[caption id="attachment_346254" align="aligncenter" width="620" caption="Indahnya tanah Papua"][/caption]
Tahun 2014 adalah tahun yang manis buat saya, menjelang akhir tahun saya dapat kesempatan mengunjungi Papua 3 kali. Memang bukan untuk berwisata, tapi bagaimanapun bekerja sambil menengok tanah seindah Papua tetap sebuah kemewahan. Saya bilang kemewahan karena Papua memang masih sangat mahal dan sulit terjangkau. Harga tiket pesawat dari Makassar ke Papua lebih mahal dari tiket pesawat dari Makassar ke Jakarta. Belum termasuk harga-harga di Papua yang beberapa di antaranya memang sangat mahal.
Padahal Papua adalah sebuah salah satu keping keindahan potensi wisata Indonesia. Papua bukan hanya Raja Ampat karena sepertinya sekujur tubuh pulau Papua diberkahi keindahan yang luar biasa.
Tapi kenapa Papua masih tertinggal dalam urusan pariwisata? Kenapa masih banyak orang Indonesia yang memilih ke luar negeri daripada ke Papua? Padahal apa mungkin Anda lihat di luar negeri juga bisa Anda lihat di Papua.
Jawaban pertama adalah soal harga yang mahal. Untuk bisa ke Papua memang butuh biaya yang besar, apalagi buat orang Indonesia di bagian Barat seperti pulau Jawa atau Sumatera. Bayangkan, paket wisata ke Raja Ampat dari Jakarta harganya bisa sama dengan paket umroh ke tanah suci.
Perbaikan Infrastruktur.
Tahun 2011 Malaysia mencatatkan pendapatan US$ 18.3 Miliar dan menempatkannya di posisi 14 sebagai negara yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari sektor pariwisata di seluruh dunia. Posisi Malaysia itu mengalahkan Indonesia, padahal kita tahu luas Malaysia itu tidak sampai ½ luas wilayah Indonesia.
Keberhasilan Malaysia memang bukan keberhasilan semalam, hasil itu diperoleh lewat kerja jangka panjang dengan dukungan segala pihak. Salah satunya adalah perbaikan infrastruktur pariwisata untuk memudahkan wisatawan yang ingin berkunjung dan menghabiskan waktu mereka.
Infrastruktur memang jadi PR buat pariwisata kita. Itu juga alasan kenapa biaya ke Papua dan daerah Timur Indonesia yang lain jadi begitu mahal, lebih mahal daripada biaya ke luar negeri. Beberapa daerah juga masih belum dilengkapi infrastruktur pendukung yang layak dan mampu membuat para wisatawan betah.
Urusan ini memang bukan urusan sepele, banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Kementerian Pariwisata tidak bisa sendirian untuk mengurusnya, selain tentu saja ada wilayah yang bukan wilayah mereka. Kementerian Pariwisata tidak bisa begitu saja menyuruh pemerintah daerah untuk membangun infrastruktur pariwisata, sesuatu yang bahkan presiden sekalipun sulit untuk melakukannya.
[caption id="attachment_346264" align="aligncenter" width="620" caption="Infrastruktur yang belum mendukung sepenuhnya"]
Sekali lagi butuh kerja keras dan usaha tanpa kenal lelah untuk menyadarkan pemerintah daerah yang punya potensi wisata luar biasa agar mau menganggarkan dana mereka membangun dan membenahi infrastruktur pariwisata di daerah mereka. Sejauh ini sudah banyak daerah yang paham soal itu, pemerintah daerah Wakatobi misalnya. Bupati Wakatobi dianggap sebagai salah satu bupati yang paling paham potensi wisatanya dan berhasil memperbaiki beragam infrastruktur pariwisata yang ujung-ujungnya membuat Wakatobi menyeruak menjadi daerah tujuan wisata popular di Indonesia.
Dalam hati saya berharap makin banyak pemerintah daerah yang mengikuti jejak bupati Wakatobi, tentu dengan dorongan dari Kementerian Pariwisata sebagai penanggung jawab utama pariwisata Indonesia.
Promosi Pariwisata.
Sebenarnya saya malas membandingkan pariwisata kita dengan pariwisata Malaysia, tapi bagaimana lagi? Mereka tetangga terdekat yang mampu membuat kita cemburu dengan pengelolaan pariwisatanya. Salah satunya adalah pengelolaan promosi pariwisata mereka.
Kalau berlangganan TV kabel kita pasti sering melihat begitu banyak iklan promosi wisata Malaysia yang bertebaran, iklan-iklan itu dibuat dengan sangat profesional dan benar-benar mengundang rasa ingin tahu orang. Yah meski jujur ketika melihat iklan itu dalam hati saya berucap “Ah, Indonesia juga punya yang seperti itu, bahkan lebih bagus.”
Tapi kalau memang Indonesia punya, kenapa Indonesia tidak membuat iklan yang sama menariknya dan kemudian disebar ke negeri-negeri lain? Selama ini saya hanya melihat ada sedikit iklan pariwisata Indonesia dalam bentuk video yang dibuat menarik, sisanya hanya baliho, flyer atau brosur. Hal yang menyedihkan adalah iklan pariwisata buatan pemerintah daerah biasanya menempatkan wajah kepala daerah dengan porsi besar, kadang malah seakan menutupi potensi wisata daerah yang ingin dijual.
Lah, memangnya wisatawan mau datang untuk melihat wajah kepala daerah? Ini sudah jadi seperti sebuah penyakit di negeri kita, iklan promo wisata selalu didompleng oleh pemerintah daerah untuk memamerkan wajah mereka. Sayang sekali karena ini sama saja dengan membuang uang, membuat promosi yang tidak tepat sasaran. Mungkin baru berhasil kalau pemerintah daerah adalah mantan finalis putri Indonesia atau paling tidak mantan model yang wajahnya bisa menyempurnakan potensi wisata sebuah daerah.
Kalau hanya seorang pria berkumis biasa dengan pakaian dinas kepala daerah, saya sendiri malas melihatnya.
Harapan saya, Kementerian Pariwisata bisa mendorong pemerintah daerah untuk membuat iklan promosi wisata menggunakan tenaga profesional dan kreatif supaya hasilnya juga sangat mengundang minat seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia.
Pasti akan sulit memang karena pasti ada pemerintah daerah yang berpikir, “Saya yang bayar, tapi kenapa muka saya tidak boleh terpasang?”. Tapi saya yakin, pelan-pelan pemerintah daerah pasti sadar kalau iklan pariwisata bukan iklan pilkada.
Kolaborasi Banyak Pihak.
Urusan wisata bukan hanya kewajiban Kementerian Pariwisata dan pemerintah daerah semata bukan? Bahkan warga juga punya kewajiban dan harus dilibatkan dalam semua usaha mengembangkan potensi wisata.
Anggaplah Kementerian Pariwisata sudah berhasil membuat regulasi yang mendorong majunya industri pariwisata, pemerintah daerahpun sudah berhasil membenahi infrastruktur dan membuat agenda promosi wisata yang tak lagi mirip dengan iklan pilkada, lalu pemerintah daerah juga sudah mampu menggandeng investor yang akan membangun sektor pariwisata di daerah mereka, lalu bagaimana dengan warga?
Cukupkah warga hanya ditempatkan sebagai objek atau mungkin hanya ditempatkan sebagai tambang uang saja? Tentu tidak bukan?
Warga di sekitar tempat wisata sudah seharusnya diajak untuk ikut menjaga dan memanfaatkan potensi wisata mereka. Di beberapa tempat sudah mulai tumbuh cara-cara positif menumbuhkan kolaborasi dari banyak pihak untuk pengembangan potensi wisata. Warga diajak bekerjasama, dilibatkan dalam industri pariwisata.
Melibatkan Warga
Pelibatannya ada banyak cara, salah satunya agar para investor mau mengajak mereka ikut menjadi penyedia jasa layanan untuk para wisatawan. Di Takabonerate, Selayar cara ini sudah diadopsi oleh pengelola taman nasional Takabonerate. Mereka mengajak warga di sekitar taman nasional untuk menyediakan perahu bagi wisawatan, menjadi koki yang menyiapkan makanan bagi wisatawan dan tentunya ikut menjaga wilayah mereka dari para pengebom ikan.
Cara ini efektif, warga jadi ikut dilibatkan dan dengan senang hati menjaga potensi wisata mereka. di sisi lain investor juga aman dari kemungkinan gesekan antar investor dan warga yang sering terjadi.
Lalu kolaborasi lainnya bagaimana?
Mudah saja, sekarang tren traveling sedang mewabah. Jumlah orang yang rajin traveling atau bahkan membentuk komunitas traveling sudah makin banyak. Mereka-mereka ini secara tidak langsung menjadi bagian dari promosi wisata Indonesia. Mereka datang ke suatu tempat, bercerita tentang tempat itu di media sosial atau di blog mereka dan mungkin saja menarik perhatian dari orang-orang lainnya yang kemudian juga berniat melakukan perjalanan yang sama.
[caption id="attachment_346266" align="aligncenter" width="620" caption="Bentuk kolaborasi yang menyertakan blogger dan fotografer"]
Alangkah baiknya merangkul mereka, membuatkan simpul-simpul dengan komunitas traveling atau para travel blogger. Mereka bisa diajak untuk ikut mempromosikan satu daerah wisata lewat kegiatan mereka, atau bisa juga membuat event-event khusus yang melibatkan mereka.
Khusus untuk komunitas traveling, mereka punya tugas yang cukup penting karena selain mereka hanya menyebarkan virus traveling mereka juga bisa menyebarkan edukasi dan pelajaran etika tentang traveling supaya kejadian-kejadian seperti wisatawan yang mengotori tempat wisata tidak terjadi lagi. Makanya, penting untuk merangkul komunitas-komunitas seperti ini.
Harapan saya, Kementerian Pariwisata lewat tangan-tangannya di daerah bisa lebih maksimal dalam menjalin kerjasama dan kolaborasi dengan individu dan kelompok penikmat wisata ini. Jangan hanya berkolaborasi dengan pemerintah daerah, investor atau agen perjalanan saja.
Wisata Indonesia masih berbentuk kepingan-kepingan kain perca, tersebar dari Timur ke Barat, dari Utara ke Selatan. Sudah waktunya perlahan-lahan kepingan itu dijahit menjadi satu potensi besar yang menguntungkan banyak pihak. Karena bagaimanapun semua punya peran, semua adalah subjek. [dG]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H