Mohon tunggu...
Iqbaal Ramadhan
Iqbaal Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Mohamad Iqbal Ramadhan

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ekonomi Studi Pembangunan 2017 Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mencetak Uang sebagai Upaya Menghadapi Resesi Covid-19, Berbahayakah?

3 Mei 2020   16:30 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:14 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu moneter internasional yang saat ini banyak menuai pro kontra dikalangan para ekonom dunia dalam menghadapi ancaman resesi yang diperkirakan setara dengan The Great Depresion tahun 40-an atau bahkan lebih parah, untuk kasus pandemi covid-19, efek terhadap perekonomian belum pernah terjadi sebelumnya.

Oleh karena itu banyak negara seperti Jepang,India,Amerika Serikat,Eropa,Inggris bahkan Indonesia yang kemudian percaya untuk melakukan langkah kebijakan moneter yang berani dalam menghadapi krisis dengan mencetak uang sebagai pelonggaran kuantitatif yang harapannya akan meningkatkan permintaan konsumen, memulai proyek bisnis baru, mendukung bisnis dan juga tenaga kerja.

Isu ini bukan barang baru, pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang juga pernah di lakukan dalam mengembalikan perekonomian tahun 2008 ketika krisis AS terjadi, The FED mencetak uang hingga $1 Trilliun Dollar untuk menginjeksi rumah tangga, perusahaan dan bisnis tetap kembali normal, saat ini European Central Banking juga menghapus batas obligasi yang dapat dibeli negara zona euro manapun, 

Begitupun Bank of England dalam pernyataannya siap berkomitment memberikan pinjaman tak terbatas kepada pemerintah apabila dibutuhkan, Bank sentral Jepang juga menyatakan siap membeli obligasi pemerintah dalam jumlah tak terbatas. Secara sederhana bank sentral di negara besar secara signifikan meningkatkan pinjaman kepada lembaga keuangan dan pemerintah dalam menghadapi krisis saat ini sebab pasar tak mampu menjamin untuk menyediakan pinjaman dalam jumlah besar akibat pelemahan ini.

Kemudian yang menuai kontradiktif dikalangan masyarakat dunia ialah apakah tindakan dengan melalui pelonggoran kuantitaf mampu menyelesaikan masalah krisis ini ? kemudian bagaimana dengan inflasi akibat dampak kebijakan ini, ? ada juga yang kemudian mengingatkan dengan hyperinflation yang pernah di alami oleh Zimbabwe.  Isu ini menarik untuk saya bahas dan melihat sejauhmana kefektifan isu ini apabila benar benar di lakukan.

Critical Review

Untuk mengkritisi isu moneter pelonggaran kuantitatif maka diperlukan pemahaman bahwa uang muncul dalam perekonomian dilakukan oleh bank sentral dengan memberikan pinjaman langsung ke sektor perbankan dengan mempertimbangkan stabilitas harga dan keuangan, dalam artian pasokan uang dari bank sentral dimediasi oleh bank komersial dan pasar keuangan, karna hingga saat ini perusahaan maupun individu hanya bisa melakukan transaksi rekening melalui bank komersial sehingga sebagian uang yang dipasok dalam sirkulasi berupa uang tunai dan adapun non tunai dihasilkan dalam pinjaman ekonomi seperti upaya stimulus dan lain lain.

Pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang saat ini secara garis besar diperdebatkan oleh dua madzhab yakni Ekonom Tradisional dan Modern yang diinisiasi oleh Modern Monetary Theory (MMT). Ekonomi konvensional menetapkan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang cenderung diperdagangkan daripada menjadi alat tukar. Terbukti saat ini perbankan yang menganut madzhab ini menjadikan komoditas dalam proses pemberian kredit dengan instrumen bunga. 

Hal ini menjadi ladang spekulasi empuk untuk banyak orang didunia, konsepsi tersebut berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, terutama sejak awal abad 20 hingga saat ini. Ekonomi berbagai negara diseluruh dunia tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis yang berikutnya pasti akan terjadi lagi dan saat ini pandemic covid 19 kembali menjadi krisis yang tidak main main.

Sedangkan Modern Monetary Theory adalah penyimpangan yang signifikan dari pandangan tradisional tentang ekonomi yang diajarkan di sebagian besar sekolah bisnis (Bernie Sanders,2019). 

Dalam pandangan ekonom tradisional, gagasan pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang secara umum dianggap sebagai ide yang buruk, berbeda dengan MMT yang berpedapat bahwa mencetak uang haruslah menjadi alat ekonomi yang berguna, dan hal itu tidak secara otomatis mendevaluasi mata uang, menyebabkan inflasi bahkan kekacauan ekonomi seperti yang dibayangkan kaum tradisional.

Di Amerika secara terbuka mengakui bahwa federal dapat mencetak semua uang yang dibutuhkan, dan tidak ada hal buruk terjadi (Bussinessinsider,2020). Untuk menganalisa hal ini, kembali pada krisis 2008  saat  The FED mencetak dollar hingga $1 Trilliun untuk menalangi krisis yang terjadi, ketika konsepsi Ekonom Tradisional digunakan maka hal itu pasti akan berakibat inflasi namun realita yang terjadi mencetak uang sebanyak itu justru tidak menimbulkan inflasi selama krisis, $1 triliun sebenarnya adalah ujung bawah dari perkiraan bailout walaupun pada kenyataannya biaya yang dikeluarkan setinggi $29 triliun (Levy Economic Institute,2019).

Berkaca dari pengalaman empiris inilah kemudian menjadi prinsip utama MMT bahwa mencetak uang tidak sepenuhnya berbahaya dan bisa jadi menguntungkan (Ben Bernanke.2009). Dalam menghadapi krisis, 19 negara di kawasan mata uang euro, memberlakukan suku bunga negatif untuk mengeluarkan uang dari rekening bank, dengan harapan menghasilkan inflasi.  

Disatu sisi, Bank Sentral Eropa memasok Euro sebesar 2,5 triliun dalam pelonggaran kuantitatif dan kekhawatiran akan inflasi tidak pernah terjadi. Empiris ini kemudia dijadikan dalih banyak negara dalam merespon krisis corona saat ini bahwa mencetak uang tidak dengan sendirinya menjadi penyebab inflasi pasti ada sesuatu yang lain.

Perdebatan akan pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang mengingatkan pada hyperinflasi yang dialami Zimbabwe periode 1990-an ketika rezim Robert Mugabe mencetak dolar Zimbabwe dalam jumlah besar yang berakibat devaluasi parah terhadap mata uang negara tersebut, pemicu inflasi menurut MMT bukan berasal dari Uang saja melainkan dari factor Mugabe yang memaksa para petani kulit putih meninggalkan tanah mereka dan memberikan tanah pertanian mereka kepada para prajurit yang telah berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan Zimbabwe dari Inggris.  

Masalahnya adalah para prajurit ini tidak pandai bertani. Produksi menurun tiba-tiba dan akibat kejadian tersebut Zimbabwe mengimpor makanan dari luar dan tidak mampu memberi makan untuk dirinya sendiri. Pertanian menjadi Backbone dengan kontribusi 60% dari perekonomian Zimbabwe.

Begitupun dengan Jerman pasca kekalahan perang, mereka mencetak uang untuk menutupi krisis dan saat itu juga factor dan kapasistas produksi jerman telah hancur akibat perang, yang mengakibatkan hiperinflasi di negara tersebut.

Secara teoritis, apabila negara terus melakukan belanja dan tidak bisa menghasilkan barang untuk memenuhi pengeluaran maka konsekuensinya ialah inflasi, dan apabila dilakukan dalam jangka panjang maka hiperinflasi sebagai puncaknya (Bill Mitchel, 2019). Oleh karenanya MMT mendukung gagasan dalam menangani krisis saat ini dengan mencetak uang baru denganbeberapa syarat yang penting. 

Madzhab ini juga menyarankan agar bank sentral menyalurkan uang ke dalam perekonomian, mendorong bisnis untuk mempekerjakan lebih banyak orang dan konsumen untuk menuntut lebih banyak barang dan jasa. Keberadaan pengangguran adalah bukti de facto yang jelas bahwa pengeluaran pemerintah bersih terlalu kecil untuk menggerakkan perekonomian ke pekerjaan penuh, apabila kondisi ini tercapai maka Mencetak uang sebagai upaya pelonggaran kuantitatif tidak akan berbahaya.

Selebihnya, pengendalian mata uang beredar selama pelonggaran kuantitatif dilakukan dengan intrumen pajak sebagai anti inflasi (Jim Edward,2020), logika untuk meningkatkan pajak ditengah pandemic membuat ekonom tradisional skeptic bahwa tidak ada pemerintah mana pun yang berani menaikkan pajak selama periode inflasi dan kebijakan pajak sulit untuk dilaksanakan dengan cepat, sedangkan inflasi dapat bergerak cepat. 

Logika ekonomi tradisional memiliki pandangan bahwa pajak digunakan sebagai instrument untuk menaikkan pendapatan pemerintah untuk membiayai aktivitas ekonomi lain (asumsi ini mirip seperti Rumah tangga), sedangkan MMT menyatakan bahwa karena pemerintah harus menciptakan uang terlebih dahulu untuk membelanjakannya, dan hanya setelah itu beredar dapat dikenai pajak kembali.

Maka kesimpulan yang dapat ditarik dari critical review ini ialah :

  • Pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang dalam menangani krisis pandemic covid-19 tidaklah berbahaya sebagaimana empiris yang telah terjadi sebelumnya
  • Pelonggaran kuantitatif haruslah diiringi dengan pemenuhan produksi dan kapasitasnya, sehingga inflasi bisa ditekan, secara sederhana pasokan uang baru haruslah digunakan sepenuhnya untuk memenuhi full employment dan mendorong produksi dan dikendalikan dengan instrument pajak, walaupun secara empiris hal ini sangatlah skeptic untuk dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun