Hampir selesai tahun 2020 dan kita masih berada di kondisi pandemi yang belum juga berakhir. Kondisi yang memaksa jutaan orang membatasi kegiatannya, termasuk untuk perkuliahan yang dilaksanakan secara daring. Saat ini lebih sering diam menatap laptop ketimbang melihat pemandangan luar yang beberapa hari terakhir terus diguyur hujan. Salah satu sisi positifnya, penulis dapat melihat lebih jauh tentang kondisi masyarakat di lingkungan sekitar rumah yang sebelumnya mungkin tak terlalu diperhatikan karena kesibukan.
Ketika berada dalam lingkungan masyarakat di lingkungan sekitar rumah inilah, penulis mengamati beberapa fenomena terkait dengan situasi pandemi di masyarakat. Penulis menggunakan perspektif seorang anak dari seorang ketua Rukun Tetangga (RT). Peran RT dalam penanganan COVID-19 dianggap sangat penting karena turun langsung di masyarakat. Mulai dari kampanye protokol kesehatan sampai urusan bantuan sosial. Saat artikel ini ditulis, kasus positif COVID-19 di tanah air telah mencapai 605.243 kasus dengan kematian mencapai 18.511 orang (data dari COVID19.go.id).
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas lebih spesifik tentang desas-desus terkait dengan anggapan masyarakat tentang rumah sakit yang mengcovidkan pasien dan anggapan bahwa pasien yang wafat akibat COVID-19 dapat mencemarkan nama baik kampung atau wilayah asal pasien. Semua yang dituliskan di sini adalah berdasarkan pengalaman dan realitas yang terjadi di lingkungan penulis, dan bisa jadi berbeda dengan pengalaman di tempat lain. Pembahasan kali ini belum termasuk kompleksitas masalah lain seperti tentang bantuan sosial, bantuan usaha, dan penerapan protokol kesehatan. Mungkin akan ditulis berikutnya.
Pertama, tentang anggapan bahwa adanya pasien korona dapat menyebabkan sebuah daerah dikucilkan. Kasus ini pernah mencuat di kelurahan tempat tinggal penulis, tidak perlu disebutkan di mana. Kehebohan ini pertama kali muncul saat ada salah satu penduduk di RW lain yang meninggal sedangkan hasil tes swab belum keluar.
Sesuai prosedur, maka pemakamannya dilakukan sesuai protokol COVID-19. Ini yang menjadi masalah, karena keluarga bersikukuh untuk dibawa ke rumah sedangkan dari pihak satgas melarang dengan alasan keamanan dan prosedur yang berlaku. Meskipun pada akhirnya tetap mengikuti prosedur pemakaman dari rumah sakit, yang perlu disorot adalah tentang kekhawatiran bahwa kampung asal pasien tersebut akan dikucilkan.
Saat itu, hal tersebut menjadi pembahasan ramai di forum tokoh masyarakat dan RT/RW se-kelurahan. Tokoh setempat, penulis hanya menyebutnya sebagai tokoh saja agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, sampai meminta pertanggungjawaban semisal pasien meninggal ini ternyata negatif COVID-19. Yang menjadi pertanyaan penulis, pertanggungjawaban seperti apa yang dimaksud? Gumam penulis saat mengamati grup Whatsapp RT dari tablet yang dipakai oleh Bapak.
Jika membaca rentetan pesan di grup tersebut, penulis menganggap bahwa beliau menganggap bahwa jika ada satu kasus di RT/RW tertentu, maka akan dikucilkan oleh lingkungan lainnya karena khawatir akan menjadi penyebaran baru. Stigma seperti ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan berlebihan dan berdampak pada aspek lain.
Dengan kondisi dimana hasil tes usap belum diketahui, bukankah lebih baik jika mencegah kemungkinan terburuknya? Soal bagaimana respons masyarakat yang khawatir dengan stigma, sepertinya perlu dipertanyakan tentang bagaimana pemerintah mengedukasi masyarakat tentang pandemi satu ini. Menurut penulis, pasien COVID-19 bukanlah sebuah aib. Virus ini sendiri bisa menyerang bahkan dalam kondisi diri yang tidak menyadari, untuk apa juga ditutup-tutupi. Keterbukaan justru menjadi salah satu hal yang dibutuhkan agar dapat melacak lebih jauh terkait penyebaran virus.
Mungkin diperlukan beberapa hal terkait bagaimana menyampaikan kondisi saat ini di kalangan masyarakat umum yang tentu berbeda dengan menghadapi orang-orang yang memiliki pemahaman dan ilmu yang lebih baik. Bukan hanya tugas pemerintah, namun juga sesama masyarakat.
Kemudian yang kedua, tentang tuduhan pasien yang meninggal dengan status dipositifkan oleh rumah sakit. Maksudnya, pasien tersebut menderita penyakit lain sebelumnya namun ketika wafat berstatus positif COVID-19 sehingga harus dimakamkan dengan protokol yang berlaku. Tuduhan tersebut diarahkan ke rumah sakit agar RS mendapat biaya perawatan dari pemerintah dan dapat memperkaya diri mereka. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Mengutip dari Republika (6/10), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menilai tindakan tersebut sulit dilakukan karena penanganan kesehatan di rumah sakit (RS) melibatkan berbagai sektor, artinya dibutuhkan konspirasi besar. Pihak PPNI berpendapat bahwa kecurangan yang dilakukan fasilitas kesehatan sulit terjadi karena untuk mengcovidkan seseorang di RS sangat terkait dengan banyak sektor, mulai dari saat pasien masuk, pelayanan di unit gawat darurat (UGD), pelayanan rawat inap, pemeriksaan laboratorium, kemudian dokter di UGD, hingga penanggung jawabnya yang terlibat. Sehingga, dia melanjutkan, jika RS sengaja melakukan tindakan mengcovidkan pasien artinya ada konspirasi besar di RS tersebut. Padahal, dia melanjutkan, pihak RS dan profesi ini pasti memiliki etika.