Selain itu, rencana aksi mitigasi memastikan keselarasan komitmen iklim nasional dengan internasional, seperti NDC Perjanjian Paris. Rencana ini sepantasnya menyediakan peta jalan terstruktur bagi pemerintah, organisasi, serta pemangku kepentingan supaya memprioritaskan sumber daya, menerapkan intervensi, termasuk melacak perkembangannya dari waktu ke waktu. Dengan mengintegrasikan data penghitungan karbon ke dalam langkah-langkah tindak lanjut tersebut, maka rencana mitigasi sepatutnya mendorong akuntabilitas, pembangunan berkelanjutan, serta mengamankan pendanaan inisiatif iklim global.
"Langkah penyusunan DRAM sendiri ada tiga, diawali dengan pengukuran emisi kawasan hutan (deforestasi dan degradasi hutan), perumusan aksi mitigasi, lalu dituntaskan dengan penyusunan DRAM," kata Suci menjabarkan.
Konsep Dasar dan Pentingnya Penghitungan Karbon
Mengapa suatu perusahaan wajib menghitung potensi karbon hutan? Kalau melihat dari target nasional Indonesia yang berniat mengurangi emisi, baik di dalam negeri dengan angka 31%, maupun lewat kerjasama luar negeri sebesar 43%, maka sekitar 60% potensinya berasal dari sektor kehutanan. Sektor kehutanan merupakan prioritas dalam upaya aksi mitigasi nasional. Angka 60% itu kemudian dibagi lagi menjadi tiga, yaitu fungsi konservasi, produksi, dan lindung, di mana masing-masing fungsi berada di kisaran 22% sampai 23%. "Maka, angka pada hutan produksi menjadi sekitar 55%," kata Ridwan.
Dari 23 kelas tutupan lahan di Indonesia yang menjadi bagian klasifikasi tutupan, hutan primer dan sekunder menjadi penyimpan karbon terbesar. Kenyataan ini memperlihatkan, bahwa ketika sebuah dokumen rancangan aksi mitigasi sedang disusun, maka akan jauh lebih baik jika pengambilan data dilakukan langsung di lapangan. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) disebutkan, syarat penyusunan DRAM adalah Tier 3, yaitu penghitungan langsung di lapangan dengan akurasi tertinggi. Tier 1 adalah yang terendah, di mana suatu perusahaan menggunakan data global rata-rata persediaan karbon di berbagai negara. "Sementara Tier 2 adalah data nasional yang mencakup potensi penyimpanan karbon di lahan primer, sekunder, kering, semak belukar, tanah kosong, perkebunan lahan kering campur, serta perkebunan," kata Ridwan menjabarkan. Jika suatu perusahaan belum bisa melakukan Tier 3, maka data Tier 2 dapat digunakan. Meski demikian, alangkah baiknya jika suatu perusahaan dapat menghimpun data yang lebih akurat lewat Tier 3.
Penghitungan lain yang tidak kalah penting adalah mengetahui perbandingan potensi vegetasi. Misalnya jika pada suatu lahan terdiri dari primer, kering, dan bakau, maka perusahaan dapat menilik perbandingan jenis vegetasi dari data tersebut sehingga dapat diketahui potensi pengurangan emisinya.
Metodologi dan Pendekatan Penghitungan Karbon
Penghitungan karbon tidak hanya mengungkap data di hadapan pembuat kebijakan, tetapi juga mempromosikan praktik berkelanjutan, serta menarik investasi lewat solusi berbasis kehutanan seperti reboisasi dan agroforestri. Memantau persediaan karbon pun meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, sekaligus membantu melindungi keanekaragaman hayati serta ekosistem kunci. Lebih daripada itu, penghitungan karbon ikut mendukung kolaborasi global serta membekali baik pemerintah maupun organisasi lewat data, sehingga mereka mampu mengadaptasi hutan kala melawan dampak perubahan iklim, memastikan hutan tetap tangguh, serta mampu menyediakan layanan ekosistem kunci.
Metodologi yang saat ini digunakan diatur lewat Peraturan Menteri LHK No 21 Tahun 2022 dengan berlandaskan prinsip-prinsip keterbukaan. Perusahaan yang sedang divalidasi harus menyerahkan seluruh data mentah serta melakukan uji petik di plot-plot karbon perusahaan mereka. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi pembeda antara masalah karbon dengan masalah lingkungan lainnya, yang dalam konteks inventarisasi tidak melakukan validasi lapangan sehingga menyebabkan pembuatan plot juga pengukuran potensi hutan tidak akurat.
Metodologi penghitungan karbon dibagi dua, mandatory dan voluntary. Metodologi mandatory termasuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Sistem Registri Nasional (SRN), serta SNI. Sementara yang termasuk metodologi voluntary adalah Small Scale (Plan Vivo), Medium Scale (Verified Carbon Standard), serta Large Scale (Climate, Community & Biodiversity Standards). Khusus Climate, Community & Biodiversity Standards (CCB), lembaga itu ikut menghitung dampak keanekaragaman hayati termasuk peran masyarakat setempat. "Masalah perubahan iklim saat ini tidak hanya membahas mengenai karbon, tetapi juga masalah yang terjadi pada masyarakat serta keanekaragaman hayati, khususnya yang langka dan terancam punah," kata Ridwan menerangkan. Dengan demikian, wilayah-wilayah seperti Papua dianjurkan untuk melakukan penghitungan karbon demi meningkatkan nilai kawasannya.
Sementara untuk pendekatan penghitungan karbon dibagi dalam dua metode, yaitu destruktif dan alometrik. Mana yang terbaik? Tentu saja destruktif, karena memiliki akurasi tertinggi meski memakan biaya mahal dan waktu yang lama. Perusahaan yang terbatas waktu dan biaya dapat menggunakan alometrik yang sebenarnya disusun berdasarkan metode destruktif, seperti menebang dan menimbang daun, akar, serta ranting. Ridwan sendiri mengaku pernah menebang dan memisahkan 79 pohon dari daun dan rantingnya.