Mohon tunggu...
Muhammad Afri Fadillah
Muhammad Afri Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mengupload tugas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perempuan, Politik, dan Ketidakadilan Gender

11 Agustus 2024   22:23 Diperbarui: 11 Agustus 2024   22:25 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kultur patriarki memiliki tendensi untuk menjadikan perempuan sebagai objek kekuasaan laki-laki dan tidak memberikan hak otonom bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik. Inilah bentuk ketidakadilan gender yang kerap menempatkan perempuan sebagai korban sistem sosial-politik yang tidak adaptif pada hak-hak perempuan.

Mansour Faqih dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2003) mengklasifikasikan bentuk ketidakadilan gender ke dalam setidaknya lima macam, yakni marginalisasi (pemiskinan), subordinasi, pelabelan negatif, kekerasan, dan beban ganda (double burden).

Pola-pola ketidakadilan gender sebagaimana diungkapkan Faqih tersebut juga terjadi di ranah politik praktis. Pelabelan negatif bahwa perempuan merupakan makhluk lemah (dependen), irasional, dan lebih mengedepankan perasaan ketika mengambil keputusan telah menjadi senjata utama untuk membatasi keterlibatan perempuan dalam ranah politik praktis.

Anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin harus diakui masih menjadi pendapat arus utama di tengah masyarakat. Cara pandang yang demikian ini nisbi sulit didekonstruksi lantaran berkaitan erat dengan penafsiran atas teks keagamaan yang bias gender. Di kalangan umat Islam misalnya, ayat Alquran yang berbunyi "arrijalu qawwamuna 'alannisa" yang secara harfiah bermakna "laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan" kerap menjadi alat menjustifikasi praktik marjinalisasi perempuan di ranah politik.

 Pendidikan Politik

Dua dekade sudah bangsa ini menjalani era Reformasi yang diklaim lebih demokratis. Kiranya demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil yang kita lakukan dalam dua puluh tahun era Reformasi ini bisa menghapus praktik ketimpangan gender di ranah politik praktis. Keterlibatan perempuan di ranah politik praktis, baik di lingkup eksekutif maupun legislatif tidak hanya membutuhkan payung hukum, namun juga memerlukan kesadaran bersama ihwal harkat dan martabat perempuan.

Di sinilah letak pentingnya pendidikan politik, baik bagi elite maupun publik agar ketimpangan gender di dunia politik dengan segala macam jenisnya bisa diakhiri.

Bagi elite, pendidikan politik berperspektif gender diperlukan agar ke depan tidak ada lagi praktik mendiskreditkan politisi perempuan hanya karena status keperempuanan yang disandangnya. Kontestasi demokrasi idealnya diwarnai oleh perang strategi dan adu gagasan, alih-alih mengumbar ujaran-ujaran yang bernada melecehkan dan merendahkan martabat lawan politik.

Bagi publik, perlu ditanamkan kesadaran bahwa partisipasi dalam demokrasi tidak hanya ditunjukkan dengan antusiasme memberikan hak pilih, melainkan juga membangun paradigma politik yang adaptif pada keadilan gender.

Kasus pelecehan seksual verbal yang dialami Sara dan Afifah dalam konteks sengitnya persaingan Pilkada 2020 ini membuktikan kesekian kalinya bahwa politik praktis merupakan wilayah yang belum ramah pada perempuan. Menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah dan stakeholder-nya serta masyarakat sipil untuk melakukan reformasi demokrasi ke arah yang lebih mendukung terciptanya keadilan gender.

Dari kasus ini kita juga belajar bagaimana demokrasi elektoral kita belum beranjak dari strategi politik kotor yang tidak jauh dari nalar kebencian dan perendahan terhadap lawan politik. Di atas itu semua, kita tentu patut mengapresiasi sikap tegas Sara dan Afifah yang melawan pelecehan seksual yang menimpanya. Apapun bentuknya, segala praktik ketidakadilan gender di ranah politik memang tidak boleh disikapi permisif.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun