Jika menilik alasan dari PPNI, memang cukup susah jika RS memperkaya dirinya di kondisi seperti ini. Namun, pandangan penulis tentang mencari kesempatan dalam kesempitan masih sama. Kalau sudah ada niat dari oknumnya, pasti celah sekecil apapun tetap akan dibobol. Mirip-mirip dengan kasus bantuan sosial ataupun kasus korupsi lainnya, kan?
Penulis mendapatkan cerita yang sedikit berbeda dengan isu mengcovidkan pasien. Sumber cerita ini berasal dari bibi penulis sendiri. Masih satu desa dengan tempat tinggal beliau, ada satu pasien rumah sakit yang dianggap positif oleh rumah sakit yang merawatnya. Saat meninggal, keluarga pasien diminta menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa pasien dinyatakan meninggal karena COVID-19 agar ditanggung biayanya oleh pemerintah.
Cerita ini tidak bisa ditelan mentah-mentah. Pertama, mulut manusia, siapapun itu, yang seringkali membumbui, mengimbuhi, menambah "topping" ini itu dalam cerita. Bisa jadi cerita murninya sudah tidak terasa, itupun jika cerita tersebut benar-benar terjadi dan bukan rekaan pihak tertentu dan akhirnya tersebar kemana-mana. Kedua, jika melihat prosedur rumah sakit yang ribet dan melibatkan banyak sektor sebagaimana yang dijelaskan di atas, bisakah semudah itu mengcovidkan pasien bermodal sebuah dokumen?
Berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat sebagai respons menghadapi pandemi sebaiknya menjadi refleksi diri bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama kuat dan istikamah menghadapi pandemi. Masih banyak yang ingin dituliskan, namun jika sepenuhnya dituruti tak akan ada habisnya. Penulis hanya sekadar berbagi cerita sambil menikmati hidup selagi masih bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H