Kini, penyebaran informasi, pesat. Sebagian berpendapat limitless. Alhasil, siapa saja sangat mudah mencari informasi tentang apa saja. Barangkali kini masa jaya media, klimaks. Siapa saja dapat menciptakan media yang membicarakan tentang apa saja.
Bahkan terduga dalang pengeboman Thamrin, Bahrun Naim juga dapat “tayangkan” media, blog. Terkejut? Saya sarankan urung. Sebab siapapun yang menulis tentang apapun akan tidak ada efek, jika kita, sebagai penikmat media membentengi diri dengan cara menyaring informasi.
Maraknya kemunculan media baik mainstream maupun “non-mainstream“, tidak serta-mertameningkatkan mutu konten yang diudarakan. Maksud saya, toh tidak semua yang mem-posting puisi adalah seniman. Tidak semua yang menulis lirik adalah pencipta lagu.
Oleh karenanya, menyaring-nyaring informasi mutlak diperlukan oleh pelaku baca. Tidak langsung menelan apa yang disajikan.
Menyaring-nyaring bacaan sangat berbeda dengan meragukan bacaan. Sebab, jika sudah ragu, itu artinya pembaca telah sampai pada kesimpulan. Padahal kesimpulan yang telah diambil terlampau jauh dari pesan yang hendak disampaikan.
Menyaring bacaan dapat meningkatkan mutu baca. Misalnya, ketika kamu tengah mendalami sebuah persoalan, terorisme. Kini, batang tubuh terorisme sedang marak diceritakan, media mana yang tidak menyajikan tulisan tentang terorisme? Saya pikir semua.
Tapi apakah semua media itu menyajikan tulisan yang serupa? Tentu saja tidak. Ada banyak versi, banyak sudut pandang. Dan kesemua sudut pandang itu tentu ada yang tidak kamu butuhkan. Dalam hal ini, cara membuat bom, misalnya.
Nah media yang menyajikan tulisan begitu patut dicurigai, disaring. Tidak langsung diamini. Sebab apakah kamu benar-benar ingin tahu cara membuat bom?
Begitu pun pada hal lain. Semua informasi, harus disaring. Cara yang paling mudah dengan membenturkan tulisan itu dengan kebutuhan kamu. Apakah kamu benar-benar membutuhkan informasi itu, atau sebaiknya dihilangkan.
Lalu apa jadinya ketika sebuah media menyajikan tulisan yang “tidak penting”. Seharusnya ditinggalkan, tapi sekarang justru sebaliknya. Tulisan miring, penuh desahan justru menjadi primadona para kaum baca.
Miris, karena pelakunya juga termasuk anak-anak. Apakah anak itu salah? Saya pikir tidak. Toh mereka hanya sebatas akses. Terlebih, sekarang mengakses tentang hal apapun sangat mudah, berada di ujung jari. Cukup klik.