Bicara Politik itu pastilah bicara kekuasaan dan itu lumrah saja karena kehidupan politik yang sehat sebenarnya akan lebih pro kepada rakyat karena lewat program yang ditawarkan oleh partai politik (parpol) didalamnya, rakyat bisa memilih dan memilah parpol yang layak dipilih untuk memegang tampuk kekuasaan dan pemerintahan yang ujungnya menguntungkan dan mensejahterahkan rakyat.
Namun di negeri ini ada paradoks antara tujuan mulia yaitu keadilan dan kemakmuran bagi rakyat  dengan penyambung atau jembatannya yaitu antara parpol dan rakyat pemilihnya.  Jembatan atau media penghubung inilah yang menjadi concern karena perangkat ini  ternyata primadonanya parpol untuk menyebarkan informasi baik hal yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan penonton atau pemirsa dalam hal ini televisi. Â
Selain sebarannya luas dan hampir merata keseluruh Indonesia, media televisi masih dianggap paling efisien (murah) , hal lain juga karena kepemilikan stasiun televisi nasional yang hanya oleh sedikit pemodal yang ternyata juga menjadi pemilik sekaligus panglima beberapa parpol yang  akan ikut dalam kompetisi pilkada, pileg dan pilpres tahun 2018 dan 2019.
Masyarakat penonton tahu dan paham beberapa stasiun televisi dimiliki para tycoon yang secara jelas dan tegas pemihakannya kepada parpol yang dimilikinya, dan lucunya beberapa stasiun televisi sudah sering diperingatkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tapi tetap kekeh dan tanpa malu melaju dengan program-program partainya yang sebenarnya konten nya tidak dibutuhkan oleh masyarakat penonton kebanyakan karena banyak berisi puja puji kepada parpol dan pemiliknya sendiri. Â Tapi mengapa praktek ini tetap masih terjadi secara kasat mata didepan khayalak tanpa ada tindakan yang tegas yang bisa membuat mereka jera?Â
Menurut saya kesadaran politik masyarakat penonton saat ini belum sampai kesana, sangat berbeda dengan keberpihakan para pengguna transportasi  daring (daerah berjaringan) ketika transportasi on line dilarang dan pengguna  diharuskan menggunakan transportasi konvensional yang terbukti lebih mahal, lama dan kurang bisa diandalkan. Â
Jadi kebijakan adanya Lembaga Penyiaran Khusus Parpol yang diperkenankan untuk mengudara/ditayangkan baik sebelum dan sesudah kampanye menyiratkan media televisi memahami bahwa program yang dikemasnya asal menarik dan secara kualitas bagus akan menjadi hiburan bagi kebanyakan penonton walaupun penuh muatan sponsor disana-sponsor keberpihakan kepada parpol tertentu.
Bagaimana dengan "gigi"dan wibawa KPI? Jangankan konten program bahkan pengawasan atas ijin siaran yang baru diperbaharui tahun lalu, ternyata tidak berjalan semestinya, dan cenderung TST (Tahu Sama Tahu) alias pasif dilakukan.  KPI dibuat ala macan kertas dan ini memang semacam peringatan bahwa aturan bahkan yang lewat Undang-Undang , rakyat  bisa dikhianati dan dilecehkan oleh para stake holder penyiaran yang meliputi wakil rakyat , pejabat publik dan pemilik televisi yang seharusnya menghargai frekuensi milik publik itu.
Dari dua belas stasiun nasional yang mengudara dengan rincian satu orang menguasai 3 stasiun TV (RCTI,Global TV & MNC TV), tiga orang menguasai 2 stasiun TV (ANTV & TV One; Trans TV & Trans 7; SCTV & Indosiar), dan tiga orang menguasai satu tv nasional (Metro TV, Kompas TV & RTV). Â 12 stasiun televisi tersebut ditransmisikan lewat frekuensi radio milik publik sebenarnya, tapi beberapa dari konten stasiun televisi tersebut mengabaikan dan melupakan pemilik frekuensi tersebut.
Menurut draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dikeluarkan tanggal 06 Februari 2017, pada pasal 1 ayat  15, Lembaga Penyiaran Khusus adalah lembaga penyiaran yang didirikan dan dimiliki oleh lembaga negara, kementerian/lembaga, partai politik, atau pemerintah daerah (pemda). Namun istilah Lembaga Penyiaran Khusus ini yang cukup mengagetkan dikeluarkan pada awalnya, dalam draf RUU Penyiaran tertanggal 03 Oktober 2017 muncul kembali ketika draf RUU penyiaran ini menjalani sinkronisasi dan harmonisasi di badan legislasi DPR.
Namun kali ini lembaga penyiaran khusus tampil lebih powerful (bertenaga) dengan mengesampingkan peran lembaga penyiaran khusus lembaga negara, kementerian lembaga dan pemda, karenanya ketiganya dilarang mewakili kepentingan parpol dan/atau organisasi politik, kemudian digunakan untuk  kepentingan propaganda atau kampanye politik bagi perorangan, kelompok atau golongan tertentu dan organisasi terlarang serta dilarang mewakili organisasi atau lembaga asing. Lucunya larangan ini tidak berlaku untuk Lembaga Penyiaran Khusus Parpol.
Masalah lain adalah pengaturan frekuensi yang masih terjadi ketidaksepakatan pengelolaan frekuensi (dalam sebaran informasi kampanye atau pesan politik misalnya) oleh partai peserta pemilu yang diputuskan oleh 10 parpol yang ada DPR, apakah menggunakan single mux (operator tunggal yang ditunjuk pemerintah) atau multi  mux (operator jamak yang memungkinkan banyak pihak mengatur frekuensi).