Mohon tunggu...
Ipon Bae
Ipon Bae Mohon Tunggu... profesional -

Ipon Bae adalah seorang penulis lepas. Pegiat bahasa daerah dan budaya lokal.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

ANAK PESISIR BAU AMIS

11 Juni 2011   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ANGIN berdesingan di pantai Muara Jati ketika kaki kugeret lagi di atas panas pasir pesisir. Papan-papan yang tersemat di dinding, atap rumah yang dilungkupi anyaman pelepah kelapa tua, sudah sejak kecil aku hafal. Kalau hujan lebat dari biasa, tempiaslah setiap sisinya. Tak jarang buku-buku pelajaranku huruf-hurufnya berubah kabur, tersiram air langit. Bajuku berubah warna. Kalau tak menguning, dipastikan bintik-bintik hitam karena pakaian itu disaput lembap berkepanjangan. Aku mulai pekerjaan hari-hariku membantu Mimi. Sekumpulan rebon berlari, bersembunyi di balik riak air. Saat jari tanganku menyentuhnya, rebon itu tak bergeming. Ada udang yang lebih besar sebentar-sebentar melayang dan menghilang. Jari tanganku lebih lincah menghadang. Jika tangkapanku hari ini lebih dari biasa, maknanya Mimi dan Mama senang. Tak usah bersebak dada memutar akal, apa yang akan menjadi sambal, sedang Mama tentulah peluhnya tengah bersimbah, perahu jungkup telah membawanya menghadang samudra sejak pagi sampai surya ke balik bumi. Tapi telah lepas bakda Isya Mama belum juga pulang. Itu biasa bagi kami. Apalagi jika purnama. Mama kerap berlama-lama di tengah samudra sana. Meski harga hasil laut menjunam, semangat Mama membelah lautan tak pernah padam. Aku bangga pada Mama. Meski tiba masa itu, aku mau tak mau meninggalkan Mimi dan Mama untuk sementara waktu. Ujian nasional berakhir kulewati dengan mata berair. Bukan karena aku tak mampu mengerjakannya. Namun apa iya, Mimi dan Mama akan kutinggalkan begitu saja, demi sebuah cita-cita si anak pesisir? Kucing kurus mandi di pasir, anak panah lepas dari busur. Di sini, di lereng Bukit Amparan Jati, aku dilahirkan. Dalam tubuh mimiku masih mengalir darah Arab. Mamaku juga masih ada keturunan Cina. Menurut cerita mimi dan mamaku, dahulu ketika dimulainya kerajaan Islam Cirebon, Pelabuhan Muara Jati banyak disinggahi kapal-kapal dagang Arab, Cina, dan lainnya untuk berniaga dengan penduduk setempat, dengan berdagang garam, hasil laut, pertanian dan terasi. Lima kilometer, ke arah selatan dari pelabuhan Muara Jati, banyak saudagar dan pedagang asing yang bermukim dan menetap dengan mendirikan sebuah permukiman di Lemahwungkuk. Dulu daerah itu bernama Caruban, yang berarti campuran, kemudian berganti Cerbon, kemudian ditetapkan menjadi Cirebon hingga sekarang. Mataku terasa panas. Tadi pagi di sekolah kuterima kabar itu. Pihak universitas menerimaku sebagai mahasiswa tanpa tes. Semula aku tak yakin, karena aku miskin. Hanya lewat angka-angka rapor sejak kelas satu hingga kelas tiga jiwaku berbicara pada mereka. Dadaku bersuara pada guru. Semestinya aku mensyukuri. Tapi Mimi dan Mama bagaimana? Walau pada awal masuk di universitas nantinya akan kulewati dengan percuma, setelah itu gelombang sebenarnya akan menghadang. Mimi dan Mama hanya menyandarkan hidup dari tangkapan rebon dan ikan di lautan. Mataku berubah basah saat camar melayang-layang girang. Hari pendaftaran itu sudah di ambang. Kalau universitas itu masih daerahku, mungkin soal ongkos dan biaya hidup tak terlalu menyesakkan dadaku. Tapi ini? Universitas itu nun di seberang sana melewati gunung dan cadas. Apa yang orang bilang kota Paris van Java tak bisa dibilang dekat. Meski galau mendesau, aku beranikan diri mengatakan niat hati pada Mimi. "Sira kudu mangkat, Cung! Sira kudu kuliah!" kata Mimi. "Tapi Mi, biaya'e niku boten murah!" jawabku pilu. "Cung, Mimi lan Mama berusaha terus mencari uang sekuat tenaga. Sing penting sira bisa kuliah," balas Mimi berat. "Tapi Mi!" kataku mulai ragu. Ngilu seketika menyuntih dadaku, "Kula boten saged patah di tengah nantinya. Kuliah bukan sebentar, Mi. Empat lima tahun baru bisa jadi sarjana." "Cung, apa sira wis beli sayang karo Mimi, apa sira wis beli eman maning ning Mama sira?" Mendengar jawaban Mimi, air mataku beriak. Semestinya aku tak meragui orang tua sendiri. Seharusnya aku bangga pada Mimi dan Mama. Nampak nian semangat keduanya hendak mengantarku jadi orang kelak. Meski kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Walau tak ada kayu, jenjang pun akan dikeping. Tak ada tanah, pasir pun jadi. Begitu kiranya Mimi dan Mama memilin dan menembikarkan harapan. Di kemudian hari anaknya lebih baik dari mereka. Tapi, aku masih saja sulit menerima. Apalagi percaya. "Baka sira beli jukut undangan kuen, mimi lan mama'e sira bakalan ketuwun, getun! Tiada kebahagiaan orang tua selain melihat anaknya berhasil dadi uwong. Anaknya lebih baik nasibnya dari mereka," kata guru pembimbing, saat hari terakhir aku menginjakkan kaki di sekolah menengah umum Cirebon yang belakangan aku dapat kabar sudah digusur untuk jadi supermarket. "Tapi aku takut kuliah tak sampai selesai." "Yang ke depan itu kita tidak tahu, Ri. Macam-macam boleh terjadi. Tapi kita harus yakin, bukankah barangsiapa yang berhijrah ke suatu daerah untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan untuknya." "Mungkinkah yang saya dengar selama ini benar adanya, Pak?" "Maksudnya apa, Ri?" "Di koran dan TV kadang saya lihat, para mahasiswa banyak yang kuliah sambil mendemo pemerintah. Semoga saja koran-koran itu tak mengarang cerita. TV-TV itu tak menyajikan berita dusta pada penontonnya." "Ri, untuk yang ini, koran itu benar. TV itu juga benar. Para pelajar dan mahasiswa turun ke jalan untuk mengingatkan pengelola negara agar menjalankan amanatnya dengan benar. Perlu diingat, perjuangan dan suara mereka itu untuk kemaslahatan rakyat. Bapak pun dulu seperti itu. Walaupun kebutuhan dan tuntutan hidup kian bertambah. Lebih kompleks. Bapak tidak menyandarkan hidup semata-mata pada sokongan materi orang tua. Jadi, kalau kamu tidak kreatif, tak pandai menangkap peluang, kamu akan ketinggalan dan kelaparan. Bapak yakin, kamu pasti bisa bertahan dan mandiri setelah di Bandung nanti. Coba kamu ingat, bukankah selama ini kamu jualan rebon dengan mengayuh sepeda ontel keliling kota Cirebon? Bukankah itu sesuatu yang patut dibanggakan? Maksud Bapak, tak banyak anak-anak di sini yang mau bersusah payah. Kebanyakan malas dan tak mau membantu kedua orang tua, walau sudah nyata kedua orang tua mereka susah. Nah, pesan Bapak, karena sudah biasa, yakinlah, di sana nantinya kamu bisa berjualan apa yang sekiranya halal sebagai cara untuk meringankan biaya kuliahmu." Mendengar penjelasan guru pembimbing panjang lebar itu, semangatku untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi sedikit banyak terpantik juga. Ya, bukankah sejak dari bangku sekolah dasar hidup telah mengajariku untuk tidak berpangku tangan? Untuk tidak bergelung saja di dalam selimut? Di terminal Harjamukti Cirebon mata Mimi menderas jelas ketika kakiku mulai melangkah ke pintu bus ekonomi jurusan Bandung. Sedang Mama di tengah lautan. Mungkin sedang mengembangkan jala penangkap ikan. "Sing ati-ati, Cung, pinter-pinter gawa awak dewek, akur bari batur, aja tinggal kang limang waktu, Mimi lan Mama akan selalu mendoakan! Kalau ada apa-apa, kabari Mimi segera ya." "Nggih, Mi," jawabku singkat dengan suara tercekat. Suara klakson bus berbunyi beranjak berangkat meninggalkan terminal. Rasa putus jantung dan nadi saat diri ini meninggalkan kota udang. Ujung selendang Mimi nampak mengibas, tangannya melambai, sekali-sekali ujung selendangnya itu ditekannya di pelupuk mata. Melihat Mimi kian sedu, aku pilu dan kelu. Baru aku sadari, berpisah dengan Mimi rupanya membuat gamang di badan diri. Walau begitu, aku pergi untuk Mimi dan Mama tercinta. Pergi untuk meneruskan mencari ilmu. Bekal hidup nanti di hari tua. Bandung yang dikenal sebagai kota kembang tidak menyengat dari Cirebon saat tekadku kian bulat. Kuliah sambil mencari tambahan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Saat kulihat papan pengumuman nama-nama mahasiswa yang lolos matrikulasi yang barusan ditempelkan. No. 001. Nama: KACUNG DIRI. Meski bertenang hati namaku ada diurutan pertama, kurasakan ini baru permulaan. Ini baru awal dari perjalanan. Satu semester kulewati dengan mencemaskan. Nilai mata kuliah memang memuaskan, tapi yang membuat keningku berlipat, untuk ke pembayaran kuliah semester berikutnya ke mana akan kudapat. Aku seperti gagap dengan kota kembang ini. Kalau di Cirebon aku tentu sudah berkeliaran keliling kota menawarkan dagangan rebon. Tapi di sini? Di kota Priangan dengan gedung tusuk sate ini? Aku surati Mimi bahwa aku akan berpijak di atas kaki sendiri.Pepatah Arab yang dikatakan guru mengajiku mengiang lagi, "Bukanlah disebut seorang pemuda jika berkata inilah ayah saya, tapi seorang pemuda itu disebut pemuda, yang berkata, inilah saya." Itulah isi suratku pada mimi. Aku agak percaya, Mimi mungkin tak akan berair mata karenanya. Meski Mimi juga tak akan pernah kuberitahu, anaknya menjadi pelukis foto di pinggir Jalan Braga selama itu, hingga toga disangkupkan di kepala. Malam berselendang bintang. Semoga pesanku sampai. Aku anak pesisir Muara Jati, aku pulang.*** Ipon Bae, penulis lepas, tinggal di Cirebon. Tribun Jabar. Minggu, 20 Maret 2011 | 17:07 WIB http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/43317/anak-pesisir-bau-amis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun