Mohon tunggu...
Iqbal Alfajri
Iqbal Alfajri Mohon Tunggu... Desainer - Filmmaker

Saya adalah seorang pembelajar.

Selanjutnya

Tutup

Film

Perjalanan Sebuah Investasi IP (2)

24 Februari 2024   08:54 Diperbarui: 24 Februari 2024   11:50 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awalnya kami, Salman Film Academy, berniat untuk mendirikan sekolah film. Mengingat kami sudah membina komunitas film sejak tahun 2001, maka di tahun 2014 kami ingin lebih serius dengan mencoba membuat akademi film. Maka kami langsung ingat dengan Ibu Budiyati Abiyoga, salah satu alumni kami di Masjid Salman dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sudah malang melintang di industri film nasional. Selain itu Ibu Budi juga pernah mendirikan Pusat Pendidikan Film dan TV (P2FTV) yang para pengajarnya adalah para sineas nasional seperti Riri Riza dan Rudi Soedjarwo.

Saat kami mengunjungi beliau, Ibu Budi malah mengusulkan agar kami membuat film layar lebar. Dari keuntungan membuat film itu nantinya kami bisa mendirikan sekolah film. Menurutnya perlu dana besar, selain SDM pengajar, untuk mewujudkan suatu lembaga pendidikan di bidang perfilman.

Kami menyetujui usul beliau. Tapi saat kami meminta beliau untuk menjadi produser untuk film layar lebar tersebut, Ibu Budi tak langsung mengiyakan. Saat itu Ibu Budi memang sudah vakum dan lebif fokus mengurus keluarga. Yang meneruskan usaha perfilman Bu Budi adalah putrinya, Tyas Abiyoga, yang juga seorang produser film.

Ibu Budi memotivasi kami untuk terjun ke industri film nasional (Dok. pribadi)
Ibu Budi memotivasi kami untuk terjun ke industri film nasional (Dok. pribadi)

Beberapa kali kami mengunjungi beliau di rumahnya dan berdiskusi tentang banyak hal, sampai akhirnya Ibu Budi bersedia menjadi produser film kami. Saat itu kami nyatakan bahwa film yang akan kami produksi benuansa dakwah. Karena kami bertolak dari komunitas masjid, maka kami yakinkan Ibu Budi bahwa film ini akan menjadi salah satu karya yang berbeda bagi Ibu Budi. 

Ibu Budi adalah inspirator kami. Banyak nasehatnya yang membuat kami terus bersemangat untuk merintis produksi film layar lebar. Walaupun sudah tidak muda lagi, Ibu Budi tak pernah kehilangan semangat untuk dunia perfilman nasional. 

"Ketika produktivitas berhenti, maka otak kita pun berhenti. Jadi kita harus terus membuat film agar otak kita terus bekerja." demikian beliau mengingatkan kami.

Budiyati Abiyoga di awal karirnya (Dok. Tempo)
Budiyati Abiyoga di awal karirnya (Dok. Tempo)

Budiyati Abiyoga lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura pada 1 Desember 1944. Ia merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara pasangan Mohammad Djojosoemardjo dan Maryatin. Ayahnya pernah menjadi Bupati Jember masa jabatan 1959-1961 dan sekretaris Karesidenan Malang, serta seorang violis dan dirigen pada zaman Belanda, sementara Ibunya adalah seorang seniman batik.

Semasa duduk di bangku sekolah dasar di SD Sriwedari Malang pada usia 10 tahun, ia telah mampu membuat skenario dan menyutradarai sendiri sandiwara-sandiwara sekolah. Kesukaannya menulis dan menyutradarai berlanjut. Karya-karyanya yang telah terbit, antara lain Ujung Wajah Masa lalu dan Konglomerat. Dia juga aktif membuat cerita pendek. Salah satu cerita pendeknya, Ibuku dan Wanita itu pernah mendapat hadiah sayembara mengarang di majalah Femina. Abiyoga lulus dari program sarjana jurusan Teknik Penyehatan dari ITB pada tahun 1969.

Selepas meraih gelar sarjana, kariernya dimulai di Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Teknik Penyehatan (1968-1974), menjadi Kepala Proyek Pusat Informasi Teknik Departemen Pekerjaan Umum (1974-1976). Ketika kariernya di Departemen PU menanjak, ia mengundurkan diri. Kemudian dia mendirikan sebuah perusahaan konsultan pada tahun 1976 bernama PT Bumi Prasidi Bi-Epsi. Sebuah perusahaan yang memberi pelayanan jasa di berbagai bidang. Sejak 1982, PT Bumi Prasidi memasuki kawasan baru yakni agro industri dan kelautan.

Ia kemudian dikenal sebagai tokoh perfilman Indonesia yang berperan besar dalam menunjang keberlanjutan industri sinematografi Indonesia dengan mendirikan perusahaan rumah produksi film PT Prasidi Teta Film pada tahun 1983. Jargon beliau yang populer adalah membuat film yang murah tapi bukan murahan.

Sebagai produser melalui perusahaan produksi filmnya, PT Prasidi Teta Film, ia memproduseri sejumlah film seperti Hati Yang Perawan yang lolos seleksi Festival Film Indonesia 1985 serta mendapat penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang meraih 2 nominasi Festival Film Indonesia 1986 (satu piala Citra dan piala Bing Slamet untuk komedi terbaik), Nagabonar yang berhasil meraih tujuh Piala Citra termasuk sebagai Film Terbaik serta film Cas Cis Cus yang masuk nominasi Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1990. Film-film bermutu lainnya yang lahir dari tangannya diantaranya Gema Kampus 66 (1988), Noesa Penida (1988), Cinta dalam Sepotong Roti (1990), Oeroeg (1992), Badut-badut Kota (1993) dan lain sebagainya. Ia sering menjadi anggota Dewan Juri dalam Festival Film Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun