Mohon tunggu...
I Putu Tirta Agung S
I Putu Tirta Agung S Mohon Tunggu... -

Gak banyak, cuma orang biasa yang kebetulan ngerti cara ngetik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kritik untuk JJ Rizal: Sekarang Saatnya Jakartawi, Bukan Betawi

14 April 2016   00:25 Diperbarui: 14 April 2016   21:14 2707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: KFK Kompas"][/caption]Salam kenal. Tulisan ini merupakan tulisan perdana saya dan merupakan kritik saya terhadap komentar saudara JJ Rizal yang menuduh Ahok sebagai penyebab hilangnya Budaya Betawi dan juga sebagai tanggapan tulisan saudara Tuwi Haydie yang berjudul “Ahok Jauh di Bawah JJ Rizal, pun Sebaliknya”. Di dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengajak teman-teman yang mungkin membaca tulisan ini untuk sedikit lebih kritis dalam menanggapi konsepsi "budaya", terlebih lagi "sejarah". Sebagai referensi utama, saya masih mengacu pada tulisan Lance Castles yang berjudul "The Ethnic Profile of Jakarta", terbitan Cornell University tahun 1967. Selain tulisan ini masih menjadi tulisan pengantar bagi siswa-siswa antropologi yang ingin melakukan studi tentang Betawi, tesis beliau hingga kini juga masih belum terpatahkan.

Namun sebelum saya tenggelam lebih lanjut ke dalam diskusi ini, ada baiknya saya menceritakan sekilas mengenai siapa saya, toh ini merupakan tulisan perdana dan sudah sewajarnya saya memperkenalkan diri. Saya itu dari direncanakan, dibuat, lahir hingga SD kelas tiga tinggal di daerah Kemayoran, selanjutnya berpindah rumah ke daerah Komplek Walikota Kelapa Gading hingga lulus SMA, kemudian berkuliah di Salatiga, dan kini bekerja di Bali

Hidup juga pernah membawa saya untuk tinggal di Melbourne selama setahun menempuh studi strata tiga di bidang Antropologi Ekonomi. Kedua orang tua kandung saya asli Bali, tapi saya sedikit pun tidak bisa secara aktif berbahasa Bali sebab pernah punya pengalaman pahit ketika ingin belajar bahasa “leluhur “ saya tersebut, yaitu ditertawakan habis-habisan oleh “keluarga Bali” saya. 

Mungkin bagi mereka, saya terdengar lucu. Lagipula karena kedua orang tua saya berbeda kasta, ayah Sudra dan ibunda almarhum Ksatria, Bahasa Indonesia seolah menjadi lingua franca teraman buat saya ketika berbicara kepada keluarga besar dari pihak ibunda almarhum, yang menurut pengakuan mereka masih keturunan para ksatria “Keraton Majapahit”. 

Jadi, inilah saya. Seorang keturunan Bali yang hanya bisa berbahasa Betawi, Jawa, Indonesia dan Inggris, tanpa sedikit pun bisa berbahasa Bahasa Bali secara aktif. Maka dari itu, meskipun ketika kecil sampai menamatkan SMA, teman-teman selalu mencap saya orang Bali, semenjak hidup di Salatiga dan pindah ke Bali hingga kini saya tetap dicap orang Jakarta.

Mungkin latar belakang di ataslah  yang membuat kata "budaya" dan "sejarah" jadi menarik buat saya dan selalu mengusik keberadaan saya sebagai “orang Indonesia” hingga kini. Oleh sebab itu, ketika membaca tulisan saudara Haydie mengenai cara objektifnya dalam melihat rivalitas antara Ahok dan JJ Rizal, serta tuduhan bung Rizal terhadap Ahok yang sudah saya sebutkan di paragraf pertama tulisan ini, saya malah jadi bertanya-tanya, budaya yang seperti apa sih sebenarnya yang sudah tergerus di Jakarta? Jikalau bung Rizal menyebut-nyebut budaya Betawi, memang budaya yang endemik lahir dan besar di Betawi itu sebetulnya seperti apa?

Setahu saya berdasarkan fakta sejarah, dari jaman pra-kolonialisme, sebelum datangnya orang-orang “Porto” hingga sekarang, Jakarta, atau apapun namanya di masa lalu, jika meminjam istilah antropologi, selalu jadi "melting pot" budaya. Bahkan kalau Bung Rizal mengaku orang Betawi, alias keturunan asli Jakarta, keturunan asli yang mana? Betawi Udik atau yang mana? Bukannya Betawi Udik saja setengahnya sudah beda provinsi, Banten, yang ketika permekaran ngakunya juga punya “fakta sejarah” yang berbeda dari Jawa Barat alias Pasundan dan Jakarta alias Batavia? Terus kalo Bung Rizal ngakunya asli Depok, bukannya masuk Jawa Barat alias Pasundan alias Parahyangan ya, terus bukannya jadi orang Sunda ya? Lalu pasti bung Rizal juga ngerti 'kan gimana sejarah awal mulanya Depok kan ketika Belanda masih berkuasa? Lantas orang Betawi itu siapa dong?

Bukankah Jakarta yang sekarang ini, kalau ditilik dari sejarahnya, tidak punya penduduk asli seasli-aslinya? Misalkan yang minimal sudah ada selama sepuluh abad terakhir, beranak pinak di daerah yang kini bernama Jakarta? Atau mungkin tidak usah sampai sepuluh abad, minimal sudah tujuh turunan, sekitar tiga sampai empat abad beranak pinak di daerah yang dicap Bung Rizal sebagai Betawi? Kalau kedua kriteria tadi yang dipakai, maka Bung Rizal mesti “legawa” memasukkan peranakan Cina Benteng maupun orang-orang keturunan Belanda dan Portugis yang tentunya sudah mungkin lebih dari tujuh turunan beranak-pinak dan berbaur dengan pribumi lokal di daerah yang dulu disebut Batavia, ke dalam konsepsi budaya yang Bung Rizal sebut sebagai Betawi.

Kalau menurut pengamatan saya dan juga dari berbagai resensi yang saya baca, Jakarta benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan daerah lainnya, sebagai contoh Bali, di mana jika penduduk asli alias "indigenous people"-nya adalah yang terlama mendiami daerah itu (minimal dalam hitungan sepuluh abad), maka Bali dan daerah lainnya masih punya, Jakarta tidak. 

Malah di Bali, eksodus kedua orang Jawa ke Bali atau yang biasa disebut oleh ahli antropologi sebagai “Arus Pertama Kolonialisasi Majapahit di Bali” pada sekitar abad ke-14, yaitu yang dikenal sebagai orang Bali sekarang ini, sudah beranak-pinak kurang lebih tujuh abad lamanya, lebih dari tujuh turunan. Di lain pihak, budak-budak yang dulu pernah dibawa Belanda di awal abad ke 19 dari Pulau Bali untuk diperjual-belikan di Batavia dan selanjutnya mendiami kampung Bali, yang secara tidak langsung dicabut secara paksa dari akar budaya aslinya, yakin saya, keturunan mereka kini pastinya juga mengaku sebagai orang Betawi.

Kemudian jika kita menilik Betawi dari sisi linguistik, kita akan menemukan bahwasanya Bahasa Betawi itu sendiri lebih menyerupai bahasa yang bersifat lingua franca ketimbang bahasa yang kental dengan kedaerahan tertentu, atau biasa disebut bahasa endemik. Bahasa kebanggaan orang Betawi ini kaya akan kata-kata serapan dari berbagai macam budaya yang mungkin dibawa oleh etnik-etnik atau suku-suku yang dulu pernah tinggal di wilayah Jakarta. 

Ini menjadikan Bahasa Betawi untuk tidak memiliki tingkatan tutur bahasa seperti bahasa-bahasa endemik yang ada di daerah lainnya di nusantara, semisal pola “basa ngoko“,“madya“,“krama“,“kedaton atau bagongan“, dan “kasar“ yang dapat kita temukan di Bahasa Jawa maupun Bali. Kemudian, Bahasa Betawi juga tidak memiliki aksaranya sendiri, sebagai contoh Naskah Pecenongan yang ditulis oleh Muhamad Bakir di abad ke 19 yang notabene disebut-sebut sebagai “harta karun terpendam”-nya sastra Betawi, menggunakan Bahasa Melayu dan ditulis dalam aksara Jawa alias Hanacaraka. Malah dari satu daerah ke daerah yang lain yang masih berada di dalam wilayah yang diakui sebagai daerah Betawi versi Bung Rizal, hanya berbeda dialek tanpa perbedaan makna yang signifikan.

Jadi sekali lagi, budaya manakah yang dimaksud bung Rizal? Apakah tradisi roti buaya ataukah tradisi bertukar pantun yang dimaksud Bung Rizal sebagai Budaya Betawi yang sudah “tergerus”? Ataukah malah gaya berpakaian seperti peci dan mengalungkan sarung di leher atau pundak? Yakin semua itu benar-benar berasal dari budayanya orang-orang yang dicap Bung Rizal "Betawi" itu? Kalau benar budaya "melting pot" adalah tipe “budaya” yang dimaksud oleh bung Rizal lewat fakta-fakta sejarahnya, maka setahu saya sifatnya terlalu dinamis, sebab budaya “pemenang” yang berlaku biasanya bersifat kontemporer dan selalu berubah-ubah mengikuti dinamika perubahan etnografi yang mendiami daerah "melting pot" tersebut, tidak melulu berpatokan pada tradisi yang cenderung kaku.

Bukan karena saya mendukung Ahok atau mencoba menjatuhkan bung JJ Rizal, wong KTP saja sudah bukan berlogo Monas, melainkan hanya mencoba objektif. Sebab saya juga bisa mengatakan kalau saya orang Betawi yang kebetulan beragama Hindu bukan Islam, yang lebih terbiasa "ngomong lo-gue", ketimbang "cai-cang", selalu kangen makan ketoprak, gado-gado, gabus pucung ataupun kerak telor, ketimbang lawar serta babi guling, dan ketika berbicara kata "pulang" ya ke Jakarta, bukan Bali. Lha wong ayah dan adik kandung masih mengadu nasib di Jakarta. Terlebih lagi kalau menurut saya, Betawi itu sebagai sebuah konsepsi budaya sudah terlalu kuno dan benar-benar menafikan kondisi kekinian Indonesia, wong nama Batavia sendiri sudah berubah jadi Jakarta, jadi seharusnya bukan “Betawi” tapi “Jakartawi”.

Di sini Bung Rizal harus berani berbicara jujur, karena lagi-lagi berdasarkan fakta sejarah, konsep Betawi itu sendiri secara etimologi sebenarnya adalah cap yang diberikan bangsa kolonial kepada orang-orang Indonesia pribumi alias inlander yang mendiami daerah di sekitaran Batavia, bukan di dalam Batavia itu sendiri.

Dan kalau anda betul-betul berbicara tentang budaya, Bung Rizal seharusnya sadar kalau budaya "melting pot" yang sudah saya bahas di atas, hukum dasarnya adalah perubahan. Tradisi pasti dengan cepat terkikis dan itu merupakan sebuah kepastian. Sebab pola etnografis akan terus berubah dalam waktu yang semakin cepat, kelompok-kelompok budaya baru akan terus berdatangan ke Jakarta membawa budaya dan tradisinya masing-masing, saling berinteraksi dan akhirnya membuat sebuah budaya "melting pot" baru, begitu seterusnya. Dan ini juga sekali lagi saya katakan mengapa konsep Betawi sebagai budaya itu sudah ketinggalan jaman sebab kini eranya “Budaya Jakartawi”. Bukankah Ahok itu Gubernur Jakarta, bukannya Batavia tho?

Sehingga untuk permasalahan ini, saya harus akui, Koh Ahok (setidaknya ahli-ahli sejarah dan antropolog-antropolog di belakangnya) lebih maju dalam segala hal ketimbang Bung Rizal seorang diri. Lagipula jika anda pernah tinggal di Jakarta atau bahkan mungkin dari lahir hingga saat ini masih tinggal di Jakarta, Anda harus akui kalau Ahok benar ketika mengatakan, "...orang Jakarta bukan seperti orang Solo yang dengan diajak minum teh bersama saja mau mengerti kalau mereka harus pindah, sebab mereka menempati tanah negara...."

Dari pernyataannya ini, saya nilai Ahok mengerti bagaimana “budaya” yang tumbuh di Jakarta kini. Untuk jadi objektif, kita tidak perlu mengangkat ataupun menjatuhkan kedua belah pihak. Untuk jadi objektif cuma butuh kejujuran dalam melihat situasi dan permasalahan, itu sih kalo menurut saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun