Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seniman Hidup-Hidup Seniman

9 Oktober 2024   15:38 Diperbarui: 9 Oktober 2024   18:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan karya Paul Hendro /dok. pri

Menurut Anda, saya telah melakukan framing? Jawaban saya ini yang akan membuat Anda pintar. Camkan!: "Framing" adalah teori konspirasi atau salah satu teknik dari "advokasi hitam". Teknik ini ditandai oleh ketidakjelasan informasi (misalnya dengan mengabaikan prinsip 5 W + 1 H, yaitu What, When, Where, Who, Why + How) serta mengabaikan prinsip-prinsip logis atau etis, namun sangat tendensius. Sebuah tulisan tendensius yang mengangkat isu-isu sensitif bagi publik seperti agama, seks, etnis, politik, atau intelektualitas bisa menjadi "bahan baku" bagi "framing". Ya, betul seperti tuntutan Anda bahwa publik yang rasional dan sadar informasi akan menuntut bukti atas sebuah tulisan yang tidak jelas informasinya, tendensius.Tetapi jika Anda berpikir tak dapat menyangkal dan tak sanggup menyerang argumen orang yang Anda anggap telah melakukan konspirasi menggunakan teori framing, maka seranglah saja orang yang beragumen. Ini namanya sesat pikir jenis ad-hominem. Ada 14 kategori "argumentum ad-Hominem" sebagai sesat pikir (logical fallacy) yang perlu Anda tahu. 1. Fallacy of Dramatic Instance, 2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse), 3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial), 4. Argumentum Auctoritatis, 5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc), 6. Argumentum ad Baculum, 7. Argumentum ad Misericordiam, 8. Argumentum ad Ignorantiam, 9. Argumentum ad Populum, 10. Appeal To Emotion, 11. lgnoratio Elenchi, 12. Kesesatan Aksidensi, 13. Kesesatan karena Komposisi dan Divisi, 14. Petitio Principii.

Dan tentu saja, di artikel yang berbeda saya akan uraijabar dan gelar gamblangkan semua dengan contoh, kasus, sekaligus pembuktiannya. Kalau saya tuliskan semua disini tentu akan serupa makalah ilmiah yang sangat panjang dan membuat Anda atau pembaca lain bosan membaca dan ogah untuk menelaah.

Di tulisan ini saya hanya akan memberi jawaban sesuai pertanyaan Anda. Kembali ke soal dugaan Anda bahwa saya pun telah melakukan framing menggunakan argumentum ad-Hominem sebagai sesat pikir (logical fallacy) . Perlu Anda pahami dulu bahwa argumentum ad-Hominem adalah jurus andalan dari para politisi busuk atau provokator atau agitator massa. Menyerang argumen memang lebih beresiko, karena argumen bisa dibuktikan salah dan benar. Kalau benar, maka akan terbukti cerdas. Kalau salah, maka akan terbukti bodoh. Nah!, peluang untuk terbukti bodoh itu sama besarnya dengan terbukti cerdas, serta akan semakin besar kalau tahu bahwa Anda memang bodoh. Dan tak semua orang mau terbukti sebagai orang bodoh lalu belajar lagi sungguh-sungguh. Maka, sesat pikir ad-hominem pun menjadi solusi ilusifnya agar seolah terlihat cerdas. Menyerang pribadi orang yang beragumen itu memang mudah. Persoalannya sekarang: Bagaimana Anda membuktikan tuduhan Anda itu? Jika Anda tak bisa membuktikannya, lalu bagaimana Anda bisa yakin tuduhan Anda itu benar? Jika tuduhan Anda tidak benar, berarti Anda telah memfitnah atau membuat framing negatif terhadap pribadi seseorang tanpa bukti. Untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam satu kasus hukum, perlu pembuktian yang sangat panjang di dalam pengadilan, dan sama sekali tak segampang melontarkan ad-hominem. Sekarang kita mau bangsa kita cerdas atau bangsa pewaris sistem feodal-orang lain cukup menjadi "koeli?"

Menuntut orang lain, rendah hati adalah salah satu keangkuhan terselubung. Jika Anda memang rendah hati, maka jangan tuntut siapa pun untuk melakukan sesuai kemauanmu atau hanya kepadamu, tetapi tundukkan saja dan--bila perlu--penggallah sendiri kepalamu yang penuh muslihat egoistik itu. Negeri ini sudah lama diselimuti tuntutan rendah hati atau kesantunan palsu model begitu, semacam politik etis para "menir", agar Anda terus merangkak-rangkak sebagai "koeli" di hadapannya

Anda seolah menuntut dan memaksa orang lain agar "rendah diri" jika ada orang lain terbang, Anda segera menuntut orang lain itu merangkak-rangkak di tanah, sebab terbang dianggapnya sebagai bentuk keangkuhan (padahal maksudnya jangan terbang melebihi dirinya). Jika seseorang berjalan di tanah, maka ia akan mengejek orang yang berjalan di tanah itu agar segera terbang ke langit, tanpa memberi tahu bagaimana caranya terbang. Itulah mental feodal--termasuk bila sosok itu memiliki gelar akademis tertinggi--yang tak pernah bisa menatap sebiji benih angsana bertumbuh menjadi sebatang pohon menjulang.

Mental feodalistik macam begitu tak lain satu bentuk kemunafikan karena selalu menuntut yang lain agar "rendah hati", padahal maksud sebenarnya hanyalah agar yang lain itu selalu rendah diri di hadapannya. Rendah hati palsu semacam itu telah membuktikan hasilnya di sini: penjajahan selama berabad-abad. Kolonialisme dan feodalisme selalu bisa akrab, karena memang memiliki watak yang sama: budak! Kenapa? Karena hanya orang yang memiliki mental budaklah yang akan mampu memperbudak yang lain.

Melakoni solitude itu gampang diserukan. Tapi, uji sesungguhnya ada dalam laku, bukan dalam khotbah. Lao Tze berkata, "Tao bukan menambah, tapi mengurangi." Itu sama dengan aforisma sufi: "Matilah sebelum mati." Tiba mati tak membawa apa-apa, hanya sendiri, sepenuhnya sendiri. Saat terjaga, tak melihat segala yang ada dalam mimpi, namun kini bunga-bunga rumput itu nampak bermekaran di depan mata.

Di era Media Sosial seperti sekarang, di mana orang bisa menulis apa pun dan dengan gampang mengelak dari tanggung jawab, maka "framing" bisa merajalela lewat media sosial atau bahkan media massa. Karena itu, pers yang baik akan selalu berpatokan pada kode etik jurnalistik dan seorang penulis yang baik akan berpegang pada prinsip-prinsip etis di dalam penerapan ilmu pengetahuan atau informasi.

Kecenderungan sebuah tulisan yang menggunakan teknik "framing" bisa menggunakan gaya agitasi, gaya sesat pikir "misericordiam" (minta dikasihani), atau juga gaya yang sepintas terlihat rasional, tetapi ketika diuji biasanya tulisan "framing" akan terlihat kebohongannya (misalnya bisa dengan cepat melihat apatah tulisan tersebut memenuhi prinsip 5 W + 1 H serta prinsip-prinsip umum logika). Pengujian sebuah "tulisan framing" juga dapat dilakukan dengan memaksa penulis "framing" tersebut menunjukan bukti (fakta), koherensi teoritik, maupun silogisme (baik kategoris maupun hipotetis).Kebebasan berbicara harus pula diiringi dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pembicaraan di muka publik. Jika ada seorang yang membuat tulisan "framing", maka seperti yang seseorang lakukan di Grup Whatsaap privat, segera tuntut dan paksa dia untuk membeberkan bukti serta logika dalam tulisan "framing"-nya itu ke muka publik. Desak ia untuk bertanggung jawab ke muka publik, sebab ia sendiri telah melontarkan tulisan "framing"-nya ke muka publik. Jika ia menghindar dan membuat tulisan "framing" lainnya, maka patut diduga kuat bahwa ia memang telah membuat "framing" untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Begitu pula halnya dengan seni bertarung zaman para pendekar. Anda tahu atau pendengar setia sandiwara radio Tutur Tinular? Dalam lakon itu ada sosok pendekar bernama Arya Dwipangga atau Pendekar Syair Berdarah. Sosok pendekar pilih tanding itu menyimpan dendam abadi tetapi dibalik itu ia bukan lelaki konyol dan bodoh yang nekat menantang secara serampangan bertarung ahli beladiri lainnya hanya menggunakan syair-syair berdarahnya. Arya Dwipangga berguru dan berlatih sepanjang hidupnya, ia menjadikannya sebagai "Jalan Hidup" sebagai Pendekar Syair Berdarah. Pendekar Syair Berdarah akan mudah tertipu oleh egonya sendiri jika berpikir bisa dengan mudah mengalahkan para pendekar sakti lainnya tanpa belajar teori bertarung menggunakan jurus-jurus andalan, dan kelihaiannya mengayunkan pedang kembar dan mental jagoannya dengan benar selama bertahun-tahun. Di dalam pertarungan yang nyata nyawa pendekar syair berdarah tidak bisa diselamatkan hanya dengan menggembungkan syair-syair dan ego bodohnya. Begitu pula halnya dalam mencipta karya seni.

"Ilmu kanuragan adalah soal jiwa. Pelajari jiwa sebelum mempelajari jurus-jurusnya. Pikiran jahat, membentuk karakter pendekar berwatak jahat" perkataan Mpu Ranubaya pencipta Pedang Naga Puspa kepada bisa sedikit saya modifikasi, kata 'pedang' bisa diganti 'seni': "Seni adalah soal jiwa. Pelajari jiwa sebelum mempelajari seni. Pikiran dari pribadi buruk, seni pun buruk".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun