Dalam hal ini penulis ingin tegaskan (terkhusus untuk para pendidik/dosen di perguruan tinggi) bahwa dampaknya tidak main-main. Kecemasan yang tak terkendali dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar, bahkan mendorong mahasiswa untuk drop-out (menyerah belajar) dari perguruan tinggi. Mimpi dan ambisi mereka terkubur dalam cengkeraman kecemasan.
Namun, sinar harapan masih ada. Kampus/perguruan tinggi dan civitas akademika harus bahu membahu untuk memerangi monster ini. Menciptakan lingkungan belajar yang suportif, bebas stigma, bebas toxic, serta senantiasa memberikan pelayanan akses kesehatan mental adalah langkah awal yang krusial dan solutif. Mahasiswa pun tak boleh tinggal diam.Â
Membangun strategi belajar yang efektif, menjalin hubungan sosial yang positif, dan berani mencari bantuan profesional saat dibutuhkan adalah kunci untuk menjinakkan monster kecemasan ini. Dengan upaya bersama, kecemasan tak lagi menjadi momok menakutkan di dunia kampus. Melainkan, para mahasiswa dapat bertransformasi menjadi individu yang tangguh dan siap meraih masa depan gemilang.
Salah satu solusi yang dapat diimplementasikan adalah dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental di perguruan tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, baik secara fisik maupun online, seluruh pendidik atau dosen harus responsif dan empati terhadap segala bentuk keluhan dan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa, karena mahasiswa akan merasa termotivasi dengan pemberian semangat dari para dosennya. Jika dosennya saja sudah tidak responsif, tidak empati, dan cuek/acuh terhadap perasaan mahasiswa, maka pantas saja akan banyak mahasiswa yang sakit dan tersakiti mentalnya.
Penulis ingin sampaikan bahwa program-program pendidikan tentang kesehatan mental juga perlu ditingkatkan di tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan cara mengelolanya secara efektif.Â
Perguruan tinggi juga perlu menciptakan lingkungan yang mendukung terhadap kesehatan mental mahasiswa, seperti penyediaan fasilitas olahraga, ruang relaksasi, dan program-program kegiatan sosial yang dapat membantu mahasiswa mengurangi tingkat stres dan kecemasan.
Selain itu, penting untuk mengurangi stigma terkait dengan masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan motivatif, mahasiswa akan lebih merasa nyaman untuk mencari bantuan dan mendiskusikan masalah kesehatan mentalnya dengan teman-temannya, bahkan dengan para dosennya.Â
Peran pendidik dan staf akademis juga sangat penting dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa. Mereka perlu dilatih untuk mengidentifikasi tanda-tanda masalah kesehatan mental dan memberikan motivasi serta bimbingan kepada mahasiswa yang membutuhkannya.
Dengan mengimplementasikan solusi-solusi tersebut, penulis berharap kita dapat menciptakan lingkungan yang dapat memperkuat kesehatan mental mahasiswa, sehingga menjadi fondasi yang kuat bagi kesuksesan akademis mereka.Â
Langkah-langkah ini juga akan membantu membangun generasi mahasiswa yang lebih sehat secara fisik dan mental, dan menjadi pelopor perubahan yang membawa terang dan inspirasi bagi dunia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H