(Fakta yang diputarbalikkan demi menjaga nama baik keluarga dan kampung)
Kami duduk di atas batang sebuah pohon mangga yang dikelilingi kuburan, sembari bercerita tentang banyak hal, soal kelahiran, keluarga, cita-cita, hingga kematian.
Saripah mulai bercerita tentang awal pertemuannya dengan seorang lelaki dari Ujungpandang yang bertandang ke Ujung Paku. Pakaiannya rapi, berdasi, dengan sepatu mengkilap.
"Bagaimana ceritanya, kau sampai di sini?" tanyaku.
Saripah menghela napas, lalu mulai bercerita.
...
Awal tahun 90-an, saat saya menginjak usia remaja. Bagi gadis yang kesehariannya di rumah, dan langkahnya tak jauh-jauh dari kampung di Ujung Paku, sangat langka melihat orang gagah dan cakap berpakaian rapi.
Ia menatap saya, sesaat ketika turun dari sedannya. Ia dikawal oleh dua orang berbadan kekar dan tinggi. Saya curiga, mereka ini tuan tanah puluhan hektar di seberang sungai. Ya, benar sekali.
Pemuda itu menunjuk di sekeliling, tak sengaja terdengar soal jual-beli. Daeng Nai', yang saat itu adalah tokoh masyarakat di kampung cukup hormat pada pemuda itu, sehingga tiap langkahnya dikawal kemanapun.
Daeng Nai' mengajak Jusman (nama pemuda itu) ke rumahnya. Tetapi, sebelum langkahnya menuju rumah di seberang jalan itu, Jusman menunjuk ke arahku.
Ia berjalan ke arahku, lalu bertanya siapa namaku.
"Saripah, saya Saripah" jawabku gugup.