Matahari mulai tenggelam pertanda senja akan segera datang, empat tahun silam saat sepekan sebelum memasuki tahun ajaran baru. Suara teriakan anak-anak di yayasan Yatim mulai terdengar semakin kencang dari tempat saya beristirahat. Saya akhirnya melangkahkan kaki mengunjungi asal suara teriakan, begitu saya mendekati mereka, anak-anak panti begitu saja menghambur ke pelukan saya.
"kak Iqbal, boleh minta tolong gak buat nemenin silvi, mega dan risky ke pasar besok pagi?“ ucap silvi, seorang gadis kecil yang baru berusia 1 windu.
"memang mau ada apa, kita pergi ke pasar?” aku balik bertanya pada mereka.
“ini lho kak, kita mau beli kerudung putih dan kaos kaki. Kan kita mau masuk sekolah lagi besok" ujar silvi, mega dan risky kompak.
Saat itu juga aku bergeming, rasa syukur menyelimuti hatiku, terima kasih seklai pada Tuhan ku haturkan sebab saat aku di usia sekecil mereka, aku tidak perlu memikirkan seragam dan peralatanku seorang diri, masih ada orang tua yang mendampingiketika itu.
Aku tersentuh, semangatku pun muncul untuk membantu mempersiapkan segala kebutuhan dan peralatan sekolah mereka sebaik mungkin, anak-anak yatim disini harus memiliki persiapan yang sebaik-baiknya untuk momentum "Hari Pertama Sekolah".
Kala itu saya masih berstatus mahasiswa sekaligus menjadi salah satu pembina asrama yatim di pinggiran kota Depok. Lima belas anak yatim tinggal di asrama ini, mereka bersekolah di tingkatan berbeda, memiliki karakter yang berbeda dan juga dari latar belakang yang berbeda pula. Setelah beberapa pekan mereka melewati waktu liburan, akhirnya hari itu tiba, hari dimana anak-anak yatim disini bersama ribuan anak-anak di luar sana serempak untuk hadir ke sekolah. Masing-masing dari mereka tentu akan sibuk dengan peralatan sekolah dan sepatu yang masih kinclong.
Pagi itu selepas sholat subuh,semua pembina asrama berdiskusi mengenai pembagian tugas untuk mengantar anak-anak yatim ke sekolah. Karena kami semua sebagai para Pembina asrama meyakini, walaupun hal ini terlihat sepele namun efeknya sangat besar terhadap mental anak-anak yatim saat mereka berada di sekolah.
Bagaimana tidak? Mayoritas anak-anak tentu akan diantar oleh orang tua mereka untuk hari pertama sekolah, lantas siapa yang mengantar anak-anak yatim? Selain itu berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, ketika hari pertama sekolah parkiran sekolah biasanya dipadati dengan puluhan orang tua yang menemani anaknya pergi sekolah, apalagi pada 2 tahun belakangan ini seringkali bertepatan dengan momentum lebaran. Dimana biasanya akan ada pula momentum halal bi halal, guna menambah keakraban antara orang tua, anak, guru hingga kepala sekolah.
Rasa syukur dan terima kasih saya sampaikan kepada segenap Pembina asrama karena akhirnya kami semua sepakat untuk menyempatkan waktu mengantar anak-anak, mengingat diluar sana ada sekitar 3,2 juta anak yatim yang mungkin tidak ada orang tua atau wali yang bersedia mengantar mereka ke sekolah (data kemensos 2013).
Bagi saya hal tersebut ialah langkah awal kami dalam upaya mendidik dan membangun mental anak. Setelah ini tentu masih banyak hal yang harus dijalankan untuk menunjang pendidikan terbaik bagi anak-anak panti yang lainnya. Oleh karena itu ada dua sistem yang diusung pada asrama yatim yaitu sekolah pelajaran umum di sekolah negeri (formal) dan pelajaran agama ketika di asrama yang menjadi hal yang luar biasa. Setiap kali memasuki tahun ajaran baru, setidaknya saya menyiapkan keperluan anak-anak yatim tersebut yang mencangkup 2 kategori: sekolah formal dan sekolah agama (non formal). Memang tidak mudah mengusung 2 sistem secara bersamaan, namun sejatinya kedua sistem ini layaknya dua mata uang logam yang bersisian dan tidak dapat dipisahkan.
Anak-anak yatim kami didik melalui pendidikan akhlak & karakter berbasis spiritual sebanyak 18 jam per hari dan sisanya 6 jam mereka belajar pelajaran umum di sekolah formal. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman, pendidikan yang telah diperoleh selama 6 jam yang diberikan dari sekolah formal dengan berbagai kurikulum dan metode belum dapat mendidik dan memberikan dampak maksimal pada pola pikir dan perilaku anak. Oleh karena itu saya meyakini bahwa pendidikan sekolah formal harus ditunjang dengan pendidikan oleh orang tua di rumah, adapun dalam konteks anak yatim para Pembina asrama menjadi garda terdepan dalam mendidik mereka.
Suasana ramai memenuhi sudut sekolah pagi itu, awalnya saya sangat minder karena mayoritas yang hadir adalah para orang tua yang mengantar anaknya, sedangkan saya adalah Pembina asrama yang saat itu baru saja menginjak umur 20 tahun. Namun melihat semangat anak-anak yatim dalam perjalanan ke sekolah tentulah segera menutupi rasa minder dalam diri saya. Di sekolah saya berkenalan dengan guru yang akan menjadi wali kelas dari anak-anak yatim tersebut dan menceritakan maksud dan tujuan saya hadir hari itu. Obrolan kami pun berlanjut dengan pemaparan saya mengenai karakter beberapa anak yatim serta ucapan terima kasih karena pihak sekolah sudah bersedia menerima anak-anak yatim ini dengan tangan terbuka serta tidak membeda-bedakan dengan siswa/i lainnya. Hal tersebut tentu menjadi momentum yang tidak akan pernah saya lupakan.
Dalam membina anak-anak yatim memang tidak mudah yang dibayangkan, dengan berbagai latar belakang karakter anak yang notabenenya tidak ada pembinaan sejak kecil. Belum lagi tantangan dalam mengenali karakteristik dari setiap anak yatim, karena amat penting mengenali karakter kepribadiaan. Maka dalam rangka hal tersebut, saya beserta para Pembina asrama membedakan dalam mendidik anak yatim dengan 4 karakter kepribadiaan sanguinis (mengajar dengan gembira dan interaktif), koleris (mengajar dengan target & tujuan yang pasti atau serius), melankolis (mengajar dengan teliti dan perlahan), plegmatis ( mengajar dengan perlahan dan santai). Selain itu saya juga membedakan dalam mengejar dengan kecenderungan anak-anak yatim visual (dengan gambar), kinestetik (dengan praktik dan gerakan), auditory( dengan audio dan suara).
Selain itu saya juga mengajarkan anak-anak untuk cerdas dalam mengatur waktu, menghargai orang lain, menghormati orang yang lebih tua, bersosialisasi dengan teman sebaya, mengatur kehidupan sendiri (dari mencuci baju hingga mengurus diri), mengucapkan apresiasi kepada orang lain (seperti terima kasih), permohon maaf ketika melakukan kesalahan, hingga mengajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan miliknya. Dikarenakan hal-hal seperti itu tidak diajarkan secara aplikatif ketika berada di sekolah.
Lebih parah, pernah suatu ketika ada kejadian dimana asrama yatim dikagetkan dengan hilangnya uang infak dari para donatur, setelah diselidiki ternyata ada 3 anak asrama yatim menjadi terduga. Namun ketika sudah disidang mereka tidak mau mengakui bahwa telah menjebol kotak infak ketika para Pembina tidak berada di asrama Yatim. Selidik punya selidik ternyata pelakunya anak yang justru duduk di sekolah menengah pertama (SMP). Namun akhirnya terbongkar karena kecurigaan yang uang hasil infak secara 2 bulan terakhir mengalami penurunan yang signifikan. Alih-alih memperingatkan ke 3 anak itu, para Pembina asrama malah ditantang dengan bukti yang kuat dan berakhir untuk mengadu otot alias berkelahi.
Namun akhirnya para pembina tetap memaklumi anak-anak tersebut, kurangnya perhatian dan pembinaan oleh orang tua sedari kecil serta kurang efektifnya pembinaan dari sekolah menjadi alasan hal ini terjadi. Pendidikan lingkungan dan sekolah memang harus berjalan beriringan.
Tidak hanya sampai disitu, pernah suatu saat ketika jam pelajaran ada seorang guru dari sekolah datang menemui saya di asrama guna mengkonfirmasi kehadiran salah satu anak yatim kami yang diketahui sudah 2 hari tidak masuk tanpa keterangan. Awalnya guru sekolah itu mengira bahwa anak yatim tersebut ada acara di asrama yatim. Namun sang guru mulai curiga karena biasanya Pembina asrama mengirimkan surat izin apabila ada anak yatim yang sakit ataupun ada acara asrama. Ternyata esoknya anak tersebut kembali tidak masuk, akhirnya guru sekolah datang ke asrama kami untuk mengkonfirmasi alasan tidak masuknya anak tersebut. Setelah diusut ternyata anak yatim tersebut membolos, dia berangkat sekolah seperti anak-anak biasanya namun di pertengahan jalan membelok menuju warung internet (warnet) untuk bermain games. Dari kasus ini maka amat diperlukannya interaksi serta komunikasi yang baik antara guru dan Pembina asrama guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus untuk memantau perkembangan anak selama di sekolah.
Tidak sampai disitu, hubungan komunikasi yang baik membawa Pembina asrama mendapatkan jatah khusus dari kepala sekolah untuk mengajarkan beberapa kegiatan ekstrakulikuler seperti (marawis, teater, bahasa arab, dan pramuka ) di sekolah tempat anak-anak yatim mengenyam pendidikan. Hal tersebut secara tidak langsung membangun mental anak-anak yatim dan mengindarkan mereka dari sikap minder serta memunculkan kebanggaan dalam diri mereka bahwa ternyata tinggal di asrama yatim bukan hal buruk ataupun tempat pengasingan.
Mengantar anak pada "Hari Pertama Sekolah" hanyalah kegiatan seremonial dan simbolis yang menjadi bukti adanya interaksi antara guru, anak murid dan wali murid. Namun alangkah baiknya jika pemantauan dalam mendidik dilakukan oleh guru dan wali murid secara bersamaan. Begitu pula bagi jutaan anak yatim di seluruh Indonesia yang notabenenya tidak memiliki orang tua yang mendidik dan mengajarkan mereka sedari kecil. Mereka adalah tanggung jawab bangsa, termasuk kita sebagai rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H