Mohon tunggu...
Iqbal Anggia Yusuf
Iqbal Anggia Yusuf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Tasikmalaya

Muslim Poet and Connoisseurs of Words

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesehatan Mental: Fondasi Kesuksesan Akademis

19 Februari 2024   06:48 Diperbarui: 19 Februari 2024   06:57 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TASIKMALAYA, 19 FEBRUARI 2024 - Kesehatan mental yang stabil dan baik menjadi fondasi utama kesuksesan akademis di kalangan mahasiswa di kampus/perguruan tinggi. 

Berbagai penelitian yang penulis kaji menunjukkan keterkaitan yang erat antara kesehatan mental dan performa akademis mahasiswa. Penulis mendapati sebuah studi terbaru di Amerika Serikat menemukan bahwa mahasiswa dengan kesehatan mental yang baik cenderung memiliki hasil akademis yang lebih baik.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya tantangan besar terkait dengan kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 mahasiswa di seluruh dunia mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan stres yang tinggi. Gelapnya awan kesehatan mental ini tidak hanya memayungi individu, tapi juga menghujani dunia pendidikan. 

Berdasarkan laporan dari UNESCO, tingkat drop-out mahasiswa global melonjak 25% selama tahun 2020 s.d. 2023, dipicu oleh depresi, kecemasan, dan stres yang membelenggu pikiran mereka.

Di Indonesia, 15% mahasiswa bergulat dengan masalah ini, 5% bahkan terjebak dalam depresi berat dan kecemasan. Tekanan akademis, stigma sosial, dan minimnya layanan kesehatan mental jadi ramuan pahit yang semakin memperparah. Akibatnya, prestasi belajar menurun, drop-out meningkat, kesehatan fisik terganggu, dan kualitas hidup pun merosot.

Namun, penulis selalu meyakini bahwa harapan perbaikan belum padam dan jangan sampai padam. Meningkatnya kesadaran, penghapusan stigma, perluasan akses layanan kesehatan mental, program pendukung mahasiswa, dan terciptanya lingkungan belajar yang bersahabat dapat menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka menuju kesuksesan akademis dan kesehatan mental. Mari bergandengan tangan, demi masa depan pendidikan yang lebih cerah dan sehat mental.

Di balik gemerlap dunia perkuliahan, kecemasan diam-diam mengintai para mahasiswanya. Sebuah survei di Inggris menguak fakta bahwa lebih dari separuh mahasiswa dilanda kecemasan tingkat tinggi, hal ini bagaikan monster tersembunyi yang siap menerkam fokus belajar dan performa akademis mereka.

Penulis sendiri sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Tasikmalaya mendapati kondisi sebagian mental mahasiswa mengalami keraguan tinggi terhadap kemampuan diri, dan tekanan untuk mencapai standar tinggi menjadi sumber utama kecemasan ini. Monster ini tak hanya mengganggu konsentrasi dan daya ingat, tapi juga dapat memicu insomnia, kelelahan, dan bahkan depresi.

Bahkan, pada tahun 2022 lalu, penulis mendapati ada salah satu mahasiswa yang sempat memutuskan ingin berhenti kuliah disebabkan merasa tidak percaya diri dengan kemampuan dirinya dibandingkan dengan teman-temannya di kelas. Mahasiswa tersebut menilai dirinya tidak memiliki potensi dan berputus asa.

Namun, dengan pendekatan personal, pemberian motivasi dan inspirasi yang penulis lakukan, akhirnya mahasiswa tersebut membatalkan niat berhenti kuliahnya itu. 

Dalam hal ini penulis ingin tegaskan (terkhusus untuk para pendidik/dosen di perguruan tinggi) bahwa dampaknya tidak main-main. Kecemasan yang tak terkendali dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar, bahkan mendorong mahasiswa untuk drop-out (menyerah belajar) dari perguruan tinggi. Mimpi dan ambisi mereka terkubur dalam cengkeraman kecemasan.

Namun, sinar harapan masih ada. Kampus/perguruan tinggi dan civitas akademika harus bahu membahu untuk memerangi monster ini. Menciptakan lingkungan belajar yang suportif, bebas stigma, bebas toxic, serta senantiasa memberikan pelayanan akses kesehatan mental adalah langkah awal yang krusial dan solutif. Mahasiswa pun tak boleh tinggal diam. 

Membangun strategi belajar yang efektif, menjalin hubungan sosial yang positif, dan berani mencari bantuan profesional saat dibutuhkan adalah kunci untuk menjinakkan monster kecemasan ini. Dengan upaya bersama, kecemasan tak lagi menjadi momok menakutkan di dunia kampus. Melainkan, para mahasiswa dapat bertransformasi menjadi individu yang tangguh dan siap meraih masa depan gemilang.

Salah satu solusi yang dapat diimplementasikan adalah dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental di perguruan tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, baik secara fisik maupun online, seluruh pendidik atau dosen harus responsif dan empati terhadap segala bentuk keluhan dan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa, karena mahasiswa akan merasa termotivasi dengan pemberian semangat dari para dosennya. Jika dosennya saja sudah tidak responsif, tidak empati, dan cuek/acuh terhadap perasaan mahasiswa, maka pantas saja akan banyak mahasiswa yang sakit dan tersakiti mentalnya.

Penulis ingin sampaikan bahwa program-program pendidikan tentang kesehatan mental juga perlu ditingkatkan di tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan cara mengelolanya secara efektif. 

Perguruan tinggi juga perlu menciptakan lingkungan yang mendukung terhadap kesehatan mental mahasiswa, seperti penyediaan fasilitas olahraga, ruang relaksasi, dan program-program kegiatan sosial yang dapat membantu mahasiswa mengurangi tingkat stres dan kecemasan.

Selain itu, penting untuk mengurangi stigma terkait dengan masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan motivatif, mahasiswa akan lebih merasa nyaman untuk mencari bantuan dan mendiskusikan masalah kesehatan mentalnya dengan teman-temannya, bahkan dengan para dosennya. 

Peran pendidik dan staf akademis juga sangat penting dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa. Mereka perlu dilatih untuk mengidentifikasi tanda-tanda masalah kesehatan mental dan memberikan motivasi serta bimbingan kepada mahasiswa yang membutuhkannya.

Dengan mengimplementasikan solusi-solusi tersebut, penulis berharap kita dapat menciptakan lingkungan yang dapat memperkuat kesehatan mental mahasiswa, sehingga menjadi fondasi yang kuat bagi kesuksesan akademis mereka. 

Langkah-langkah ini juga akan membantu membangun generasi mahasiswa yang lebih sehat secara fisik dan mental, dan menjadi pelopor perubahan yang membawa terang dan inspirasi bagi dunia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun