Pembelaan kepada profesi guru memang menjadi cermin kemajuan suatu bangsa. Sebuah grand design untuk mencerdaskan kepada kehidupan bangsa harusnya dimiliki negeri ini karena landasannya sudah ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45 hampir 75 tahun lalu.Â
Namun sejak kemerdekaan yang diraih dengan susah payah itu ternyata dalam mengisinya kemudian profesi guru terbaikan padahal tanpa guru, tidak ada cahaya pencerahan bagi masa depan rakyat suatu bangsa.
Guru apapun kategorinya seperti guru yang Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru kontrak, atau honorer tetap punya tanggung-jawab memberikan ilmu yang dimilikinya bagi siswa yang diajarnya. Pendidikan yang tidak hanya dilihat dari sudut keilmuan tapi juga pendidikan moral baik penghormatan kepada Tuhan, orang tua, institusi dan negara yang kesemuanya terlihat dari keseharian yang dilakukan di sekolah.
Harus disadari masalah kesejahteraan guru bukan monopoli Indonesia sebagai negara berkembang namun juga di Amerika Serikat, Perancis dan banyak negeri maju lain dimana perkembangan teknologi terutama digital membuat banyak rakyat tergagap menghadapinya. Tak terbayangkan pada tahun 2000an bahwa teknologi internet 10 tahun kemudian memporak-porandakan kehidupan "normal" yang berjalan seperti deret hitung, namun secara masif berubah drastis seperti deret ukur dimana dunia menjadi sebuah kampung/desa yang menyatu (global village).
Pendidikan era revolusi Industri 1 hingga 3 menghasilkan produk yang diinginkan dunia industri seperti untuk kebutuhan pabrik , manufaktur, infrastruktur dan komputer namun perkembangan revolusi industri 4.0 banyak pekerjaan yang rutin secara bertahap akan digantikan teknologi drone atau nir kabel sehingga banyak pekerjaan yang akan hilang dan digantikan oleh profesi baru dengan keterampilan yang baru.
Profesi guru juga akan mengalami tantangan dengan perkembangan industri seperti ini karena logikanya siswa yang bersekolah dan dididik pada akhirnya harus mampu menjadi produk yang diandalkan sehingga punya tempat aktualiasi diri sesuai bakat dan kemampuannya.Â
Sesuatu yang menurut penulis terabaikan dari para perencana pendidikan pada jaman Orde Baru yang kebanyakan menghasilkan lulusan yang hanya menjadi tukang dan operator bukan pencipta dan profesi out of the box lain yang lepas dari kotak pandora pendidikan.
Buat mereka yang bersekolah pada tahun 70-90an, pendidikan masih diributkan antara lulusan IPA dan IPS, apalagi ada anggapan siswa IPA lebih pintar dari IPS, padahal setelah lulus banyak lulusan IPA malah berprofesi di bidang yang masuk kategori IPS. Pengkotak-kotakkan ini membuat negeri ini kehabisan energi  sehingga tidak banyak berpikir tentang masa depan.Â
Ditambah lagi dengan banyaknya pelecehan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri karena 'kepolosan'nya sehingga tidak dihargai. Masih ingat ada TKI yang disiksa majikannya karena tidak bisa menggunakan rice cooker dan banyak yang jadi karyawan paling bawah dalam struktur kepegawaian disana karena tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik dan lebih cocok jadi pembantu/pelayan.
Melihat kondisi-kondisi diatas pertanyaan apakah layak guru honorer mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah? Jelas sangat layak karena merekalah ujung tombak pahlawan pembangunan saat ini yang harus dibela bukan hanya soal kesejahteraannya saja namun juga fasilitasnya. Bahkan konon banyak guru honorer menjadi ban serep guru PNS yang sudah 'aman' karena penghasilannya telah terstruktur dalam institusi kepegawaian negara.Â
Dan lucunya banyak guru honorer sibuk mencari sertifikasi biar segera diangkat menjadi PNS, ironisnya yang dikejar bagaimana mereka bisa sejahtera secara pribadi dan keluarganya sementara bagaimana membuat siswa menjadi lebih pandai dan siap pakai, mungkin terabaikan.
Kalau melihat hasil Ujian Nasional baik SMP,SMA dan SMK , masyarakat tidak akan melihat apakah siswa yang mengikutinya hasil produk guru PNS, kontrak atau honorer, guru ya guru maka melihat kecenderungan penurunan nilai rata-rata hasil Ujian Nasional (UN), lihat tabel, dunia pendidikan perlu melihat ini menjadi suatu masalah serius.
Jangan sampai kritikan Menteri Keuangan yang merasa sudah mengeluarkan dana banyak untuk para guru tidak dikembalikan dalam peningkatan kualitas anak didik, ditambah adanya catatan miris tentang prestasi matematika,baca, dan sains siswa Indonesia berusia 15 tahun yang rendah (OECD-PISA/Indeks Penilaian Siswa Internasional) pada tahun 2015, Â serta yang terbaru adanya rencana pelatihan guru-guru oleh instruktur dari luar yang malah dipelesetkan akan adanya impor guru asing.
Masalah pembangunan pendidikan sama pentingnya dengan pembangunan infstruktur, karena terlihat paradoks jembatan dan jalanan yang dibangun ternyata yang menikmati bukan mayoritas rakyat bangsa ini karena faktanya kalah bersaing dalam menikmati kue ekonomi masa depan. Anda setuju tidak anak cucu kita hanya jadi bangsa Penonton yang hanya bisa mengkritik tapi tidak digaji bukan menjadi bangsa Pemain yang mendapatkan semuanya? The winner takes all and the loser takes nothing. Â
Education is the movement from darkness to light (Allan Bloom)Â (Pendidikan adalah upaya dan gerakan dari kegelapan ke pencerahan (Allan Bloom)
Semoga Bermanfaat Â
Dari sejumlah sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H