Mohon tunggu...
Ipi Fernandez
Ipi Fernandez Mohon Tunggu... PNS -

syukur adalah cara tepat ketika kita tdk mampu lagi berbuat apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seberkas cahaya dari dalam

6 Juli 2015   10:35 Diperbarui: 6 Juli 2015   10:35 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Lengangnya Langit ,bumi dan jalanan selalu temani jejaka di pangkalan sang penganggur,itulah yg terlintas ketika kucoba mengenang ayah dan sisi realitasnya bersamaku. Ini yang mungkin disebut kerasnya hidup,nasihat para tetua yang pernah melewati lika liku hidup terasa monoton penuh luka putus asa,akhirnya disini masih tersisa bara yang terpendam yang sedikit dipaksakan pada angan yang salah menghasilkan roda yang begitu kaku untuk melaju begitu kencang?.

            Disana dibangku papan tua dengan cueknya dia masih duduk berpangku tangan menanti sang senja yang akan datang.sorot matanya seringai penuh kesakitan nun jauh disana yang selalu terlihat luka bakar kakinya yang terbuka,piluh terasa saat kupandang sebatang jitu menemaninya ,sesekali asapnya dikepul dan dengan seenaknya dihembus keruang terbuka,gelembung fata morgana membentuk bola bola Kristal beterbangan bebas keudara dan dihempas sang angin.taman Bunga seadanya yang pernah menghiasi halamam rumah bebak kini layu termakan terik mataharik,hidup itu tak berpatok pada nasib atau berpetak pada tanda lahir dan tak bergerak mengikuti rel yang tersimpan dikhayal mungkin filosofi cicero terlalu tua untuk diterapkan tetapi hidup yang terkandung dalam jagat ini patut untuk disyukuri sebagai anugerah.

            Arloji ditangan terus berdetak,mataharipun bertukar tempat semaunya,pangkalan ayah masih disana sepetti bulan yang tak pernah meninggalkan bumi dan bintang yang tk pernah beranjak dari langit atau laut yang tak pernah meninggalkan pantai, dan kemudian ayah menjejaki belokan jalanan penuh lubang,kadang menanjak,menurun menghempas dan tak berujung,begitu sesaknya nafas yang dihela tertunjuk rasa kekecewaan untuk dihembuskan kembali ,setetes air mungkin dapat menghapus raut menjengkelkan panas yang menggertak ,tapi gigi tak terhentak, lukisan diwajahnya bergaris layu,suaranya gemetar saat membagikan kisahnya yang penuh dengan petuah padaku.

            Kamu lihat jalan itu?tanya ayah suatu soreh dibangku pangkalan tuany,ketika matahari perlahan pergi sambil menunjukan jalan.

            ‘ia’alisku terangkat,urat keningku membentuk gulungan kubik balok.’jalan itu tak berujung’aku terdiam.ayah memandangku’tapi pasti ada tempat untuk disinggahi,disitulah kamu akan merasa sedih,tangis,tawa dn senang ;dan syukur adalah cara yang tepat ketika kita tak bisa lagi ber buat apa-apa’begitu menusuknya kalimat ini,aku terpana,dibangku itu dia masih terus mengoceh ketika bumi menjotos langit,warna dalam hari-harinya penuh kenikmatan ingin kujaga nilai itu sebagai harga yang paling mahal,ayah memang sudah terlalu renta untuk mengayuh gergaji tuanya tetapi ketika ia memandangku mimpi itu kembali tumbuh.

            Ketika mentari nyaris tenggelam dan senja datang menjemput ayah masih terus bercerita, aku terdiam menyimak disampingnya.’nak,matahari itu seperti harapan,sinarnya adalah angan-angan ketika ia datang,kita tidak bisa mendekat,kita hanya bisa merasakan kehangatannya,ketika dia tertidur,dia pergi untuk sementara dan kamu harus tahu hanyalah masalah masa dalam periodic dan percayaah sinarnya mampu membuat kamu bertahan dalam menapaki hidup,setitik cahaya dapat mengalahkan berlaksa laksa gelap’.

            Sekali ini aku kembali berlari bersama mimpi,melaju diantara benang-benang sejarah yang kusut,kucoba menyulam kembali satu persatu memori yang masih tersisa dan waktu yang mungkin sudah larut saat ayah sudah tidak bercerita lagi,saat ayah diam dalam waktu,,tidak untuk menyesal tetapi setitik cahaya yang terpancar dari lubang kegelapan mungkin perlu untuk ku pertahankan seperti kata ayah.dan ayah masih terus disana dengan sejumlah narasi yang unik dijalanan dan kemudian jadi inspirasiku.berharap alur yang begitu kuatnya terpengaruh untuk menghasut diriku yang terpengkal pengkal dan hampir menyerah menghadapi hidup.aku sebenarnya bermaksud mencuri setiap bait dalam lirik suaranya tetapi tak berniat menghapus jejak yang pernah membuat tawa,menangis,mengeluh dan bermimpi tetapi selalu ingin kubukukan setiap lembaran sahdu dalam kalbu tak ingin ukiran namanya terhapus hujan panas yang datang silih berganti.

            Aku tahu kenapa ayah selalu bergairah ketika aku disampingnya atau aku menemaninya dipangkalan bangku tua ,aku adalah harapan,angan-angannya,semangatnya menjelajahi duka yang tak berujung.kini aku teringat ayah saat melewati soreh dan bertemu senja saat hujan besar mengguyur rumah daun kami,kisah itu terukir rapih dianganku,ingin kutriak sekerasnya,kembalilah ,kembalilah ayah,aku tidak sanggup jelajahi jalan ini lagi tanpamu ,ayahhhhhhh,kembalilah ayah.

Yah ,sore ini di kursi bambu pelataran belakang rumah bebak ,masih seperti biasa saat ayah duduk dengan segelas teh manis, seperti yang pernah ayah selalu rindu aku ada disampingmu …….

Ayah   ……….. dalam setiap jalanan entah lurus atau liku aku ingat kamu,Ayahhhhhh…………………. Datanglah dengan setitik cahaya dari dalam kamar gelapmu…..

           

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun