Tuntutan kehidupan yang melibatkan keuangan terkadang menjadi salah satu problema bagi sebagian orang, entah itu karena faktor gaya hidup, kebutuhan yang mendesak serta kurangnya kesadaran akan manajemen keuangan juga faktor keadaan yang mungkin memang benar-benar membutuhkan dan juga masih banyak faktor-faktor lain yang melibatkan masalah keuangan, banyak dari kita yang lebih memilih jalan pintas dengan cara meminjam uang ke teman, saudara, dan orang-orang terdekat lainnya juga tidak sedikit dari kita yang lebih memilih pinjaman ke bank dengan bunga yang lumayan besar untuk menutupi kebutuhannya terlebih lagi ada satu trend yang sedang hype di masyarakat kita saat ini adalah pinjaman online atau pinjol yang memiliki tagline “paylater” dan berslogan “beli dan nikmati sekarang bayar belakangan aja”. Tak tanggung2 aplikator pinjol memanjakan calon penggunanya dengan limit pinjaman yang tidak sedikit hanya bermodalkan foto KTP, bahkan terdapat dalam iklan salah satu pinjol yang penulis amati terdapat dua orang yang saling beradu limit pinjaman untuk pengguna barunya Tanpa disadari kita juga memiliki sistem pinjaman yang mirip seperti itu, bahkan sistem peminjaman ini eksis sampai hari ini ia bernama ‘Bank Emok’.
Pernah mendengar Bank emok?
Bank emok sendiri diambil dari istilah Bahasa sunda “emok” yang berarti duduk lesehan, Juga banyak dikenal sebagai rentenir berkedok koperasi, biasanya “bank emok” ini beroperasi di daerah-daerah yang masyarakatnya masih minim pengetahuan akan bunga pinjaman yang harus dibayarkan nanti-nya dan tidak jarang juga banyak dari mereka yang merelakan kebun, hewan ternak, bahkan sampai tempat tinggalnya sendiri untuk membayar bunga dari bank emok ini. Biasanya dalam operasi nya tidak hanya memberi pinjaman ke satu orang tapi “bank emok” ini memiliki prasyarat khusus yakni, peminjaman baru bisa dilakukan dan berjalan jika ada minimal 10 orang dalam proses peminjamannya, Ia beroperasi di balai2 atau tempat pertemuan di desa atau di salah satu rumah warga yang telah disepakati untuk saling mengucapkan “sumpah” terlebih dahulu. Isi sumpah dari bank emok itu sendiri kurang lebih sepert ini:
‘Sumpah nasabah, saya berjanji jika tidak mampu membayar angsuran bang emok, maka saya akan membayar dua kali lipat dari jumlah yang saya pinjam, dan akan berlaku kelipatan setiap harinya’.
Itu merupakan salah satu janji yang harus diucap oleh para calon nasabah dan masih banyak jenis janji lainnya bergantung dengan kesepakatan dengan si pihak krediturnya, selanjutnya para nasabah akan diberi pinjaman berupa uang tunai sesuai yg dibutuhkan dan disepakati sebelumnya dengan oknum bank keliling emok.
Banyak dari masyarakat kita yang terjerat akan sistem peminjaman seperti itu dikarenakan keaadaan yang mengharuskannya untuk melakukan transaksi di bank emok itu sendiri, banyak dari mereka yang tidak bisa membayar tepat waktu dikarenakan bunga pinjaman yang begitu besar, dan pada akhirnya mereka hanya bekerja untuk menutupi bunga yang melonjak begitu tingginya, tanpa bisa melunasi hutang sebelumnya, miris melihatnya, dan dari masalah keuangan yg timbul inilah merembet ke berbagai arah, banyak masyarakat desa yang nekat meregang nyawa, tingginya tingkat perceraian, dan masih banyak dampak yang ditimbulkan oleh si ‘bank emok’ ini.
Kembali ke kehidupan di sekeliling kita sekarang, tanpa disadari oleh sebagian pengguna dari paylater dalam sebuah platform aplikasi online apapun, kita juga seperti menghalalkan sistem dari ‘bank emok’ itu sendiri, hanya saja terdapat perbedaan dari sumpah-nya saja, jika bank emok diucapkan, paylater hanya dibaca lalu mengirimkan foto KTP dan disetujui, terkadang bagi sebagian orang di kota-kota besar menggunakannya lebih untuk ‘bergaya’. Miris memang disaat masyarakat lain meminjam untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, namun di sisi lain para pengguna paylater hanya untuk memenuhi tuntutan gaya hidupnya, memang, kelebihan dari paylater ia lebih transparan mengenai bunga yang harus dibayar, tapi, Bukankah pola perilaku konsumtif dengan meminjam untuk hal yang tidak begitu memiliki ‘urgensi’ itu harus dilakukan?
Mari bijak dalam mengatur keuangan, jangan sampai kita habiskan waktu hidup kita untuk bekerja, mendapat upah, lalu upah kita dipakai untuk menutup “lubang” yang telah kita buat diawal. Ingat limit kredit yang tinggi bukan sebagai ajang untuk bergaya dan komparasi semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H