Mohon tunggu...
Iqbal Ahmad Naufal
Iqbal Ahmad Naufal Mohon Tunggu... Freelancer - Berani Berpendapat

Seorang Sarjana Ilmu Komunikasi dengan IPK yang pas-pasan. Berposisi sebagai rakyat yang suka mengamati politik, tetapi tidak ingin terjun ke politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Takdir Menjadi Indonesia

13 Oktober 2020   19:52 Diperbarui: 13 Oktober 2020   20:03 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia, negara yang sebelum kemerdekaan dulu dikenal dengan sebutan Nusantara. Hadiah paling indah yang Tuhan jatuhkan kedunia sebagai surga. Tempat dimana para raja berkuasa ditemani dewa-dewa yang dipercaya. Penuh dengan sumber daya alam tiada dua, mulai dari titik 0 di Aceh hingga Papua.

Nama dan ceritanya melegenda keseluruh antero bumi. Sebuah kekuatan besar diyakini akan lahir dari Republik ini. Presiden pertama kita menjadi bukti kala itu betapa Indonesia sangat disegani. 

Negara yang baru seumur jagung sudah memiliki taring politik cerdik lewat jalur-jalur diplomasi. Semua presiden kita adalah orang-orang hebat, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, dan Jokowi tetap melanjutkan tradisi.

Pancasila masih digunakan sebagai dasar negara. Semboyannya pun masih sama, Bhineka Tunggal Ika. Ibukota negara juga Jakarta, meskipun ada wacana berpindah menuju Kutai Kartanegara. Lalu, apa yang berbeda? Apakah semuanya sama? Tentu tidak.

2020, tepatnya saat tulisan ini ditulis, sudah banyak kejadian-kejadian yang meresahkan. Pemimpinnya, bahkan wakil rakyatnya, sangat sering mengecewakan. Jari-jari pengguna sosial media, mulut-mulut influencer, dan gesture tubuh seseorang bisa dipidanakan. 

Obrolan-obrolan di warung kopi, mahasiswa-mahasiswa yang berdiskusi tentang bangsa acap kali dituduh sebagai akar perlawanan dan pemberontakan. Apakah kita sengaja dibuat tak nyaman? Entahlah.

Seperti tidak ada lagi kebebasan disini. Orang beramai-ramai ingin pindah keluar negeri. Politisi kembali bergerilya membuat sensasi dan menarik simpati. 

Pemerintah pun terus saja bahas pandemi sampai lupa dibawah sana banyak rakyat mati karena tidak bisa beli nasi. Sudah hampir delapan bulan kita tidak punya solusi.

Apakah kita harus tertidur dan bermimpi untuk kembali hidup bahagia dan sejahtera di masa kerajaan-kerajaan nusantara? Tentu tidak apa-apa jika sekedar mimpi saudara. 

Tetapi lebih baik kita berbuat sesuatu yang nyata, dengan mengesampingkan egoisme kita sebagai manusia. Indonesia harus berubah, bangkit, dan kembali pada jalan takdir yang sudah Tuhan berikan pada kita yaitu menjadi Bangsa yang merdeka seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun