Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Akhirnya Boeing Mengaku Bersalah

3 November 2019   11:55 Diperbarui: 3 November 2019   12:10 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus kecelakaan pesawat Boeing 737-Max 8 milik Lion Air Indonesia  lebih dari setahun lalu dan diikuti hampir lima bulan sesudahnya yang menimpa pesawat berjenis sama milik Ethiopian Airlines ternyata sudah menampilkan titik terang penyebabnya yang terungkap dalam dengar pendapat antara petinggi Boeing , FAA (Badan Penerbangan Amerika Serikat), keluarga korban pesawat Boeing 737 Max 8 milik Ethiopian Airlines dan anggota kongres AS pada Selasa minggu lalu.

CEO Boeing Dennis Muilenburg mengakui bahwa dia sebenarnya tahu penyebab tehnis mengapa kecelakaan Lion Air terjadi namun dia (dianggap atau lalai) tidak melakukan pencegahan untuk mendaratkan (grounded) pesawat tipe itu lebih awal sehingga kecelakaan berulang lima bulan sesudahnya pada Ethiopian Airlines.    

Pilot penguji pesawat ini pada tahun 2016  sudah mengetahui resiko pesawat baru ini sebelum FAA mengeluarkan lisensi. Hal ini sesuai dengan temuan KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) bahwa ternyata ada ketidak sesuaian saat proses disain pesawat dan sertifikasinya dengan reaksi pilot saat terjadi kerusakan.

Dalam rekaman komunikasi pesan elektronik antara Mark A Forkner (Kepala Pilot urusan Tehnis Boeing) dan Patrik Gustavsson (Pilot Penguji Boeing) terungkap bahwa Forkner menemukan MCAS kadang-kadang aktif sendiri tanpa diduga saat uji simulator, dan Forkner menyebutnya "mengerikan" (egregious).

Mengenai lisensi layak terbang yang dikeluarkan oleh FAA (Federal Aviation Administration) kepada pesawat tersebut, Forkner mengatakan dia secara tidak sadar (unknowingly) berbohong kepada FAA tentang kelayakan pesawat itu.

Sudah sering diungkap oleh Media bahwa pesawat Boeing 737-Max 8 sebagai varian baru armada pesawat buatan Boeing, Amerika Serikat, adalah pesawat dengan mesin baru yang lebih besar ukurannya dan lebih bertenaga dibandingkan jenis pesawat Boeing generasi sebelumnya, Boeing 731 NG (Next Generation). Mesin baru ini diameternya bertambah dari 155 cm ke 176 cm (nambah 21 cm) sementara bobotnya bertambah berat menjadi 385 kilogram. Keberadaan mesin baru ini yang lebih besar dan berat ternyata memberikan pengaruh kepada faktor aerodinamika dari pesawat ini.

Tambahan mesin ini berpengaruh saat tinggal landas, dan bila ini dibiarkan terus maka pesawat akan terbang dengan sudut mendongak dan bisa berakibat pesawat kehilangan daya angkat (stall) dan jatuh. Oleh karena itu Boeing menyiapkan tambahan perangkat lunak yang disebut MCAS (Manoevering Characteristics Augmentation System) agar pesawat tidak terbang dengan mendongak artinya sistem akan secara otomatis memaksa hidung pesawat untuk merunduk lagi ke sudut normal.

MCAS yang bisa dibilang flight control computer atau komputer pengendali penerbangan dirancang akan secara otomatis menurunkan hidung pesawat bila sensor AOA (Angle of Attack) yang diletakkan di dua sisi hidung pesawat mendeteksi sudut terbang yang terlalu besar (hidung pesawat mendongak) yang berpotensi terkena stall (kehilangan daya angkat) . AOA adalah sudut terbang antara sayap dan hembusan angin (airflow?).Bila ini terjadi MCAS akan menggerakkan (to swivel) ekor atau sirip pesawat untuk menurunkan hidung pesawat.   

Namun problem timbul ketika MCAS ternyata hanya mengandalkan masukan data dari satu sensor sudut terbang AOA saja (katakan/asumsi sensor sebelah kanan) padahal masih ada sensor lain yang juga aktif (sebelah kiri) - yang tidak diperhitungkan berpengaruh saat sensor yang jadi satu-satunya input ini (sebelah kanan) tidak berfungsi.

Diduga saat sensor dari AOA (sebelah kanan) tidak berfungsi, MCAS mendeteksi data dari sensor yang lain (sebelah kiri) dan langsung secara otomatis bereaksi dengan menurunkan hidung pesawat padahal pesawat sedang terbang dalam posisi normal. Hal ini terjadi karena pilot tidak melihat sinyal lewat lampu indikator (karena tidak berfungsi) bahwa ada perbedaan AOA antara sensor kiri dan kanan-tanpa informasi visual ini pilot tidak tahu bahwa MCAS bergerak berdasarkan input yang tidak akurat.

KNKT menemukan pemasangan sensor AOA di kiri dan kanan hidung pesawat tidak sesuai (tidak sama) sehingga terjadi perbedaan hingga mencapai 21 derajat. Perbedaan sudut terbang ini dianggap sangat besar karena banyak pesawat stall (kehilangan daya angkat) bila sudut terbangnya antara 15-20 derajat.

Sistem antistall MCAS membuat pesawat ini secara otomatis bereaksi dengan menurunkan hidung pesawat dan pilot sudah berusaha untuk mengendalikan namun faktanya tidak sanggup karena kemungkinan mereka tidak paham bagaimana menonaktifkan sistem ini karena memang tidak dilatih dan bahkan keberadaan MCAS tidak tertulis dalam buku panduan pesawat.  

Hal yang juga menjadi rekomendasi KNKT tentang tidak adanya panduan tertulis lewat buku petunjuk tentang bagaimana mengatasi bila MCAS bermasalah baik mematikan fungsinya atau adanya pelatihan kepada pilot bagaimana mengatasi masalah itu. Hal ini berakibat pada saat kejadian antara pilot dan co pilot sibuk untuk memecahkan masalah ini sendiri-sendiri, padahal kondisi pesawat sedang dalam bahaya.

Khusus penerbangan Lion Air JT 610 dengan nomor registrasi PK-LQP yang terbang sehari sebelumnya dari Denpasar ke Jakarta, catatan tentang kondisi pesawat membuktikan laporan yang diberikan awak sebelumnya kurang lengkap tentang keadaan pesawat itu yang dilaporkan sempat mengalami masalah. Hal ini mungkin sudah jadi keseharian dalam penerbangan maskapai ini yang menganggap (gangguan) seperti ini bukan masalah besar karena pilot mampu mengatasinya pada akhirnya, padahal terbukti masalahnya sangat besar karena akhirnya pesawat itu nahas, jatuh dan merenggut nyawa 189 orang tidak lama setelah take off pada 29 Oktober 2018.

Pihak KNKT juga mensinyalir apakah ketidak-cocokan sudut terbang antara sensor kiri dan kanan karena tidak pernah diuji setelah pemasangan atau diujikan tapi prosedurnya tidak dilakukan dengan benar?

Walaupun kasus kecelakaan ini akhirnya Boeing berkomitmen untuk bertanggung-jawab, pihak Lion Air seharusnya juga melakukan hal yang sama dan mengambil pelajaran pahit ini agar kecelakaan fatal ini tidak terulang lagi terutama dengan mewajibkan setiap awak pesawat membuat log report dan informasi tentang kondisi pesawat saat terakhir digunakan dan ikut aktif bereaksi bila kondisi pesawat menguatirkan.  Bukankah seharusnya penerbangan apapun wajib 100 persen aman, karena inti transportasi udara bukan hanya soal kenyamanan namun juga keselamatan penumpang di dalamnya. Disamping itu Lion Air juga harus aktif menyelesaikan pembayaran kompensasi sebesar Rp.1.25 milyar per orang kepada keluarga korban yang menurut laporan baru diselesaikan sekitar 36 persen dari total jumlah penumpang yang jadi korban.  

Pemerintah juga seharusnya turun tangan untuk menegakkan aturan tegas tentang penerbangan dengan memberikan sanksi kepada maskapai penerbangan yang lalai dan teledor dalam melakukan operasinya sehingga merugikan penumpangnya sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai stake holder utama penerbangan nasional.

Dari sejumlah sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun