Beberapa program televisi dikenal sebagai program yang segmented (khusus) yang penggemarnya hanya kalangan tertentu seperti program anak-anak, agama, olah raga, iptek, flora dan fauna dan hobi.Â
Namun seiring dengan perkembangan masyarakat , penonton yang makin bervariasi dengan banyak tontonan terutama via media sosial (medsos) seperti tayangan video di YouTube, membuat banyak program yang tadinya dianggap kering  (kurang peminatnya) sekarang jadi tayangan alternatif bahkan utama untuk ditonton dengan jangkauan yang lebih luas dan terukur, katakan tayangan podcast selebriti terkenal lokal dengan jumlah viewer dari puluhan ribu hingga jutaan orang.
Namun yang menjadi pembeda tayangan televisi dengan media sosial adalah soal durasi dan kebebasan untuk berekspresi yang serba 'boleh' dan "longgar" di medsos namun tidaklah semudah itu dilakukan di televisi. Selain makan durasi yang akan menambah durasi keseluruhan program juga akhirnya ujung-ujungnya budget yang tidak sedikit untuk ditambahkan. Â
Walau biaya ini dicover dengan banyaknya sponsor, tapi yakinlah saat commercial break  (CB) siapa yang mau menonton iklan yang kadang monoton dan lebay? Hal yang akhirnya bikin para sponsor ciut sehingga nilai iklan di CB makin berkurang dan sehingga sponsor memilih beriklan di medsos dan pada ujungnya pemasukan iklan di televisi makin berkurang dan jadi lebih murah.  Â
Saya mencatat ada dua program keagamaan di televisi yaitu syiar Agama Islam di TV One dan Metro TV yang menarik untuk ditelaah. "Damai Indonesiaku " (DI) yang sudah tayang sejak beberapa tahun yang lalu yang ditayangkan secara langsung  (live) serta acara baru Metro TV, Gas Pol (GP) dengan host Bayu Oktara dan ustad Dasad sebagai nara sumber yang merupakan program taping (rekaman atau sudah direkam terlebih dahulu).
Kedua program ini hampir sama walau durasi untuk DI lebih lama bahkan ada acara spesial untuk hari-hari keagamaan, seperti program special Isra Mi'raj. Sedangkan GP dengan durasi yang pendek banyak mengangkat tema-tema yang umum dan universal, ya seperti beginilah pendekatan Metro TV seperti halnya acara keagamaan lain di TV yang bermarkas di Kedoya ini seperti program "Memahami Islam bersama KH Quraish Shihab".
Menghadirkan nara sumber, penonton, host (pembawa acara) tetap dan dilakukan di studio tentu untuk mengemasnya tidak mudah bila orang-orang kreatif dibelakangnya tidak putar otak dalam menyusun rundown dan gimmick menarik untuk tetap ditonton pemirsanya baik yang setia maupun yang baru.Â
Kedua tayangan ini bisa ditonton oleh mereka yang sudah berusia 13 tahun keatas, artinya makin luas jangkauan dan populasi penontonnya, artinya tetap harus hati-hati dalam topiknya sehingga tidak rawan jadi bahan gunjingan atau kritik penonton. Â Terutama untuk program 'live" nara sumber harus peka karena setiap ucapan yang diutarakan tidak bisa diedit lagi bila salah.
Gas Pol milik Metro TV ditayangkan setiap Sabtu Malam sekitar jam 22:00-23:00 sedangkan Damai Indonesiaku ditayangkan 2x seminggu (Sabtu dan Minggu) dari jam 12:30-14:00. Â
Keduanya memang membawa misi syiar Islam yang boleh saya nilailebih kental edukasinya dan disesuaikan dengan kultur manusia Indonesia yang santun dan bersahabat. Makanya para ustadz dan ustadzah yang dihadirkan dicari yang "kalem", "santun tutur katanya" Â dan mampu ceramah dengan cerdas dan bernas secara singkat, padat dan menarik-karena waktu per segmennya singkat.
Kata kunci "menarik" ini sangat penting buat program televisi karena ini tidak hanya berlaku dengan penampilan host dan nara sumber tapi juga dengan rundown atau show sequence alias jalinan/rajutan antar segmen dari awal hingga akhir.Â
 Acara DI biasanya ada footage (cuplikan video)  atau informasi secara verbal sebagai stimulus pembuka atau katakanlah gimmick awal tentang tema yang diangkat; sedangkan GP mengadakan polling atas tema tertentu, tidak lah baru polling karena telah dilakukan seperti di acara Mario Teguh Golden Ways (MTGW) beberapa waktu yang lalu.
