Nama Usmar Ismail sudah tidak asing di dunia perfilman. Usmar bahkan dijuluki sebagai bapak perfilman Indonesia. Selain sebagai sutradara film, Usmar juga seorang sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasanya, Presiden Joko Widodo di Hari Pahlawan tahun 2021 menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Bila Usmar layak disebut sebagai bapak perfilman nasional, adakah tokoh yang juga pantas dijuluki sebagai ibu perfilman nasional?
Sejak awal 1980-an muncul seorang produser perempuan yang tidak sekadar meramaikan perfilman nasional. Dengan ketekunan dan komitmen yang tinggi, beliau terus-menerus senantiasa membuka peluang-peluang baru yang menjelajahi berbagai kemungkinan yang belum dirambah oleh produser lain. Berbagai upaya dan rintisannya telah menyegarkan iklim berproduksi dan mendorong perfilman nasional memasuki wilayah-wilayah baru.
Sosok itu adalah Budiyati Abiyoga. Perempuan kelahiran Sumenep pada 1 Desember 1944 ini adalah insinyur Teknik Penyehatan (sekarang Teknik Lingkungan) dari ITB. Beliau yang akrab dipanggil "Ibu Budi" memang pantas disebut sebagai ibu perfilman nasional. Sebagai ibu, Budiyati telah berperan sebagai sosok yang melahirkan, mendidik, membimbing, dan penuh perhatian pada perfilman nasional.
Budiyati mengawali kiprahnya pada tahun 1982 lewat film yang diangkat dari novel karyanya sendiri yaitu Hati yang Perawan. Â Melalui dua produksi berikutnya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap dan Nagabonar, Budiyati melahirkan kembali konsep film komedi yang waktu itu telah tergelincir menjadi film melawak. Budiyati bersama produser-produser muda di perusahaannya, Prasidi Teta Film, melahirkan film komedi yang mengandung nilai-nilai manusiawi. Film komedi yang terbangun dari tampilan situatif dan bersifat sindiran.
Sejarah perfilman Indonesia kemudian mencatat beliau sebagai produser yang banyak melahirkan bakat-bakat baru. Budiyati memberikan kesempatan kepada sutradara baru untuk mengekspresikan gagasan-gagasan kreatifnya. Â Mulai dari film kedua dari aktor senior Galeb Husein, film-film perdana dari sastrawan Putu Wijaya, alumni sekolah film Garin Nugroho, wartawan dan penulis Firman Riyadi, Â dalang dan budayawan Sujiwo Tejo, hingga pembuat film independen Iqbal Alfajri.
Ketika perfilman Indonesia memasuki periode sulit dan jumlah produksi menurun drastis, sepanjang tahun 1991-1993 Budiyati berupaya memecah kebuntuan pasar justru dengan melahirkan film-film yang tercatat sebagai karya berkualitas. Hal ini tak lepas dari  salah satu pokok pikirannya sekaligus obsesi yang dengan konsisten dijalankannya yaitu "membuat film murah yang tidak murahan". Maka lahirlah film Plong Naik Daun, Cinta dalam Sepotong Roti, Surat untuk Bidadari, Badut-badut Kota, dan Oeroeg. Oeroeg adalah film berbahasa Indonesia berskala besar yang diproduksi bersama dengan Belanda, Belgia, dan Jerman dengan jaminan film guarantee finance dari Prancis. Film yang melibatkan kru dan aktor dari Eropa ini dalam peredaran internasionalnya diberi judul Going Home.
Sebagai produser yang sangat percaya bahwa kelangsungan industri kreatif senantiasa membutuhkan suntikan sumber daya yang segar, pada tahun 2000 Budiyati bersama beberapa praktisi perfilman yang lebih muda yang membantunya dalam penyusunan kurikulum serta menjadi tenaga pengajar, mendirikan Pusat Pendidikan Film dan Televisi (P2FTV). Sosok Budiyati sebagai pendidik yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dapat tercermin dalam visi dan misi P2FTV. Pelatihan non formal itu diselenggarakan dengan subsidi silang bagi yang kurang mampu dan sampai sekarang telah banyak melahirkan pekerja film dan televisi baru.
Berbekal modul pelatihan dari P2FTV dan pengalaman jatuh bangun dalam perfilman, sejak 2015 Budiyati secara aktif membimbing sebuah komunitas film di Bandung. Walaupun saat itu kondisi kesehatannya sedang menurun, ditambah lagi harus mengurus suaminya yang sakit, Budiyati  membimbing generasi muda yang sebelumnya menggeluti film independen, mempelajari berbagai aspek produksi film layar lebar sampai berhasil melahirkan film Iqro Petualangan Meraih Bintang. Film bertema keluarga yang cukup fenomenal ini juga berhasil mengantarkan pemeran anak Aisha Nurra Datau menjadi nominator Festival Film Indonesia (FFI) 2017.
Budiyati bukan hanya produktif melahirkan karya-karya film. Beliau juga aktif menulis dan menuangkan pemikirannya sebagai wujud perhatiannya pada perfilman nasional. Dalam berbagai seminar dan diskusi perfilman, Budiyati selalu menekankan pentingnya pembangunan perfilman menjadi satu kesatuan yang mendukung pembangunan bangsa dan negara.
Menurutnya pembangunan perfilman harus tercermin dalam proses berkarya serta hasil karya film sebagai produk seni budaya. Dengan demikian, hal tersebut turun menjadi misi bahwa pembangunan perfilman dapat mendukung pengembangan dua aspek dalam peri kehidupan. Yaitu sistem sosial dan kondisi lingkungan yang membumi sebagai potensi nyata pembangunan bangsa dan negara. Untuk itu Sumber Daya Manusia sebagai titik sentral dalam simpul yang membangun industri, harus memiliki kemampuan berperan aktif melalui perfilman Indonesia. Ia harus mendukung pengembangan nilai-nilai sosial dan kualitas lingkungan sebagai upaya pembangunan bangsa dan negara. Kondisi ini perlu menjadi tujuan pembangunan perfilman Indonesia.
Kontribusi Budiyati yang luar biasa dalam mengembangkan modus-modus baru dalam berproduksi serta membuka kesempatan yang  luas kepada bakat-bakat baru untuk menjadikan perfilman Indonesia senantiasa hidup dan relevan dengan zaman dan masyarakatnya  telah mengantarkan beliau pada gelaran FFI 2017 dianugerahi Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup (Lifetime Achievement Awards). Budiyati yang tidak pernah membayangkan memperoleh penghargaan itu merasa tidak layak mendapatkannya. Dalam pidato penganugerahan tersebut beliau menyatakan bahwa peran seorang produser film dan tim produksi film sejatinya tidak berarti apa-apa. "Saya dedikasikan penghargaan ini terutama untuk para penonton yang telah melangkahkan kaki untuk sekadar menonton karya kita, yang sebenarnya berpusat pada karya Yang Maha Punya. Dan yang sangat berharga adalah fasilitasi dari pemerintah. Karena film adalah multi seni dan multi teknologi dan milik orang bersama. Film ini adalah milik bersama", pungkas Budiyati. ()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H