Mohon tunggu...
Muhammad Saifullah
Muhammad Saifullah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama saya Muhammad Saifullah akhir-akhir ini target jangka pendek saya adalah membuat blog: http://catatankopi24.blogspot.com/, bukan untuk apa pun, melainkan hanya sebagai penampung tulisan-tulisanku yang impian saya itu bisa produktif menulis, minimal seminggu satu karya dan jangka panjang saya, saya ingin sekali membuat buku. dan banyak yang menjadikan buku saya referensi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paul Ricouer: Teks is Discourse      

23 Oktober 2015   00:58 Diperbarui: 23 Oktober 2015   00:58 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

         Diterima atau tidak, secara mendasar kata atau teks kesemuanya adalah simbol. Meski dalam pembagiannya, kata terbagi menjadi kata yang bermakna denotasi dan kata yang bermakna konotasi, tetapi tetap saja keduanya merupakan simbol-simbol. Sejelas apapun suatu kata atau teks, itu tidak lebih dari simbol. Sebab berbicara tentang “kata”, berbicara pula tentang pemahaman. Sedangkan dalam memahami suatu “kata”, setiap manusia pasti tidak ada yang sama. Dalam melihat mawar misalnya—sebagai suatu kata—antara si A, si B, dan si C pasti memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang mawar tersebut. Si A mengatakan mawar itu simbol cinta karena memang sebelumnya dia telah diberi mawar oleh kekasihnya. Di sisi lain, si B mengatakan mawar itu racun karena sebelumnya dia mengungkapkan perasaannya pada cewek idamannya dengan mawar dan ditolak. Dan untuk si C, bisa dipastikan juga memiliki pandangan yang berbeda tergantung bagaimana prapemahamannya tentang mawar. Sehingga dengannya, tidak mengherankan kalau tidak ada kata yang tidak sebatas simbol, semuanya hanya simbol-simbol.

          Selain itu, dari sisi kata itu sendiri, dia tidak pernah mengakui dirinya sebagai apa yang biasa dinisbatkan kepadanya. Mawar tadi misalnya, mawar tidak pernah menyebutnya sebagai mawar apalagi sebagai simbol cinta ataupun simbol racun dan sebagainya, tetapi manusia—selaku pihak yang memahami—lah yang menempelkan makna itu sendiri kepada mawar. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya semua kata adalah simbol yang eksekusinya tergantung kepada siapa yang memahami. Dan tentang bagaimana agar suatu pemahaman tidak melenceng jauh dari kata atau teks itu sendiri adalah dengan menggunakan hermeneutika: hermeneutika fenomenologis.

          Sebagai efek sampingnya, teks atau kata-kata sebagai objek pemahaman memiliki dua wilayah sekaligus, yaitu wilayah objektif dan wilayah subjektif. Untuk yang pertama, itu disebabkan karena teks itu sendiri tidak pernah menyebutkan dirinya sebagaimana yang sering dinisbatkan kepadanya. Dengan ucapan lain, di wilayah ini teks tidak terikat oleh pemahaman apapun tentangnya. Sedangkan yang kedua, itu disebabkan adanya pemahaman atas teks tersebut sehingga hal itu sangat menggantung pada siapa yang memahaminya. Dan oleh karenanya, itu disebut sebagai wilayah subjektif. Mawar, ketika ia sepi dari satupun pemahaman, maka itulah sisi objektifnya dan mawar ketika tengah dipahami sebagai tanda cinta, maka itulah sisi subjektifnya.

          Lebih dalam lagi tentang teks, pada dasarnya hal itu adalah wacana. Dalam artian, sesuatu—apapun itu—baru bisa disebut teks ketika itu berupa wacana. Adapun parameter “sesuatu” tadi disebut wacana adalah bersamaan dengan event atau peristiwa. Dengan kalimat lain, “sesuatu” baru bisa disebut teks ketika hal itu bersamaan dengan peristiwa yang tengah terjadi atau realitas yang terjadi. “Mawar” baru bisa disebut sebagai teks ketika di waktu yang sama, “ia” dipahami sebagai tanda cinta, misalnya. Ketika pemahaman tersebut tengah berlangsung, maka di saat itulah mawar tersebut menjadi suatu teks atau wacana. Akan tetapi, ketika “mawar” yang tadi dipahami sebagai tanda cinta sudah dituangkan dalam bentuk catatan, maka itu bukan lagi teks, tetapi tulisan.

          Teks berbeda dengan tulisan. Tulisan adalah bentuk sempurna dari teks. Disebut bentuk sempurna karena tulisan sudah keluar dari peristiwa yang mengiringi teks. Sedangkan teks masih bersamaan dengan peristiwa yang mengiringinya. Dan sebagai akibatnya, antara memahami teks dan memahami tulisan adalah suatu unsur yang berbeda satu sama lain. Pemahaman terhadap teks pastinya lebih mudah dari pada pemahaman terhadap tulisan.

Otonomi Teks

          Sebagaimana ditegaskan di awal bahwa teks tak lebihnya adalah simbol, maka di waktu yang sama, itu juga berarti bahwa teks memiliki otonomi. Teks sama sekali tidak pernah menyebut dirinya sebagai apa yang sering ditempelkan kepadanya. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, teks juga memiliki wilayah objektif.

          Adapun langkah-langkah untuk mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan teks atas dirinya adalah sebagai berikut. Pertama, mencurigai diri sendiri: apakah makna yang telah kita berikan terhadap teks itu adalah makna yang diinginkan teks itu sendiri ataukah hanya tempelan dari kita. Selanjutnya—kedua—mencurigai apakah benar teks ngomong seperti yang kita pahami tadi atau bagaimana dan seterusnya. Dengan bahasa lain, langkah-langkah tersebut menuntut seseorang untuk mengotonomkan suatu teks dari segala macam pemahaman. Sehingga, ketika teks sudah terlepas dari berbagai macam pemahaman akannya, seseorang bisa mengerti apa yang sebenarnya diinginkan teks.

          Lebih konkritnya, hal di atas disebut sebagai upaya dekontekstualisasi teks. Dalam artian, ketika seseorang ingin memahami teks, dia harus melepaskan teks dari konteksnya. Itu bertujuan agar pemahaman seseorang tidak terjebak dengan masa lalu sebagai konteksnya dan tidak pula terjebak dalam repetisi pemahaman. Sehingga dengan upaya ini, seseorang menjadi mungkin untuk memahami suatu teks sesuai apa yang diinginkan teks itu sendiri terhadap dirinya.

          Selanjutnya, setelah teks berhasil diotonomkan dengan dekontekstualisasi, baru upaya rekontekstualisasi dilakukan. Ini adalah upaya untuk kembali memberikan makna yang lebih sesuai dengan teks setelah hal itu dilepaskan dari konteksnya. Itu dilakukan supaya suatu teks bisa lebih fungsional atau tidak repetisi.

          Dan akhirnya, dengan upaya-upaya di atas, sebuah teks bisa dipahami sesuai dengan apa yang diinginkan teks itu sendiri. Dan di wilayah lain, itu akan mencegah seseorang untuk sewena-wena dalam memahami suatu teks. Apalagi teks terkait adalah teks yang menjadi pedoman utama suatu masyarakat tertentu. Oleh karenanya, tidak bisa tidak, kesadaran atas adanya dua wilayah dalam teks dan anjuran untuk berusaha memahami teks apa adanya adalah dua hal yang penting untuk membangun suatu pemahaman yang baik.

           

 

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun