menonjolnya kekuatan fisik yang dimiliki lekaki itulah penyebab pertama sehingga kita semakin dewasa di paksa menggunakan pemikiran seperti itu karena pendidikan budaya yang kita dapatkan dari orang tua kita sendiriÂ
di Indonesia toxic masculinity masih banyak ditemui di tengah masyarakat. Bahasa-bahasa seperti pria itu tidak boleh menangis, pria itu harus kuat, jangan lemah, pria itu harus melawan, jangan diam saja, masih kerap didengar dan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.Â
Lingkungan sosial patriarki seperti di Indonesia rentan lahirnya toxic masculinity, yang menganggap kedudukan pria lebih tinggi daripada kedudukan perempuan.Â
Dampaknya bukan hanya pada pria yang mengalami ekspektasi yang berlebihan tetapi berdampak juga pada perempuan yang sering menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual, karena posisinya lebih direndahkan. Penyebab dari adanya toxic masculinity adalah faktor sosial yang mengajarkan perbedaan gender tradisional.
Budaya negatif mengenai ini bahkan kita dapatkan saat kita ada pada bangku sekolah dasar dimana seorang guru juga memberikan pendidikan bahwa seorang lelaki di wajibkan kuat dengan ucapan maupun tindakan yang di berikan seorang guru,contoh dasarnya ada pada masalah tentang "piket" dimana seorang siswa saat membersihkan kelas di ajarkan untuk mengambil tindakan tindakan yang menggunakan tenaga seperti mengangkat meja,bangku dan lain sebagainya sedangkan para siswi pun juga di berikan tindakan seperti halnya menyapu dan mengepel,hal ini juga merupakan perwujudan Toxic. Masculinity berjamur hinggal ke jenjang pendidikan sekolah dasar .
Kemudian kembali berlanjut pada saat kita beranjak dewasa dimana saat pandangan kita mengenai toxic masculinity yang mendarah daging karena di berikan sejak kecil berdampak pada masa kedewasaan kita di mana pada masa ini, cara berfikir ekstrim ini seperti mengolok ngolok lelaki yang menggunakan skincare,kemudian dalam masalah menangis makan kita pun akan di olok-olok karena kita akan di anggap seorang yang cengeng,tanggapan tersebut yang membuat mental dalam diri kita terganggu ,kita jadi takut akan kedua hal tersebut apabila di lihat orang lain,perasaan gelisah ini membuat psikis dan mental kita yang terganggu,yang dimana menjadikan kita sosok yang bukan diri kita lagi melainkan sosok yang hanya ingin di lihat orang lain.
Sehingga berlanjut pada saat kita telah ada di dunia kerja dimana menggambarkan tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara-cara tertentu di dalam dunia kerja.Â
Biasanya, mereka dikaitkan dengan nilai-nilai (konstruksi sosial) Â yang dianggap harus ada pada diri seorang laki-laki. Misalnya menunjukkan kekuasaan, kekuatan, sampai pantang mengekspresikan emosi.Â