Â
Saya sebenarnya tidak terlalu kaget membaca hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) 2020, bansos membuat konsumsi rokok masyarakat meningkat.
Memang ada banyak Keluarga Penerima Manfaat PKH sebagai perokok aktif. Khususnya kaum bapak. Ada juga beberapa ibu-ibu.
Sebarannya juga merata. Hampir semua desa, Kecamatan dan Kabupaten/Kota. Â Termasuk di wilayah dampingan saya, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, NTT.
Bagi saya KPM PKH merokok merupakan dampak proses hegemoni perusahaan rokok yang sudah berlangsung lama.
Perokok selalu dikaitkan dengan maskulinitas dan pemberani. Seorang pria baru menjadi laki-laki sejati kalau merokok. Seorang perempuan dikategorikan pemberani kalau merokok.
Yang terpengaruh sudah sedemikian banyak. Sampai ke pelosok. Mereka ini levelnya perokok berat. Aktif mengisap rokok setiap hari.
Karena berlangsung begitu lama perokok begitu yakin, sehingga sulit untuk berhenti merokok. Keyakinan ini juga yang melahirkan mitor-mitos dikalangan perokok.
Mulai dari yang remeh temeh seperti: laki-laki/perempuan yang merokok itu macho, anak motor, petarung. Sampai dengan yang berdampak secara lebih luas seperti tidak merokok berarti tidak memiliki banyak teman, tidak merokok berarti tidak bisa diskusi lama, tidak merokok berarti pelit.
Mitos yang belum ada dan lagi saya tunggu, perokok menolak berbagai bantuan dari pemerintah.
Dalam kaitannya dengan perang melawan rokok harus kita akui bahwa, jangankan Pendamping PKH, Negara saja harus berdamai dengan rokok. Rokok tetap dijual dengan kewajiban untuk mencantumkan dampak merokok pada bungkusnya.
Dikalangan KPM PKH yang merokok, saya sendiri berusaha agar penggunaan uang bantuan untuk belanja PKH saja: pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Dibuktikan dengan kwitansi pelunasan biaya pendidikan dan catatan keuangan keluarga setiap bulan. Tidak untuk belanja merokok. Semoga ya!