Tantangan bagi seorang filmmaker dalam membuat karya film komersial tidak hanya datang dari industri film itu sendiri. Industri film di negeri ini seperti industri film lainnya di negara lain selalu menjadikan budaya pop sebagai acuan dalam menentukan tema dan selera film yang dianggap layak diproduksi.
Kebanyakan produser film merasa lebih nyaman bila membuat film-film dengan tema percintaan yang menampilkan aktor atau aktris muda yang sudah punya nama sebagai penarik penonton belia untuk mau membeli tiket bioskop. Atau menggarap film horor yang secara produksi anggarannya bisa “ditekan” sehingga tidak membuat kantong produser menjadi cepat tipis.
Tantangan bagi seorang muslim di dunia kreatif seperti film bila dikaitkan dengan keyakinan religinya tidaklah ringan. Posisi film sebagai media hiburan sering dipojokkan sebagai salah satu penyebab lalainya seorang muslim dalam beribadah kepada Allah Swt.
Label haram sering begitu mudah disematkan tanpa mau melihat betapa potensi film untuk membawa kemaslahatan umat juga tak bisa dipungkiri.
Dua tantangan inilah yang dihadapi para kreator film dari Masjid Salman ITB - yang menamakan rumah produksinya Salman Film Academy (SFA) – saat mulai mengajukan ide untuk membuat sebuah film layar lebar dengan tema keluarga, religi, dan sains. Saat industri film tanah air memandang sebelah mata tema-tema film keluarga karena dianggap tak mungkin bisa menarik penonton bioskop yang notabene didominasi para ABG. Saat debat tentang boleh tidaknya film atau halal-haramnya berkreasi dalam media audio visual masih mengemuka di tengah-tengah wacana perbincangan umat.
Saat itu di akhir tahun 2014, para kreator SFA sudah berazzam untuk melahirkan sebuah film layar lebar dari rahim mihrab masjid bernama Salman. Sebuah film layar lebar dari masjid, terdengar aneh dan ambisius. Aneh karena masjid sering dikonotasikan berlawanan dengan bioskop tempat film layar lebar ditayangkan. Ambisius karena untuk memproduksi film layar lebar di masa itu butuh modal tak kurang dari 2,5 milyar rupiah, yang sudah pasti tak mungkin didanai dari pemasukan kencleng masjid.
Masjid Salman ITB memang telah dikenal sebagai masjid kampus di mana ide-ide kreatif dan segar dalam dakwah mendapat lahan yang subur untuk disemaikan. Saat jilbab dan hijab belum semarak di masyarakat kota, di awal 80-an Salman yang digawangi para muslim kelas menengah kota memunculkan gerakan jilbab di kalangan pelajar dan mahasiswa hingga merintis fashion Islami. Saat musik religi masih terdengar asing - Salman mementaskan di halaman masjid saat malam Ramadhan - grup kasidah Bimbo yang membawakan lirik-lirik sastrawan Taufik Ismail. Saat kegiatan remaja dan anak-anak yang Islami masih sepi, Salman memunculkan tren baru di kota Bandung dengan mengadakan mentoring Ahad pagi yang dihadiri ribuan anak-anak dan remaja setiap minggunya di halaman masjid dan taman kampus ITB.
Saat fenomena perfilman bertransformasi ke digital pada awal tahun 2000-an, Salman memfasilitasi aspirasi beberapa alumni mudanya untuk mendirikan komunitas filmmaker pelajar dan mahasiswa. Masih banyak kontribusi masjid ini dan para alumninya dalam membangun peradaban Islam, misalnya di bidang pendidikan, sains, teknologi, dan ekonomi kemasyarakatan. Rahim Salman memang tak pernah berhenti melahirkan inovasi-inovasi dalam dakwah Islam di negeri ini.