Tidak hanya untuk mendorong komitmen global, penghitungan karbon di sektor kehutanan adalah bagian penting demi menekan dampak perubahan iklim. Hutan, khususnya yang berada di Asia Tenggara dan Amerika Selatan, menyerap sejumlah besar karbon dioksida. Namun, pembukaan lahan seperti yang terjadi baru-baru ini di Indonesia seluas dua juta hektare, melepaskan karbon yang tersimpan sehingga secara langsung berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.
Akhir Januari 2025 kemarin, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, Bidang Kajian dan Strategis, Komisi Lingkungan dan Keberlanjutan, menyelenggarakan webinar bertopik "Penghitungan Karbon pada Sektor Kehutanan dan Penyiapan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) di Indonesia". Webinar ini bertepatan dengan peresmian perdagangan karbon internasional yang pertama oleh Bursa Karbon Indonesia.
Koordinator PPI Dunia, Adhie Marhadi lewat sambutannya menyampaikan, jika dilihat dari sektor kehutanan, terutama upaya dalam mendukung pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia, penghitungan karbon dan rencana aksi mitigasi sudah jelas relevan dan mendesak. "Kehutanan menjadi sektor kunci dalam mencapai komitmen Indonesia di Perjanjian Paris. Bersama para praktisi, PPI Dunia andil dalam menyebarkan ilmu serta meningkatkan pemahaman metodologi penghitungan karbon di sektor kehutanan, selain menjabarkan regulasi, kebijakan, termasuk praktik terbaik dalam penyiapan DRAM di Indonesia," kata Adhie menekankan.
Penghitungan karbon yang akurat menyokong pengukuran keseimbangan karbon bersih hutan, yang selanjutnya memungkinkan banyak negara memenuhi tujuan iklim internasionalnya, seperti yang diuraikan dalam mekanisme REDD+. Tidak hanya itu, penghitungan karbon juga menjadi dasar bagi pasar karbon saat membantu konservasi hutan menghasilkan kredit karbon, sehingga pada akhirnya terciptalah insentif finansial di pengelolaan hutan berkelanjutan.
Rencana Aksi Mitigasi Sebagai Peta Jalan Terstruktur
PPI Dunia mengundang dua ahli dalam webinar. Yang pertama adalah Muhammad Ridwan, Direktur Eksekutif PT Cedar Karyatama Lestarindo, yang juga ahli dalam penghitungan karbon. Sejak 2001 Ridwan melakukan berbagai studi tanah mineral, bakau, serta lahan gambut di sejumlah provinsi. Pada 2017, Ridwan sempat berpatisipasi dalam penelitian Potensi Penurunan Emisi Berbasis Reduced Impact Logging yang dilaksanakan program USAID Lestari, serta menjadi anggota pertemuan metodologi karbon hutan di Sofia, Bulgaria pada 2014. Buku panduan dan rujukan juga ditulis oleh Ridwan, salah satunya Kontribusi Perhutanan Sosial Terhadap Pencapaian NDC di Indonesia pada 2020.
Ahli kedua adalah Suci Andriyanningsih dari Green Leadership Indonesia yang memaparkan bagaimana cara perusahaan menyiapkan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM). Suci adalah ahli kehutanan, konservasi keanekaragaman hayati, serta pengelolaan sumber daya lingkungan yang berpengalaman sebagai analis emisi karbon di PT Sucofindo pada 2022. Suci juga ikut menulis kajian konservasi keanekaragaman hayati untuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2023.
Di awal pemaparannya Suci mengingatkan bahwa inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) wajib dilakukan oleh pelaku usaha yang berpotensi menjadi sumber emisi dan termasuk dalam sektor Nationally Determined Contributions (NDC) dan/atau subsektor NDC pada target pengurangan emisi GRK. Sementara DRAM sendiri adalah dokumen yang dihasilkan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK No 7 Tahun 2023). "DRAM yang dihasilkan suatu perusahaan harus menggambarkan emisi GRK yang dihasilkan ketika pelaku usaha tidak melakukan aksi mitigasi, termasuk emisi ketika menerapkan aksi mitigasi. Selisih antara kedua hal tersebut menjadi emisi bersih," kata Suci menjelaskan.
Menerapkan rencana aksi mitigasi menjadi penting karena berhubungan dengan penghitungan karbon. Rencana aksi menerjemahkan data penghitungan karbon menjadi strategi yang mampu ditindaklanjuti dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Penghitungan karbon mengidentifikasi wilayah yang perlu diperhatikan seperti deforestasi, degradasi, atau peluang yang selama ini kurang dimanfaatkan dalam penyerapan karbon. Tanpa rencana yang jelas, data penghitungan karbon tidak dapat digunakan secara efektif demi mencapai tujuan iklim.