Ini menjadikan Bahasa Betawi untuk tidak memiliki tingkatan tutur bahasa seperti bahasa-bahasa endemik yang ada di daerah lainnya di nusantara, semisal pola “basa ngoko“,“madya“,“krama“,“kedaton atau bagongan“, dan “kasar“ yang dapat kita temukan di Bahasa Jawa maupun Bali. Kemudian, Bahasa Betawi juga tidak memiliki aksaranya sendiri, sebagai contoh Naskah Pecenongan yang ditulis oleh Muhamad Bakir di abad ke 19 yang notabene disebut-sebut sebagai “harta karun terpendam”-nya sastra Betawi, menggunakan Bahasa Melayu dan ditulis dalam aksara Jawa alias Hanacaraka. Malah dari satu daerah ke daerah yang lain yang masih berada di dalam wilayah yang diakui sebagai daerah Betawi versi Bung Rizal, hanya berbeda dialek tanpa perbedaan makna yang signifikan.
Jadi sekali lagi, budaya manakah yang dimaksud bung Rizal? Apakah tradisi roti buaya ataukah tradisi bertukar pantun yang dimaksud Bung Rizal sebagai Budaya Betawi yang sudah “tergerus”? Ataukah malah gaya berpakaian seperti peci dan mengalungkan sarung di leher atau pundak? Yakin semua itu benar-benar berasal dari budayanya orang-orang yang dicap Bung Rizal "Betawi" itu? Kalau benar budaya "melting pot" adalah tipe “budaya” yang dimaksud oleh bung Rizal lewat fakta-fakta sejarahnya, maka setahu saya sifatnya terlalu dinamis, sebab budaya “pemenang” yang berlaku biasanya bersifat kontemporer dan selalu berubah-ubah mengikuti dinamika perubahan etnografi yang mendiami daerah "melting pot" tersebut, tidak melulu berpatokan pada tradisi yang cenderung kaku.
Bukan karena saya mendukung Ahok atau mencoba menjatuhkan bung JJ Rizal, wong KTP saja sudah bukan berlogo Monas, melainkan hanya mencoba objektif. Sebab saya juga bisa mengatakan kalau saya orang Betawi yang kebetulan beragama Hindu bukan Islam, yang lebih terbiasa "ngomong lo-gue", ketimbang "cai-cang", selalu kangen makan ketoprak, gado-gado, gabus pucung ataupun kerak telor, ketimbang lawar serta babi guling, dan ketika berbicara kata "pulang" ya ke Jakarta, bukan Bali. Lha wong ayah dan adik kandung masih mengadu nasib di Jakarta. Terlebih lagi kalau menurut saya, Betawi itu sebagai sebuah konsepsi budaya sudah terlalu kuno dan benar-benar menafikan kondisi kekinian Indonesia, wong nama Batavia sendiri sudah berubah jadi Jakarta, jadi seharusnya bukan “Betawi” tapi “Jakartawi”.
Di sini Bung Rizal harus berani berbicara jujur, karena lagi-lagi berdasarkan fakta sejarah, konsep Betawi itu sendiri secara etimologi sebenarnya adalah cap yang diberikan bangsa kolonial kepada orang-orang Indonesia pribumi alias inlander yang mendiami daerah di sekitaran Batavia, bukan di dalam Batavia itu sendiri.
Dan kalau anda betul-betul berbicara tentang budaya, Bung Rizal seharusnya sadar kalau budaya "melting pot" yang sudah saya bahas di atas, hukum dasarnya adalah perubahan. Tradisi pasti dengan cepat terkikis dan itu merupakan sebuah kepastian. Sebab pola etnografis akan terus berubah dalam waktu yang semakin cepat, kelompok-kelompok budaya baru akan terus berdatangan ke Jakarta membawa budaya dan tradisinya masing-masing, saling berinteraksi dan akhirnya membuat sebuah budaya "melting pot" baru, begitu seterusnya. Dan ini juga sekali lagi saya katakan mengapa konsep Betawi sebagai budaya itu sudah ketinggalan jaman sebab kini eranya “Budaya Jakartawi”. Bukankah Ahok itu Gubernur Jakarta, bukannya Batavia tho?
Sehingga untuk permasalahan ini, saya harus akui, Koh Ahok (setidaknya ahli-ahli sejarah dan antropolog-antropolog di belakangnya) lebih maju dalam segala hal ketimbang Bung Rizal seorang diri. Lagipula jika anda pernah tinggal di Jakarta atau bahkan mungkin dari lahir hingga saat ini masih tinggal di Jakarta, Anda harus akui kalau Ahok benar ketika mengatakan, "...orang Jakarta bukan seperti orang Solo yang dengan diajak minum teh bersama saja mau mengerti kalau mereka harus pindah, sebab mereka menempati tanah negara...."
Dari pernyataannya ini, saya nilai Ahok mengerti bagaimana “budaya” yang tumbuh di Jakarta kini. Untuk jadi objektif, kita tidak perlu mengangkat ataupun menjatuhkan kedua belah pihak. Untuk jadi objektif cuma butuh kejujuran dalam melihat situasi dan permasalahan, itu sih kalo menurut saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H