Khusus untuk DI yang kadang menghadirkan 2 hingga 3 nara sumber, para kreatif di belakangnya pasti sudah mengatur agar tema yang sama yang diangkat jangan tabrakan kandungan atau kontennya seperti  soal tema Puasa, janganlah diambil dari ayat Al Qur'an dan Hadits yang sama, karena penonton sudah lebih pintar sehingga ingin yang "baru"  dan "approach" (pendekatan) yang baru juga. Disinilah sepertinya untuk DI perlu persiapan lebih banyak untuk memadukan konten dari tema yang diangkat dari masing-masing nara sumber agar tidak serupa dan berlebihan.
Namun agak sedikit beda dengan di GP, sepertinya kontennya sudah diserahkan kepada Ustad Dasad yang fasih bicara dan memberikan joke yang segar dan menghibur ini , tinggal bagaimana  yang klimaksnya diletakkan sehingga acara 1 jam ini tidak jadi basi karena akan monoton jadinya.
Terus-terang sulit untuk membuat penonton betah nonton program 1 jam (60 menit) , kalaupun bisa mungkin berlaku hanya bagi para pemirsa setia namun buat pemirsa baru tidaklah mudah. Yang bikin rumit terutama ketika acara "live" atau "langsung" host harus membreak (memotong) "ceramah" nara sumber yang lagi  "hot dan aktual" namun terpaksa harus dicut karena ada jeda iklan masuk. Ini juga berlaku di acara -- acara berita yang terpaksa host atau pembawa acara dengan pendekatan persuasif memotongnya.
Hal lain saat commercial break dengan asumsi penonton sudah lari dengan menonton tayangan lain, maka harus dicari cara untuk mempertahankan penonton ini  karena  tayangan iklan, jujur,  bikin penonton jadi terdistorsi dan tidak ingat dengan tayangan segmen sebelumnya. Hal inilah yang akhirnya perlu diberikan cuplikan atau disebut "next on" untuk terus mengikat penonton hingga akhir break ini. Cuplikan musik jugajadi bumbu tayangan jelang bumber out di DI karena bisa menahan sejenak gerakan pencetan remote control penonton.
Kedua program diatas biar tidak kering juga memanfaatkan penonton untuk bisa berinteraksi dengan meminta mereka untuk mengajukan pertanyaan sesuai dengan tema. Â
Artinya lewat program televisi yang kering ini, terlihat aktual bahwa ada aksi dan reaksi sehingga penonton di rumah terwakili dengan pertanyaan tersebut. Â Ini beda dengan di medsos seperti podcast yang cuma dua orang tampil dan pertanyaan dan jawaban cuma milik orang yang di frame ini. Â
Kalau para "talking head" ini menarik seperti selebriti atau artis terkenal, ganteng/cantik dan mereka ekspresif, jaminan akan ditonton, namun bila menghadirkan "talking head saja" di program televisi , menurut saya tidak bunyi dan tidak menjual. Bahkan seorang Hotman Paris Hutapea saja di program talkshownya "harus" tampil dengan "dayang-dayang" perempuan cantik buat pemanis programnya.
Terakhir dalam hal tema dalam kedua program diatas, sesuai dengan pendekatan dari induknya acara DI tema yang diangkat biasanya lebih tajam dan aktual sedangkan GP lebih mementingkan harmoni , umum dan universal. Â Kalau DI bisa menampilan Pernikahan menurut Islam, sedangkan GP temanya Memaafkan apa bisa Melupakan katakanlah seperti itu.
Jadi mengemas program kering menjadi menghibur itu tidak mudah dan perlu riset dan kerja keras di belakang layar terutama untuk tayangan televisi. Pilihan OBB (opening billboard), tema topik diangkat, kostum, pencahayaan, design dan look dari set panggungnya serta pemilihan host dan bintang tamu sangat menentukan.
Dengan makin berkurangnya animo orang menonton televisi, saatnya memang acara televisi saat ini harus punya dua pendekatan yang bisa mencakup penonton tradisional televisi dan milineal di medsos.Â
Banyaknya program televisi seperti film dan serial yang ditayangkan secara streaming jadi penanda, kalau penonton perlu yang "gres" , artinya yang baru itu menarik seharusnya, jadi kalau sudah streaming, presentasinya jadul dan ya gitu deh, yang nonton juga pelan-pelan fade out.
Guys go crazy over a girl's smile when they're attracted to them (Pria kesemsem/tergila-gila dengan senyuman wanita ketika mereka tertarik kepadanya)
Semoga bermanfaat.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI