Di tengah derasnya arus modernisasi, hampir semua nilai-nilai luhur yang diajarkan orang Jawa pendahulu semakin asing terdengar dan bahkan tidak lagi dipahami oleh sebagian besar masyarakat Jawa sendiri. Maka tidaklah keliru jika terdapat anggapan bahwa "Wong Jowo Ilang Jowone" yang berarti orang jawa sudah hilang jawanya. Nilai-nilai yang terkadung dalam ajaran orang jawa berupa pitutur luhur yang merupakan bagian dari falsafah orang jawa sendiri yang mengandung ajaran budi pekerti luhur.Â
Kontemporer, falsafah Jawa sudah dianggap usang dan kuno dianggap tidak lagi relevan di era globalisasi. Padahal, dalam falsafah tersebut akan terus berlaku untuk pedoman hidup supaya lebih bijaksana, menjaga kerukunan, dan selalu "Eling lan Waspodo". Pandangan hidup orang jawa seperti narimo ing pandum, ojo dumeh, memayu hayuning bawana dan banyak lagi sering dianggap sebagai penghambat kemajuan bangsa, di Indonesia khususnya masyarakat yang masih menganut pandangan hidup yang terkesan tradisional tersebut dianggap tidak akan menemukan kemajuan. Padahal, nilai-nilai luhur tersebut dapat menjadi benteng yang kuat dalam menangkal pemikiran barat yang materialis, hedonis, pragmatis dan sekuleristis.
Sejarah telah membuktikan bahwa pengimplementasian nilai-nilai falsafah jawa yang luhur telah menghantarkan Kerajaan Majapahit dalam masa kejayaan, nilai-nilai tersebut seperti sumpah Mahapatih Gajah Mada yang ingin menyatukan Nusantara dilandasi oleh nilai Memayu Hayuning Bawana, Sepi ing Pamrih Rame Ing Gawe. Keberhasilan patih Gajah Mada menyatukan nusantara tersebut tidak untuk mendapat imbalan, tetapi tujuan luhur untuk mempersatukan seluruh Nusantara demi kemajuan bangsa dan negara saat itu.Â
Sayangnya, bukti sejarah tersebut berbanding terbalik saat ini. Falsafah sepi ing pamrih rame ing gawe tidak lagi untuk kepentingan bersama, namun untuk kepentingan pribadi yang terkesan memprioritaskan egoisitas. Contohnya, dalam kontestasi pemilihan legislatif ataupun pemilihan pemimpin semuanya terkesan tidak saling membangun namun saling sikut dan saling menjatuhkan satu sama lain untuk kepentingan pribadi yang ambisius.
Nilai-nilai yang terkadung dalam falsafah jawa juga sangat erat dengan nilai karakter. Nilai-nilai karakter dalam kehidupan orang jawa sebenarnya tidak kalah hebat dengan pemikiran tokoh-tokoh luar negeri, tetapi pada kenyataanya masyarakat Indonesia merasa enggan untuk menggali dan mengkaji apa yang sudah menjadi ajaran dari leluhur untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan kelemahan karakter masyarakat Indonesia yang selalu bangga terhadap segala sesuatu dari luar negeri baik itu busana, budaya dan lain sebagainya.Â
Sedangkan, Indonesia telah dikaruniai tokoh yang hebat dalam pendidikan karakter seperti Ki Hadjar Dewantoro yang juga merupakan salah satu tokoh pemikir filsafat jawa yang mengajarkan banyak kebijaksanaan dalam hidup seperti yang dipakai untuk slogan Sekolah Dasar yakni; Ing ngarsa sung tulodo, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Namun, konsep Pendidikan tersebut justru diabaikan dan kita lebih sibuk untuk mengkaji dan mentauladani karakter model barat yang belum tentu sesuai dengan jati diri bangsa.
Dengan semakin memburuknya karakter bangsa, sudah seharusnya kita kembali pada tatanan yang sesuai jati diri bangs aini dengan menggali dan mengkaji nilai-nilai luhur bangsa seperti yang tertuang dalam falsafah jawa. Terdapat beberapa falsafah jawa yang relevan dengan kondisi karakter bangsa Indonesia saat ini seperti,
1. Konteks Ketuhanan
Dalam konteks berketuhanan, orang jawa mengenalkan beberapa falsafah seperti agama angeming aji, kawula mung saderma mobah mosik kersaning hyang sukma, sangkan paraning dumadi. Dalam bahasa Indonesia berarti agama jadi penuntun tingkah laku manusia, manusia hanya melakukan tugas menjadi manusia selebihnya hanya bisa berpasrah kepada tuhan, ingat dari mana kita berasal. Falsafah tersebut dapat menjadi pengingat untuk kembali melakukan apa yang menjadi tuntunan dalam beragama.
2. Tanggungjawab
Terdapat falsafah yang dapat menjadi pedoman supaya senantiasa bertanggung jawab seperti, margining kautaman, ngudiyo laku utama, abot anak tinimbang telak. Dalam bahasa Indonesia berarti jalan menuju keutamaan, menghayati perilaku muliya dengan berbudi pekerti luhur, dan mengutamakan anak daripada isi perut. Hal tersebut mengajarkan tanggung jawab manusia untuk kebijaksanaan.
3. Amanah