Oleh: Akbar Taslim, S. H.
Bolehkah Kuajak engkau keliling Pulau Pantar tepatnya di Baranusa, sebentar saja agar kita bisa berani dan mau menyimpul makna sedikit demi sedikit tentang lahirnya konflik horizontal yang ganas hingga tersulutnya api peperangan baru-baru ini hingga memakan korban jiwa puluhan orang.Â
Entah apa modusnya dan siapa dalang di balik itu semua, kini masih tanda tanya besar dan belum jelas muaranya serta belum juga menemukan titik terang dalam penyelesaian sengketa.
Namun sebelumnya mari kita telusuri terlebih dahulu menyimak;
1. Kasus Batu Puti satu 2006 dan dua sekitar 2010 an, konflik tanah yang menimbulkan peperangan hingga memakan korban jiwa
2. Kasus leer-sebarang - konflik tanah, yang bersengketa ada yang terluka
3. Kasus pembangunan pelabuhan wai pelating (air panas) sekitar 2013/2014, konflik batas wilayah teritorial kecamatan Pantar Barat dan Pantar Tengah hingga berujung pada perusakan perahu para petani warga Desa Piringsina (pulau kura), sangat meresahkan psikologi masyarakat pulau kura, terancam perang namun segera teredam.
4. Kasus tanah adat Beangonong 2017, sengketa lahan hak milik tanah dan wilayah, meresahkan warga baranusa dan sekitar, terancam timbulnya perang namun segara teredam dgn jalan menghadirkan tokoh2 Adat, Agama dan Pemerintah setempat dan menemukan mufakat damai.
5. Kasus tanah baru-baru ini di bln Februari 2019 yang bersengketa meninggal di tempat kejadian perkara lalu berujung terjadinya peperangan yg kini masih dlm proses pnyelesaian, memakan korban jiwa sekitar dan beberapa orang luka-luka yang sedang dalam proses perawatan.
Bukan itu saja namun terdapat kasus perseorangan (antar individu) masyarakat Pulau Pantar yang tak terhitung jumlahnya dari waktu ke waktu yg tak mampu saya utarakan di sini, lagi lagi kasus pertanahan dan persoalan-persoalan sosial lainnya yang masih serta belum terselesaikan. Hal ini juga sering kali menimbulkan ketegangan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Kesemuanya persoalan di atas objek permasalahannya menurut hemat saya adalah sengketa pertanahan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sejauh ini masih lemahnya pemahaman atas persoalan pertanahan khususnya memahami konsep dasar negara kita Indonesia ini adalah negara hukum (UUD 1945 bab III Pasal 1), maka segala persoalan dalam bentuk apapun harus diselesaikan di meja peradilan (hukum), semua sama di mata hukum serta hukum akan menunjang keadilan dan kertertiban masyarakat.
 Dan persoalan agraria atau tanah sangat jelas di atur dalam UUPA Thn. 1960 JO. UU Thn. 2011. Hal ini dapat dikatakan, kita belum bisa membedakan bagaimana cara dan di mana tempat yang tepat untuk menyelesaian sengketa pertanahan, apakah melalui lembaga adat ("hukum kerajaan") atau di lembaga peradilan yang berada dalam ruang kerja kejaksaan Negeri Kab. Alor.Â
Selanjutnya, lemahnya pengetahuan kita dengan jelas atas BATAS WILAYAH TERITORIAL kecamatan-kecamatan yang berada di Pulau Pantar berikut dengan batas wilayah teritorial Desa-nya masing-masing sejak masa peralihan sistem pemerintahan kerajaan ke sistem pemerintahan Republik dan konsep Negara Hukum serta konsep Demokrasi.
Perlu digarisbawahi, secara tidak sadar keumuman masyarakat Baranusa masih mengilhami hukum adat dalam keseharian dan menganggap hukum adat yang lebih ampuh faham menyelesaikan segala persoalan dibandingkan dengan hukum Formil yang telah terlembagakan. Tentu dalam kenyataannya sangat berpengaruh dan membingungkan masyarakat.
Maka kami memerlukan langkah konkrit yang sistematik, terukur, terarah dan berkelanjutan dari segala pihak yang berkewajiban mutlak atas permasalah ini untuk sesegera mungkin mendudukkan perkara tersebut dengan semestinya. Usut tuntas kasus itu samapi ke akar-akarnya, jangan biarkan ini menjadi momok yang menakutkan kita dikemudian hari.