Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Obama dan Warisan Pendidikan di Indonesia

1 Juli 2017   08:41 Diperbarui: 2 Juli 2017   11:51 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mantan Presiden Amerika Serikat ke 44 Barack Husein Obama, akhirnya hadir di Jakarta setelah menghabiskan liburan beberapa hari beserta istri dan kedua anaknya di Bali. Kunjungan kali ini bukanlah kunjungan kenegaraan seperti halnya yang dilakukan pada tahun 2010 saat menjadi presiden AS. Setelah mengakhiri kunjungan nostalgianya ke Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Jogjakarta, Obama seorang diri menemui Presiden Jokowi di Istana Bogor pada Jum'at , 30 Juni 2017.

Liputan media cetak dan televisi selain seperti biasa secara tradisional melaporkan tentang liputan mudik dan keceriaan orang berlebaran, akhirnya dapat bonus premium berita tentang Obama. Menarik untuk disimak perjalanan Obama kecil saat menjadi anak tiri dari suami kedua Ibunya, Pak Soetoro, selama di Indonesia pada tahun 1967 hingga 1971, saat usianya antara 6 hingga 10 tahun. Media televisi mengungkapkan masa kecil Obama yang ternyata prestasi akademisnya "biasa saja" kata guru SDnya yang diwawancarainya, bahkan terkesan Obama yang sudah terlihat "tinggi" dan berkulit "gelap atau kelam" menarik perhatian teman-temannya, ditambah keisengannya kepada teman kecil perempuannya dengan kesukaannya salah satunya menarik-narik rambut temannya tersebut.

Ada sebuah foto memperlihatkan Obama Kecil pernah bertemu dengan Presiden Pertama RI, Bung Karno, saat hadir di Istana Merdeka. Saya bertanya apakah ini yang menginspirasi beliau sehingga dia akhirnya mampu menjadi Presiden negeri adi daya AS?

Yang jelas sejak meninggalkan Indonesia tahun 1971, Obama tidak kembali ke Indonesia lagi, dan ikut dengan kakek dan neneknya tinggal di Hawaii, AS.  untuk melanjutkan pendidikannya. Saat kecil, gurunya mengatakan Obama kecil tidak suka dan tidak bisa menyanyi, namun saat tumbuh dewasa, malah senang menyanyi -- ini seperti menyiratkan betapa lingkungan tempat dia tinggal, hidup, bersosialisasi, bergaul , bermasyarakat dan bekerja banyak mengubah figur yang waktu itu mungkin "introvert" dan "pemalu" menjadi figur yang cerdas, sportif, amanah, atletis dan penuh percaya diri saat dewasanya.

Kalimat terakhir tadilah yang menurut saya contoh dari keberhasilan pendidikan yang tidak melulu menjadi menara gading yang lupa dengan sekelilingnya, namun bisa blending sehingga apapun kecerdasan seseorang menjadi optimal dan maksimal bisa terarahkan menjadi seseorang yang sukses di kemudian harinya. Saya hanya berpikir apa jadinya bila Obama kecil terus bersekolah di negeri ini? Apakah potensinya tergali dan tereksplor secara maksimal?

Gurunya mengatakan Barry, nama kecilnya, menyukai pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), padahal di negeri ini pada zaman awal orde baru itu, lulusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), selalu didengungkan sebagai orang yang lebih pintar dan pandai karena ilmu eksaktanya. Padahal setiap orang berdasarkan penelitian psykologi terbaru, tidak hanya IQ tinggi dalam bidang akademis sebagai penentu sukses, tapi juga EQ (Emotional) dan SQ (Spiritual) juga merupakan faktor lain penunjang orang menjadi sukses.  

Obama termasuk kelompok diaspora atau kata lainnya perantau karena pernah bersekolah di negeri ini, namun kata perantau itu tidak berkonotasi sukses, maka istilah Diaspora ini digunakan. Jumlah diaspora Indonesia kata Ketua Diaspora Indonesia, Dino Patty Djalal, ada sekitar antara 6-8 Juta orang dan jumlah ini sebanyak jumlah diaspora Korea Selatan (Korsel), namun bedanya kekuatan ekonomi diaspora Korsel luar biasa besar, apalagi bila dibandingkan dengan jumlah diaspora India yang menjadi 20 juta orang sehingga membuat banyak pengaruh pada ekonomi India. Artinya tidak hanya Obama saja yang sukses,namun banyak juga diaspora Indonesia yang cinta tanah air dan sukses di negeri orang.

Kembali ke pendidikan di Indonesia yang tiap ganti menteri pendidikan selalu ganti kebijakan, saatnya melihat pendidikan Indonesia bukan dengan kacamata kuda tapi juga nurani, alias bagaimana memanusiakan siswa dan guru. Janganlah melihat siswa dan guru dari kacamata statistik, tapi dari kapasitas menggali potensi mereka dengan memberikan contoh dan tauladan yang baik.

Dan pendidikan itu bukan cuma stake holdernya para guru, dosen dan pendidik lainnya, tapi juga pemimpin, pejabat, aparat, dan masyarakat. Selama larangan merokok, korupsi, sumpah serapah, perselingkuhan,intoleran, ketidak-jujuran, praktik mark-up proyek, eksploitasi alam tanpa perhitungan, narkoba, hedonisme, konsumerisme, dan tindakan buruk lainnya terlihat di sekitar kita tanpa filter serta ditunjang oleh eksekusi hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, pendidikan apapun mau full day school, lima hari seminggu, atau mengaji 24 jam tidak akan efektif dan menghabiskan dana tanpa hasil.

Ingat guru, dosen dan pendidik hanya fasilitator alias bukan satu-satunya sumber ilmu dengan maraknya teknologi digital dan gawai. Jadi pendidikan dimulai dari budi pekerti dan lainnya berasal dari rumah, dan mereka mendapatkan pendidikan yang baik di rumahnya, inshaa Allah, akan sukses juga di luar rumah. Lihat Obama dengan keramahan, kesederhanaan dan kesuksesannya, pastilah kita bangga melihatnya, kalau dia pernah bersekolah di Indonesia walaupun tidak lama.  

"Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek."  (Perubahan tidak akan terjadi kalau kita menunggu orang lain melakukannya dan menunggu saatnya. Kita adalah orang yang sudah menunggu. Kita adalah pengubah (nasib) yang kita cari sebenarnya). --Barack Obama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun