Sudah 73 tahun perjalanan negara ini sebagai bangsa demokrasi, berbagai skenario demokrasi tercatat sebagai untaian sejarah. Dimulai dari pasca proklamasi yang diwarnai oleh kharisma khas Bung Karno, dengan demokrasi Orde lamanya yang beberapa kali mengalami fluktuasi kondisi pemerintahan.Â
Orde baru dengan kepemimpinan Presiden Soeharto, mengokohkaan nuansa otoliterisme yang membuat demokrasi tertahan pada lingkup parlementer. Hingga saat ini, pasca reformasi yang berkharakter demokrasi semi liberlisme di mana kebebasan pers dan berpendapat berkobar begitu masif. Tentunya semua ini dicatat sebagai pencarian jati diri bangsa ini terhadap demokrasi.
Pada tahun 2019 ini, Â negara kita akan merayakan euforia demokrasi. Tepat Pada 17 April nanti kita akan melangsungkan sebuah manifestasi dalam berdemokrasi melalui pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Serta Pemilihan para legislator yang akan mengemban amanah selama 5 tahun ke depan untuk memperjuangkan hak - hak rakyat.
Demokrasi adalah sebuah sistem bernegara yang menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam menentukan kebijakan, mengawasi pelaksanaan kebijakan, hingga memperingatkan apabila terjadi penyelewengan kebijakan.Â
Menurut Bahmueller demokrasi lahir dari kombinasi berbagai faktor, diantaranya adalah politik, ekonomi, budaya, sosial, agama, hukum, dan HAM. Bila diibaratkan, demokrasi seperti halnya sebuah puzzle yang membutuhkan berbagai faktor tersebut untuk mencapai sebuah telos (tujuan akhir).Â
Telos yang menjadi misi demokrasi kita termaktub dalam ideologi pancasila. Sebuah ideologi yang menjadi khitah rakyat indonesia nan majemuk untuk mencapai sebuah kedaulatan. Dan dalam menjalankan demokrasi, rakyat dituntun melalui kaidah -- kaidah yang tercantum di atas lembaran konstitusi. Tentunya sinergitas antara berbagai faktor dan aktor demokrasi sangat dibutuhkan agar cita -- cita bangsa bisa tetap diwujudkan. Â
Sayangnya pada saat ini, penerapan demokrasi sedikit paradoks dengan hakikatnya sebagai representasi dari berbagai faktor yang membentuknya. Demokrasi kita yang menganut prinsip trias politica berupa yudikatif, eksekutif, dan legislatif mengalami ketimpangan.Â
Berbagai faktor pembentuk tersebut pada saat ini kehilangan semangatnya dan menjadikan politik sebagai kuasa prima dalam menggerakan demokrasi bangsa. Bahkan politik mampu menggerogoti faktor lain sehingga menjadi lumpuh dan tak berdaya.Â
Elit Tris politica kita yang dibentuk guna mengurusi berbagai faktor demokrasi pada akhirnya keblinger dan melakukan kesalahan dalam melakukan manuver berdemokrasi. Hingga akhirnya muncul dua poros yang masing -- masing dari mereka mementingkan kuasa politik untuk pragmatisme golongon dari pada kepentingan bangsa secara agregat. Â
Akibatnya bisa dilihat bagaimana gesekan -- gesekan politik begitu banyak terjadi mengiringi setiap isu -- isu bangsa yang muncul. Dan menjadikan faktor lain kehilangan daya fungsinya sebagai penyeimbang dalam demokrasi.
Dari segi sosial dan agama misalnya, dimana dalam tragedi gempa Lombok sentimen -- sentimen  primordial politik berbasis agama lebih menggema dari pada empatisme sosial kultural. Â
Persoalan hukum dan HAM di mana presekusi mejadi pembenaran. Dikarenakan elit yuridis kendalikan oleh kepentingan elektabilitas politik, sehingga berakibat pada terkurungnya hak konstitusional masyarakat dalam berpendapat. Berbagai Gerakan tagar yang sangat provokatif hingga berimbas pada munculnya sentimen terhadap sesama mesyarakat.
Hingga isu ekonomi mengenai kurs rupiah pada tahun 2018 lalu yang tergorok oleh penguatan Dolar AS. Di mana isu ini menjadi pembenaran untuk mengeluarkan berbagai statement negatif untuk menggring opini publik.
Berbagai problem -- problem tersebut diperparah dengan propaganda media yang begitu getol dengan penayangan acara debat. Menghadirkan dua poros yang masing -- masing mengeluarkan argumen politisnya yang dibungkus dengan cita - cita kepentingan bangsa. Yang satu begitu gencar menyerang dengan mengeluarkan berbagai aib dan anomali atas kebijakan pihak lain. Di sisi lain pihak yang diserang juga tidak mau kalah dengan mengeluarkan berbagai pembelaan dan prestasi yang telah diraih. Tentunya semua hal ini bermuara pada satu kepentingan, yaitu politik.
Pada akhirnya, yang menjadi korban adalah kita, yaitu masyarakat secara umum. masyarakat dipaksa melihat kontenstasi demokrasi yang anomali. Masyarakat  menjadi terpecah belah dengan kesalahan tafsir demokrasi yang begitu kental dengan faktor politik. Bila hal seperti ini berlanjut, diiringi dengan arogansi politik, bukan tidak mungkin menjadi sebuah justifikasi munculnya perang saudara di kemudian hari. Bukankah banyak dari negara -- negara lain yang mengalami krisis multidimensial diakibatkan oleh sentimen politik sesama masyarakat, sehingga berlanjut pada perang saudara.
Sudah saatnya Trias politica  harus mengubah mindseat semangat demokrasinya yang benar -- benar menjalankan fungsi sebagai pelaksana, penyusun dan pengawasan terhadap kaidah -- kaidah demokrasi yang tertera dalam konstitusi. Tiga serangkai ini harus menjamin komponennya bersinergi satu sama lain, serta menjaga pluralismenya yang berisikan berbagai faktor demokrasi  agar tidak mengalami ketimpangan.
Seperti halnya legislatif yang merupakan corong utama bagi masyarakat memasukan berbagai aspirasi, tentunya harus menjadi sebuah badan demokrasi yang memiliki independensi yang tidak terikat terhadap berbagai intervesi politik apapun.Â
Eksekutif yang merupakan badan pelaksana juga harus menjaga konsistensinya. Serta yudikatif yang merupakan badan penegak yuridis harus bisa mengeluarakn justifikasi yang adil dan tidak terikat oleh kepentingan politik.
Selain itu, demi mengubah arah semangat demokrasi, masyarakat harus bisa mencerna hakikat demokrasi sebenarnya yang merupakan kolaborasi dari berbagai faktor. Dan berperan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.Â
Mengubah cara pandang dan melakukan reformasi sikap dengan tidak terbawa pada arus politik praktis, sehingga semangat demokrasi yang dikeluarkan bisa terarah pada kepentingan bersama.Â
Masyarakat harus sadar bahwa demokrasi adalah sebuah alat untuk mencapai kemufkatan dalam meraih kedaulatan. Masyarakat harus segera melakukan perubahan pola pikir.Â
Caranya adalah dengan berkontribusi dalam menghidupkan setiap faktor pembentuk demokrasi. Mahasiswa misalnya melalui ormawa, masyarakat umum melalui ormas dan lembaga swadaya, Â perlu melakukan titik fokus kajian di salah -- satu faktor demokrasi.Â
Mahasiswa sebagai simbol intelektualitas harus selalu melakukan berbagai diskursus keilmuan, mengkaji perihal faktor - faktor demokrasi sehingga aplikatif untuk dijadikan sebuah kebijakan. Menjaga marwah sebagai elemen independen yang tidak terikat dengan berbagai kepentingan politik praktis.
Di sisi lain elemen masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya dan ormas juga harus memfokuskan pada analisa -- analisa aspek kemasyarakatan. Menafsirkan berbagai kebutuhan masyarakat, kemudian dibahas dan diajukan kepada pihak -- pihak yang berada pada elit Trias politica.
Tentunya kita berharap bangsa kita semakin matang dalam menjalankan prinsip demokrasi. Setiap masyarakat harus bisa berperan di ranah masing - masing, serta tidak keluar dari kaidah demokrasi yang sudah ditetapkan.Â
Ketika semua masyarakat bisa saling bersinergi dengan baik, maka cita -- cita melahirkan demokrasi yang berkedaulatan rakyat tidak lagi menjadi sebuah utopia belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H