Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[1]Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[2]
Kalimat menarik "
yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya" dan
"wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban"
......
Hanya dari ibu ibu yang pejuang lahirlah anak anak pejuang. Mendidik bayi dari dlm kandungan, tentang fakta dan sebuah keharusan upaya. Disaat bapak si bayi berjuang, si ibu punya perjuangan lain. Bahkan di kondisi tertentu memimpin perjuangan.
Fakta zaman sekarang, 90 persen lebih Daratan Indonesia dikuasai Penjajah NeoKompeni., Kondisi bumi Indonesia semakin rusak. Negeri ini perlu ibu ibu yang menimang anaknya dengan cara ibu ibu Aceh di jaman penjajahan Belanda.
Buat para gadis, pilih lah yang seperti Teuku Umar dan pasukannya, jangan pilih yang demi harta dan tahta rela main gila dengan Kapitan di Medan TA, Â diduga pebisnis narkoba, rumah bordil, judi yang dari uang itu membuka bisnis perkebunan dan jadi Bankir dan penguasa yg berlagak dermawan tanpa pandang SARA.
Bangkitlah Perempuan Bumi Pertiwi !!!
Rujukan Sunting
1. Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
2. Idem hal. 6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H