Laksana gema genta kecil dari sebuah kuil di dalam memori saya, gema yang menawarkan keheningan, menyuntih ingatan sekira 30 tahun lampau, ketika kalimat atau ungkapan "l'art pour l'art-seni untuk seni" kembali saya baca di laman majalah Pesona Impian tahun 1991 bertajuk: "Gurat-Gurat Artistik 16th Pasar Seni" ditulis oleh inisial "hsc". Paragraf berikutnya, kalimat ungkapan "l'art pour l'art" menawarkan paradoks dan konsepsi "Seni untuk Masyarakat."
Saya menyadari bahwa presensi, seperti yang pernah saya pahami itu lebih mirip sepotong afirmasi yang lirih untuk menyadari kembalinya subjek-l'art pour l'art dalam terang, presensi semisal "jalan-pulang", semacam jalan setapak primordial bagi kembalinya subjek-seni untuk seni yang sesungguhnya memang tidak pernah pergi, tak pernah hilang.
Presensi memang lebih seperti sebuah momen kekinian saat terjaga dari sepotong tidur yang gelisah, dan, tatkala membuka mata, serasa-rasa didekap oleh keharuan yang lembut, pelan-pelan mulai nampak bahwa langit biru nun di sana selalu terbentang sebagai sebuah lanskap yang hening di dalam ruang batin, di dalam jeda estetik itu.
Berkarya (melukis), bagi saya, kini bukan lagi sekadar produktif dan berhibuk mengejar untaian puja-puji belaka, melainkan, lebih dari itu, adalah semacam upaya untuk mengembalikan lanskap presensionis seperti sebuah lanskap yang hadir di dalam cermin simulakra. Ia, cermin itu, bukan hanya dapat menampilkan sisi terang dari satu lanskap, tetapi juga secara serentak akan memantulkan bayangan paling gelap dari sisi lainnya. Meski demikian, seperti karya seni lampau -- guratan di batu, goa, dinding, kulit hewan, kertas, kayu, logam dan media lainnya, hadir dalam peradaban manusia bukan untuk menghakimi, bukan untuk membatui, melainkan untuk memahami. Laiknya sepasang mata yang teduh dan penuh empati, karya seni sungguh-sungguh dapat melihat bahwa "engkau", adalah sang penikmat seni itu sendiri.
Setiap individu atau profesi yang telah dipilihnya harus bertanggungjawab terhadap interaksi dan transaksi yang dilakukannya. Seniman bertanggungjawab mendidik baik, pemerhati, penikmat atau pembeli kolektif karyanya. Sejarah membuktikan: status dan posisi seniman itu pendamping-konseptor hajat para raja atau penguasa.Â
Karena, disini, tidak semua penikmat, pemerhati dan pembeli karya seni adalah apresiator yang baik, terlatih atau terampil. Tak banyak pula seniman, pengamat seni yang mampu menjembatani dan cakap mempertanggungjawabkan, mempresentasikan karya seni ciptaannya dengan baik. Lantas, apa solusinya? Tidak hanya penikmat, pembeli, dan calon apresiator (masyarakat awam seni) saja yang harus dididik tetapi seniman atau kreatornya juga perlu didik. Â
Karya seni tak bisa terus dibiarkan kesepian tanpa seniman yang cakap, pemerhati dan pembeli karya seni yang "kompeten". Tinggalkan jargon lama bahwa tabu bagi seniman bertanggungjawab mendidik para penikmat, pemerhati, kolektor kolektif karya seni; mereka ada dan tidak lahir begitu saja, seolah memahami karya seni adalah bakat alam, tetapi mesti diberi pemahaman yang tepat dan benar "bagaimana" mengapresiasi karya seni--bukan menjelas-jelaskan keindahan, tehnik dan keterampilannya atau menjelaskan "apa"-nya, melainkan memberi pemahaman tentang "bagaimana"-nya jika menginginkan "seni untuk masyarakat." karena sesungguhnya, seni itu untuk masyarakat-untuk dipahami bukan sekadar mencipta karya seni sekadar-sebagai alat tukar yang sah kemudian selesai.Â
Teman lain yang sedari tadi menyimak dengan baik, tiba-tiba nyeletuk: "terus gimana dong solusinya, kasih cara kek mana yang bisa bikin seniman nggak seperti kayak main layang-layang, tarik ulur benang terus, cuma bisa bertahan nggak ngimpi jadi "pemenang". Gue sih cuma pengen rumahtangga tenang dan nyaman berkarya, gitu aja?"Â
Karya seni dihargai bukan karena hasil akhir. Degradasi nilai-nilai karya seni masih terlalu memuja hasil akhir, ketokohan, bukan proses, atau alasan dan dasar pemikiran di balik proses berkarya. Penting, karena dasar pemikiran pelaku seni dalam memandang dan mengartikan karya, dan bukan karena keasyikan bermain-main dengan membentengi diri dengan argumentasi, tafsir, dan perspektif pribadi laiknya filsuf Yunani-bergaya jaim pula, ngeles memakai bahasa sederhana dengan mengatakan sekadar produktif, berkarya saja, rajin, ulet, tahan banting, bikin merinding, dan eksotik belaka. Dtambah dengan mbelingnya (eksyentriknya) tingkah si pelaku. Seolah berkesenian ditakdirkan untuk mempersoalkan kehebatan seni dan diri si pelaku seni. Karena, penikmat seni pun perlu dididik agar apa yang mereka lihat, amati, dengar dan baca itu bisa dimengerti.
Plato, filsuf Yunani kuno (ori) mengatakan: "tujuan pendidikan bukanlah untuk mengisi jiwa dengan pengetahuan, tetapi untuk membentuk karakter dan membimbing jiwa menuju kebajikan".Â