Iman Sugema dan M. Iqbal Irfany
Bayangkanlah, suatu ketika anda berbelanja di supermarket dan anda dikenakan harga yang salah untuk sebuah jenis barang tertentu. Katakan saja Anda hendak berbelanja 1 kg beras seharga enam ribu rupiah, namun mesin pemindai ternyata mengidentifikasinya sebagai roti seharga sepuluh ribu rupiah. Kira-kira seperti apa reaksi yang akan anda lakukan? Jika anda menyadari telah ada kesalahan harga, tentu anda akan melakukan protes bahwa yang anda beli adalah beras, bukan roti. Namun jika anda tidak menyadarinya, maka sebenarnya anda telah 'dicuri' oleh mesin pemindai dan pada kejadian seperti ini tidak terjadi jual beli yang adil karena harga yg diberlakukan adalah harga yang salah.
Intinya adalah bahwa salah satu syarat terjadinya sebuah transaksi yang adil adalah penetapan harga yang benar. Kalau yang anda beli adalah beras, menjadi tidak adil bila harga yang dibayar adalah roti. Kalau roti lebih mahal dari beras, maka si pembeli mengalami kerugian. Sebaliknya jika roti lebih murah, otomatis yang mengalami kerugian adalah si penjual.
Kesalahan harga semacam itu bukanlah hal yang jarang terjadi sehari-hari. Dalam perbankan konvensional misalnya, bunga bank atau interest pada umumnya dianggap sebagai harga uang atauthe price of money. Padahal, sebagaimana telah ditunjukan dalam kolom ‘Bukan Tafsir’ edisi yang lalu, bunga adalah harga waktu atau the price of time atau the rate of time preference. Yang menjadi persoalan apakah waktu bisa dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan harga uang dalam transaksi pinjam meminjam secara konvensional?
Tentunya para bankir akan berargumentasi bahwa waktu memiliki harga dan merupakan komponen utama dalam kredit konvesional. Karena kredit merupakan pembayaran yang ditunda, maka sewajarnya waktu juga diberi harga. Semakin panjang waktu jatuh tempo pembayaran kredit, semakin besar bunga yang harus dibayar. Begitulah hukumnya.
Akan tetapi, menentukan harga waktu menimbulkan kesulitan tersendiri.   Karena itu, dalam time value of money harga waktu digeneralisasi menjadi discount factor atau berapa nilai uang satu tahun mendatang yang memiliki nilai sama dengan sekarang. Dengan discount factor 10%, nilai uang 110 rupiah satu tahun yang akan datang sama dengan 100 rupiah sekarang. Pertanyaanya dari manadiscount factor datang?
Logika dasarnya datang dari opportunity cost. Waktu menyediakan kesempatan untuk menggunakan uang yang anda miliki baik secara produktif maupun konsumtif. Dalam perspektif produktif misalnya anda memiliki kesempatan untuk menginvestasikan uang dalam sukuk yang memberikan imbal hasil 10 persen. Dan ketikamemberikan pinjaman kepada orang lain, anda merasa kesempatan itu hilang. Karena itu anda merasa harus mendapatkan kompensasi atas kesempatan yang hilang tersebut.  Jadi harga kredit ditetapkan atas dasar kesempatan yang hilang atau opportunity cost.
Masalah utama dalam opportunity cost adalah penetapan harga berdasarkan pengandaian. Ketika anda meminjamkan uang, harga kredit diandaikan sebagai minimal sama dengan ketika berinvestasi dalam sukuk ataupun instrumen lainnya. Yang anda hadapi bukanlah harga kredit yang sebenarnya yang otomatis merupakan harga yang salah. Untuk memahami ini dengan baik, ilustrasi di bawah ini mungkin dapat menjelaskan apa yang saya maksud.
Andaikan anda memiliki sebuah perusahaan berskala kecil dan anda sebagai direktur dibantu oleh seorang sekretaris dengan gaji lima juta rupiah per bulan. Kemudian sekretaris tersebut meminta gaji sebesar dua puluh juta rupiah per bulan dengan argumentasi bahwa dia telah kehilangan kesempatan untuk bekerja di sebuah perusahaan multi nasional. Dengan kata lain dia menuntut gaji seolah-olah sedang bekerja di perusahaan multi nasional. Apakah tuntutan tersebut akan anda kabulkan? Pastinya tidak, karena sang sekretaris tidak sedang bekerja di sebuah perusahaan multi nasional. Lagi pula manfaat yang diberikan oleh sang sekretaris di perusahaan kecil berbeda dengan di perusahaan besar. Harga seorang sekretaris di kedua tempat tersebut jelas berbeda karena jenis pekerjaannya pun pasti berbeda.
Ada dua pelajaran yang dapat diambil dari ilustrasi di atas.  Opportunity cost merupakan konsep yang didasarkan atas andai-andai sehingga tidak dapat merefleksikan harga yang sebenarnya. Dalam khasanah ilmu ekonomi opportunity cost sering juga disebut sebagai shadow price atau harga bayangan. Andai-andai sifatnya hampir mirip dengan maisir karena didalamnya mengandung unsur ketidakpastian.
Kedua, harga yang sebenarnya harus merefleksikan manfaat yang menjadi underlying transaction. Harga atas jasa seorang sekretaris ditetapkan atas manfaat yang diberikannya. Begitupun harga kredit mestinya ditetapkan atas dasar manfaat yang sebenarnya, bukan atas dasar andai-andai. Mungkin karena itu pula dalam perbankan syariah, return yang diperoleh pemilik modal ditetapkan berdasarkan untung-rugi dalam sebuah perkongsian. Artinya, harga modal atau harga uang ditetapkan berdasarkan untung-rugi yang benar-benar telah terjadi, bukan atas dasar opportunity cost.
Dari uraian di atas, ada kaitan yang jelas antara bunga, opportunity cost dan ketidakjelasan penetapan harga modal. Mungkin karena itu pula Dewan Syariah Nasional melarang penetapan margin yang berbasis opportunity cost. Tapi, penjelasan kami tetap bukan tafsir lho. Kesimpulan tetap ada di tangan Anda.
(pernah dimuat di Kolom Bukan Tafsir Iqtishodia Republika, 26 Agustus 2010, dengan Judul "Harga yang Salah") . #2nd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H