Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seniman Hidup-Hidup Seniman

9 Oktober 2024   15:38 Diperbarui: 9 Oktober 2024   18:28 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seniman Hidup, Hidup Seniman

Tujuh hari lalu, di room chatting Media Sosial, seseorang yang tidak berkenan namanya saya sebut, bertanya: "Apa dasar Anda mengatakan bahwa karya lukis Paul Hendro seolah memiliki jiwa, dimana istimewanya?. Darimana Anda bisa mengatakan bahwa tehnik guratan pisau paletnya serupa ruh yang bertumpu pada kuatrin atau oktaf dari chiffer-chiffer, kombinasi pelbagai metrum. Apa itu kuatrin, oktaf, chiffer, dan metrum-metrum? Bisa Anda jelaskan lebih rinci agar Anda pun tidak dikira telah melakukan "framing" argumentum ad-Hominem yang mengabaikan prinsip-prinsip logis atau etis. Ulasan Anda sangat tendensius. Saya dan publik yang rasional, yang sadar informasi akan menuntut bukti atas sebuah tulisan yang tidak jelas informasinya."

"Baik, Saya akan urai dan terang jelaskan. Semoga Anda mengerti dan dapat memahaminya, tetapi beri saya waktu, ijinkan saya pergi ke toilet dahulu. Saya akan merangkum jawaban atas pernyataan yang pernah saya lontarkan. Tetapi, bersediakah nama Anda saya sebut sebagai penanya?"

"Tidak perlu! Saya tidak bersedia. Anda jawab saja"

"Kalau begitu, saya anggap Anda sosok misterius dan saya sedang bicara dengan seseorang yang memiliki identitas fiktif."

Alasan saya mengulas karya seni Paul Hendro-yang menurut Anda mewah itu adalah sebuah pengakuan jujur yang tak terungkap dari diri Anda yang lain, tetapi untuk mengakuinya, Anda tidak cukup pengetahuan. Karya seni Paul Hendro terbukti istimewa. Kenapa saya bisa mengatakan begitu? Jika Anda kompeten, Anda bisa mengujinya melalui saya. Dan saya tidak butuh legitimasi dari siapapun untuk diuji. Kemudian, mengapa saya mereviewnya? Begini... Saya tak mau lagi menulis "berita"--semacam wahana atau bahkan mungkin satu-satunya wahana yang saat ini diterima oleh publik awam sebagai cara untuk mendiseminasi informasi--karena saat ini berita lebih banyak berfungsi sebagai wahana penyampai informasi, alih-alih "membuktikan" informasi. Era informasi, bagi saya, sudah mati.

Saya tegaskan; Paul Hendro terbilang seniman yang "hidup".Ia mencipta karya seni untuk memekarkan cahaya di dalam jiwanya. Ia mau membuka diri, moga cahaya dalam jiwanya pun ikut mekar. Tapi, bila menutup diri, berarti itu pun pilihannya. Sebuah karya seni seperti bibit cahaya, ia akan tumbuh dan memekarkan bunganya yang harum dan indah di lahan yang lembab, bukan gersang.

Anda atau siapa pun, bahkan saya sekalipun, bisa membuat mitos hiperbolik tentang sosok seniman, tapi tak mungkin melakukannya terhadap karya seni yang benar-benar brilian, sebab karya seni itu sudah cukup membuktikan keindahannya. Anda bisa memfitnah seniman, tetapi Anda tak mungkin memfitnah sebuah karya seni.

Secara teknik, seseorang ahli seni atau seseorang yang didapuk mumpuni di bidang seni bisa mencetak seniman. Tapi, ahli seni itu tak bisa mencetak Jiwa Seniman. Percayalah, tak ada metode singkat untuk mencetaknya. Jiwa seniman mesti dilahirkan, bukan dicetak. Begini adalah fakta yang tak terbantahkan: Segala yang tak berjiwa, hanyalah bangkai.

Pengetahuan hanya sebatas kata-kata, sebatas pikiran. Ia, pikiran itu, tak mampu mengubah apa pun. Hakikat kreativitas melampaui pikiran, mengatasi kata-kata. Sebuah resep gastronomi terhebat, hanyalah sekumpulan kata-kata tentang cara mencipta makanan terlezat. Begitu jelas tak ada gunanya bila Anda tak mampu menurunkan resep itu ke dalam hatimu, pula ke dalam pancimu. Seperti sepotong kebijaksanaan lama: "Zen melampaui setiap kata." Anda harus terlebih dahulu menemukan Zen di dalam hatimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun