Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Buat Apa?

27 Juli 2015   17:22 Diperbarui: 27 Juli 2015   18:01 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini pastilah orang tua pada sibuk mengantarkan anaknya masuk sekolah dari taman kanak-kanak hingga SMA/SMU/SMK. Semua sibuk memperhatikan keperluan anak akan pendidikan bagi masa depannya yang semoga saja gemilang dan sesuai harapan. Setelah lebaran, pastilah para orang tua dengan dana yang tersisa atau yang memang sudah dianggarkan membeli keperluan dari alat tulis, buku tulis, buku paket, seragam sekolah dan tak kalah penting apalagi kalau bukan sekolahnya. Bagi yang beruntung masuk sekolah negeri pastilah kebutuhannya tak setinggi di sekolah swasta yang tidak punya subsidi/bantuan dari pemerintah. Ada pendapat hidup itu bahagia bila anak belajar di sekolah favorit, dekat dengan rumah, guru-gurunya handal, dan minim biaya ekstra. Cuma sayang pendapat diatas cuma sedikit yang menikmatinya, yang ada malah sebaliknya. NEMnya bagus, tapi sekolah favorit tidak didapat. Sekolah Favorit didapat, tapi alamatnya jauh. Tak ada gading yang tak retak...nobody's perfect kata pepatah Inggris. 

Bagi mereka yang sudah masuk SMP dan SMA , sekarang disebut kelas 7 hingga 12, tantangan mereka bukanlah bagaimana membaca dan menghitung lagi, tapi bagaimana mereka bisa berkonsentrasi. Dengan banyaknya gadget dan telpon genggam terbaru dengan fitur yang menggiurkan, pastilah perhatian mereka akan pelajaran akan terbagi-bagi. Nggak perlu juga belajar, saat berbicara dengan orang tua bahkan guru, mereka sering sulit fokus bila tidak mengecek dan melihat gadget yang mereka miliki. Survey terakhir menunjukkan anak-anak remaja di Indonesia lebih memilih telpon genggam dibandingkan televisi baru. Bagi remaja penting kedekatan dengan orang tua untuk bertukar informasi akan hal-hal baru yang mereka temui dan berbeda saat mereka SD. Disinilah letak komunikasi itu dibangun dengan hangat antara orang tua dan anak, karena bila ini terabaikan, bisa kemungkinan para remaja mencari pihak lain untuk memuaskan keingin-tahuannya dan banyak fakta menunjukkan tanpa kehadiran orang tua, banyak remaja tersesat dalam hidupnya.

Bagi anak-anak taman kanak-kanak dan sekolah dasar, mungkin masih bisa ditangani baik guru maupun orang tua, namun jangan lupa mendidik mereka itu juga perlu kesabaran luar biasa. Saya cuma bisa bergumam dalam hati betapa berjasanya guru TK dan SD saya yang dengan sabar mendidik saya dari bengal menjadi baik, dari nakal menjadi terdidik.  

Sekolah buat apa dong kalau bukan jadi pinter? Iya itu salah satu tujuannya, tapi yang terpenting kita menjadi orang yang terdidik terutama budi pekerti kita agar menghargai orang lain, sebagaimana mereka menghargai kita. Disinilah letak pentingnya pendidikan saat ketika masih belajar di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Nilai-nilai inilah yang tercermin dari guru-guru terutama lewat tauladan dan kebiasaan baik mereka. Walaupun pada prakteknya, apa yang murid dapatkan di sekolah kalah pengaruhnya dengan apa mereka dapatkan di rumah. Faktanya, kalau anak jadi bandel justru para guru disalahkan-padahal 2/3 dari waktu sehari-hari ada di rumah. Kasus-kasus tawuran, seks bebas, narkoba dan kenakalan lainnya pastilah akan mudah dibasmi di sekolah, tapi kalau di rumah siapa yang harus bertanggung jawab, jelas orang tualah yang paling bertanggung-jawab. 

Kita masih ingat ketika ditanya kalau besar mau jadi apa? Pastilah kita menjawab dengan rasa bangga mau jadi dokter, insinyur, polisi, arsitek dan lain-lain. Tapi faktanya ketika kita besar cita-cita tinggal cita-cita..menjadi orang yang benar dan lurus saja sudah alhamdulillah. Sering kita melihat pada kenyataan ada teman yang paling pintar di sekolah jadi dokter kok miskin, tapi teman yang paling nakal di sekolah dan sekarang jadi pengusaha kok kaya? 

Kaya atau Miskin itu memang relatif, kalau dokter itu miskin mungkin karena pengabdiannya dan juga lulusan kedokteran sudah terlalu banyak? Sementara jadi pengusaha memang fokusnya cari uang, dan ketika dia kaya karena dia sudah berulang kali bangkrut jadi dia belajar cepat untuk melompat lagi-dan faktanya tidak semua pengusaha kaya/sukses juga akhirnya. Nah inilah mentalitas yang seharusnya sekolah bisa tularkan bahwa sekolah itu hanyalah sebuah jenjang untuk secara bertahap menaikkan kualitas kecerdasan kita baik IQ, mental,sosial dan spiritual kita. Artinya juga kalau menjadi kaya itu jelas tidak salah, tanpa uang yang banyak kita tidak bisa terbang tinggi dan punya kesempatan untuk berderma kepada orang miskin. Tapi uang yang bagaimana yang kita cari, jelas bukan hasil korupsi dan manipulasi, tapi lewat usaha keras untuk mendapatkan pengakuan lewat profesi kita yang kita jalani.

Sekolah seharusnya mementingkan usaha dan proses bukan hasil. Angka itu hanya nilai kuantitas yang tidak mencerminkan kualitas dan kemampuan siswa. Hal ini pun seharusnya didukung orang tua yang menanamkan budaya kejujuran bukan nyontek, budaya proses dan prosedur bukan jalan pintas serta budaya bercermin pada diri sendiri bukan menyalahkan kondisi, orang lain bahkan guru. Kata pepatah intan ya tetap intan walaupun ada di tempat berlumpur. Tapi bagaimanakah intan itu muncul dan ditemukan, dimulai dari mentalitas pribadi yang baik dimana baik dan taat kepada Tuhan, menghormati orang tua , dan mampu silaturahmi dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, rumah dan sekitarnya secara baik, disamping belajar dengan serius serta bekerja keras untuk bisa. Pintar itu memang modal ibarat pisau kalau tidak diasah ya lama-lama tumpul.

Back to school means to strive forward to get your goals. Your future is your efforts not your parents'or even your teachers'. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun