"Yoh, ngupi luk." Adalah ajakan yang sering saya dengar di Pangkalpinang. Ajakan yang pada awalnya cuma buat ngopi doang dapat berkembang kearah diskusi dan obrolan pelik. Warung kopi adalah satu hal yang tidak bisa lepas dari masyarakat kota Pangkalpinang. Bahkan warung kopi dikota ini sudah menjadi ikon penting dimasyarakat.
Pelanggan warung kopi memang didominasi oleh pria. Saya rasa hal ini juga tidak hanya di kota Pangkalpinang saja, Â tetapi di seluruh Indonesia. Mengapa pria ini lebih suka ngopi di warung kopi padahal kopi buatan bini di rumah rasanya juga ngga jauh beda dengan rasa di warung kopi. Ada hal lain yang lebih menarik daripada hanya duduk sambil menghirup kopi. Warung kopi tidak hanya menyajikan kopi, tetapi juga ada obrolan dan diskusi didalamnya.Â
Obrolan tentang politik, sosial, budaya, dan kemasyarakatan mendominasi obrolan para pria tersebut. Warung kopi tidak sekedar menjadi ajang nongkrong dan kongkow-kongkow, melainkan menjadi sarana untuk bersosialisasi, berdiskusi, dan menyampaikan informasi. Rasa ingin tahu alias kepo memang banyak juga yang mendorong para laki-laki ini untuk menyambangi warung kopi. Disana mereka bisa ngerumpi tanpa mendengar omelan dari bini. Ngobrol sesama lelaki tanpa tedeng aling-aling.
Diskusi hal-hal politik, budaya, bahkan naik turunnya harga timah bisa mendominasi obrolan di warung kopi ini. Kadang kala jika topik yang dibicarakan terlalu sensitif, obrolan ringan pun dapat berubah dengan diskusi yang panas. Pro dan kontra sebuah ide dan gagasan pun tak pelak mendapat counter-argument dari pihak lain yang punya pendapat berbeda.
Selama beberapa dekade terakhir ini banyak bermunculan cafeyang menargetkan pelanggan anak-anak muda. Tempat ngopi yang cozy dan modern menjadi konsep utama dalam mendirikan cefe tersebut. Tempat ngopi seperti ini didesain dengan suasanya yang banyak menampilkan dunia anak-anak muda. Dengan tata cahaya yang apik dan suasana rileks. Tak jarang juga mereka menyuguhkan live music untuk menarik pengunjung. Eksklusivisme menjadi sajian utama di cafe-cafe tersebut.
Berbeda dengan konsep yang menjadi landasan utama di bisnis warung kopi modern tersebut, warung kopi tradisional juga tak kalah peminatnya. Bahkan banyak anak-anak muda dan mahasiswa lebih cenderung memilih warung kopi seperti ini untuk tempat nongkrong mereka. Selain harganya lebih miring, obrolan dan suasana di warung kopi tradisional memang lebih asyik untuk dinikmati. Harga bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dan topik obrolan bisa ditangkap oleh semua lapisan masyarakat. Tak ada lagi eksklusivisme dalam warung kopi tradisional.
Dalam sebuah warung kopi yang ada di Pangkalpinang, strata sosial tidak lagi dipakai meskipun atribut kehormatan itu masih tetap ada. Strata sosial dalam masyarakat tidak lagi menjadi penghalang untuk ngerumpi. Semua membaur menjadi satu. Pejabat pemerintah, kepala polisi, anggota DPRD, tukang parkir, makelar, bahkan kaum millenial dan anak muda dapat terlibat dalam sebuah obrolan yang mengasyikkan.
Bahkan para pejabat seakan terlihat seakan warung kopi ini merupakan kantor kedua bagi mereka. Dalam warung kopi, mereka dapat berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Penyampaian pendapat, keluh kesah, dan unek-unek dapat disampaikan secara gamblang dan personal. Aspirasi masyarakat dapat tersampaikan secara efektif dalam suasana yang santai. Mungkin ada buruh bangunan atau pedagang pasar yang tidak dapat bertemu pejabat dapat langsung menjabat tangan mereka serta menyampaikan apa yang menjadi kesulitan mereka di warung kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H