Mungkin, pemangku kepentingan harus merevisi hal tersebut. Bahwa smart city tak sesederhana itu. Konsep pembangunan Smart City dengan pendekatan IDM yang sudah dijelaskan diatas dapat menjadi bekalnya. Bahwa harus smart citizen dulu, digital city, lantas smart city dapat terwujud.
Jangan sampai smart city hanya jebakan yang membawa masyarakatnya menjadi budak Teknologi atau dengan kata lain “pembodohan modern melalui teknologi”. Hal ini terjadi jika teknologi hanya ditelan mentah-mentah, akibatnya terlena dan tertipudaya.
Nalar kritis berikutnya juga menggangu, muncul dari kecurigaan Grossi dan Pianezzi terhadap penerapan Smart City di Genoa benar adanya. Bahwa konsep smart city hanya “akal-akalan” elite tertentu atau bahkan pihak asing dalam membawa ideologi neoliberalnya.
Sederhananya, smart city menurutnya hanya utopia, dimana yang lemah (dengan penguasaan teknologi rendah) harus dikorbankan supaya yang kuat (dengan penguasaan teknologi tinggi) bisa berkembang dengan bebas. Lantas apa gunanya disebut “Smart”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H