Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Angket Siswa dan Sistem Pendidikan

24 Maret 2019   09:45 Diperbarui: 24 Maret 2019   09:53 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal lain yang dipelajari para pelajar dengan sistem usang ini kebanyakan adalah hafalan sehingga tidak otentik karena dengan desain pendidikan hafalan maka hanya satu konsep solusi yang ditawarkan dan harus dihafalkan dengan rumus yang disediakan (sama). Dan beberapa minggu atau bulan kemudian "pengetahuan" ini diukur lewat tes/ujian untuk menguji seberapa banyak "hafalannya" tersebut bisa diingat. Dan betapa lelahnya mereka atau mungkin kita waktu bersekolah dulu dengan banyaknya mata pelajaran dan juga hafalan yang harus kita ingat. 

Lucunya karena kelulusan hanya karena banyak menghafal ternyata cuma valid saat ujian, karena setelah ujian, malah hafalan tersebut ikut hilang. Ini artinya sistem belajar seperti ini membuat siswa kurang "dalam" (in depth) saat memahami materi pelajaran alias hanya tahu "luarnya" (cosmetics) saja. Kecenderungannya sekolah dengan sistem pendidikan ini hanya melihat prestasi siswa melalui penilaian berdasarkan tinggi rendahnya angka saja.

Menurut para ahli, budaya pendidikan hanya melihat "angka" sebagai parameter membuat  hubungan siswa,guru dan orang tua (ortu) menjadi kurang sehat karena bila siswa nilainya kurang atau jelek , ortu salahkan murid lalu murid salahkan guru dan akhirnya jadi lingkaran setan. Lewat sistem ini para siswa akhirnya dipaksa belajar berjam-jam hanya untuk menghafal lalu dilupakannya segera.

Kecenderungan sistem belajar cara kuno ini juga hanya memungkinkan siswa belajar hal yang sama dengan cara yang sama dan di waktu yang sama. Menurut para ahli hal ini bertentangan dengan kodrat manusia yang masing-masing mempunyai keunikan dan berbeda satu sama lain. Bukankah kita mempunyai passion (ketertarikan) dan hobi yang berbeda sesuai dengan cita-cita masing-masing? Bila ketertarikan siswa kepada hal yang disukainya dalam hidup tidak diperkenankan, bagaimana mereka yang sekolah bisa hidup lebih berbahagia?  Pertanyaannya apakah dengan sistem ini, sekolah mampu mengarahkan dan mengembangkan bakat dan ketertarikan siswanya untuk menjadi diri sendiri? Faktanya banyak sekolah tidak mempunyai cukup ruang dan waktu  bagi siswanya untuk mengembangkan bakat dan ketertarikannya tersebut-walaupun kegiatan extra-curriculer ada namun banyak aktifitas itu tidak lebih sebagai kegiatan tambahan.  

Pada saat lulus nanti siswa yang dihasilkan lewat sistem pendidikan seperti ini tidak mempunyai keahlian sesuai dengan keinginannya. Bukankah harusnya sekolah lewat pendidikan yang diberikan mampu memberikan keterampilan siswanya sesuai kebutuhan masyarakat? Banyak tokoh internasional seperti Thomas Alva Edison, Winston Churchill, Steven Spielberg dan lainnya tidak sukses dalam pendidikan sekolahnya dengan sistem ini namun sukses dalam kehidupannya tapi tidak semua orang bisa melakukannya. Harus diakui sistem pendidikan tradisional ini tidak mempunyai ukuran menilai bakat serta potensi bagus dari para siswanya.

Hal lain, sistem pendidikan lawas ini juga tidak mau mengakui bahwa cara orang belajar itu berbeda masing-masingnya terutama memahami persoalan tertentu dalam waktu yang diberikan serta metode pemahamannya. Mereka yang lambat "mengerti" dianggap gagal atau "telmi" (telat mikir), padahal hanya perlu sedikit tambahan waktu saja bagi mereka untuk mengatasi ketertinggalan tersebut dan pada akhirnya bisa melaju lebih cepat.

Terakhir dengan sistem ini yang mengharuskan siswa untuk mengikuti pelajaran berjam-jam per harinya, para ahli menganggap hal ini kurang manusiawi. Dengan puluhan siswa dalam kelas yang tidak diperkenankan untuk berinteraksi karena diharuskan diam dan mendengarkan informasi guru/pengajar saja akan menyulitkan siswa yang telat paham karena setiap siswa itu berbeda dalam tingkat pemahamannya. Mereka yang antusias belajar akan berebut duduk di depan sedangkan yang malas akan duduk di belakang sehingga pada akhirnya nilai pencapaian mereka berbeda, padahal soal potensi belum tentu berbeda.

Hal ini sekarang semestinya sudah bisa diatasi dengan hadirnya internet asal penggunaannya ada filter (penyaring) dari guru agar kontennya terarah dan menghindari konten yang tidak patut. Guru harus memberikan tugas yang spesifik, jangan disuruh membuat makalah kepahlawanan tentang Cut Nyak Dien, karena gurunya gaptek (gagap teknologi), atau malas maka siswa disuruh mencari sendiri di internet bukan website yang telah dipilih sang guru, akhirnya para siswa bukanlah mencari Cut Nyak Dien, malah mencari dan mendapatkan situs Cut Tari atau Cut Mariska, lol.

Lewat jaringan internet demokrasi informasi yang dimiliki siswa sama besar dan banyak tanpa harus mempersoalkan dimana siswa duduk dan bagaimana metode guru dalam mengajar.

Semoga bermanfaat.

Dari sejumlah sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun