Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Perkuat TVRI

12 Mei 2015   07:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14313911291561056337

Menyaksikan keinginan Presiden RI, Joko Widodo, agar warga perbatasan tetap mempunyai nasionalisme yang kuat atau setara dengan warga negara Indonesia lainnya (yang hidup tidak di perbatasan) merupakan langkah cerdas. Namun kita juga paham itu tidak hanya melulu soal informasi dan hiburan yang membuat warga jadi punya kebanggaan berbangsa dan bernegara Indonesia, namun juga harus ditopang pembangunan dan pemerataan kesejahteraan kepada mereka, karena tanpa itu keinginan ini akan sulit tercapai. Dengan hadirnya teknologi internet,bukan saatnya sekarang warga perkotaan merasa lebih pintar, tahu, paham dan melek dengan perkembangan dunia. Pendidikan online sekarang memungkinkan orang dimana saja tinggal mendapatkan akses. Kecerdasan internet dalam memberikan informasi baik video, audio, teks dan gambar sudah paripurna tinggal kecepatannya saja yang perlu ditingkatkan.

Melihat keberadaan stasiun televisi yang mendapatkan hak siaran nasional (seluruh Indonesia) selain TVRI, ada RCTI, SCTV, MNC (dulu TPI), ANTV, Indosiar (IVM), Trans TV, Trans 7, Global TV, Metro TV, dan TV One, ternyata mereka lebih banyak memikirkan dan mengedepankan program-program unggulan yang banyak memikat pemirsa dengan patokan peraihan rating dan share berdasarkan survey AC Nielsen , lembaga satu-satunya yang diakui secara nasional dan internasional. Saat ini laporan dari lembaga rating yang milik asing (AS) ini memang menjadi tolok ukur kepopuleran dari program-program yang ditayangkan di 10 televisi nasional, yang uniknya tidak mengikutsertakan program-program dari TVRI karena berdasarkan perhitungan mereka relatif berating rendah dan tidak kompetitif.

Ladang bisnis ini yang membuat banyak program-program yang tayang di stasiun-stasiun televisi komersil hanya memikirkan program-program yang disukai pemirsa yang tentu saja lebih memihak ke aspek hiburan dan informasi yang kadar kualitas pendidikan dan pencerahannya rendah, mengingat masih banyak rakyat Indonesia yang juga berpendidikan rendah juga. Ketidak-berimbangan jumlah dan jam tayang program seperti ini membuat tayangan televisi stasiun nasional sangat monoton dan menggiring penontonnya untuk "hanya" menyaksikan program-program yang miskin cinta produk dalam negeri, kepedulian kepada sesama, dan terakhir ketahanan dan pertahanan nasional (nasionalisme). Bagi anda yang masih bisa menonton program-program dari Kompas TV, anda sungguh beruntung selain mendapatkan informasi aktual, juga tayangan-tayangan yang berimbang dan berkeadilan dalam cita dan rasa. Sama seperti sebuah lagu yang sebenarnya biasa aja kalau tidak bisa dibilang nggak enak, kalau terus diperdengarkan terus , orang akan lama-lama terbiasa menyenandungkan dan lama-lama jadi "enak" , walaupun aslinya memang "nggak enak" karena nggak ada isinya yang mencerahkan. Mau contoh? Coba sesekali anda menonton dan menyimak tayangan di salah channel di TV Kabel , V Channel, lagu-lagu itu terasa "aneh" pada waktu awal ditayangkan, namun karena seringnya melihat dan mendengar dengan frekuensi bisa 10x tayang perhari, lama-lama anda pasti ingin tahu, ini lagu apa, siapa yang bernyanyi, liriknya tentang apa dan gaya bernyanyi serta presentasi videonya seperti apa. Analogi inilah yang saya bisa samakan dengan tayangan-tayangan tv nasional yang lebih mengedepankan aspek "ngepop" dan "ngetrend" tapi esensinya tidak kental malah cenderung kering kerontang.

Kegalauan para pendidik dan orang tua banyak penonton Indonesia akan tayangan-tayangan yang dianggap kurang mendidik pada banyak televisi swasta nasional harusnya menyadarkan pemerintah untuk memperkuat TVRI sebagai stasiun televisi nasional  milik pemerintah dan satu-satunya memiliki tag line untuk persatuan dan kesatuan. Revitalisasi TVRI tidak hanya lewat tehnik dan sumber daya manusia, tapi juga kebijakan untuk bisa "bersaing" dengan adik-adiknya yang sudah lebih dulu masuk ke area "pertempuran", tanpa melupakan misi nasionalisme TVRI. Perkuat juga pendanaan agar TVRI mampu memproduksi tayangan lokal berkualitas dan mampu membeli program-program menarik dari dalam dan luar negeri. Berikan juga kesempatan TVRI juga bekerja-sama dan membeli produk-produk berkualitas dari banyak production house kreatif di negeri ini.Beli program dengan cerita berdasarkan adat budaya lokal, jangan nama lokal, konten antah berantah.

Dengan pengawasan dari DPR, serta dikelola oleh para profesional yang tidak hanya memikirkan soal rating, perlahan tapi pasti, dana dari pemerintah akan bisa dikelola dan kelak TVRI makin sedikit menerima sumbangan dari pemerintah dan mampu mandiri. Sesuatu yang mungkin ideal, tapi apa salahnya dicoba, karena dengan jaringan di seluruh Indonesia, TVRI adalah televisi yang sebenarnya sangat mampu menebarkan rasa cinta kepada negeri sendiri tanpa harus diganggu oleh keinginan sponsor-sponsor tertentu yang sarat dengan misi konsumerisme.

Dengan mandegnya rancangan undang-undang yang memungkinkan hanya TVRI bersiaran nasional sementara televisi swasta nasional harus bekerja sama dengan televisi-televisi lokal , yang sebenarnya untuk membagi rata kue ekonomi (pemasukan dari sponsor), yang ternyata sebagian besar malah tv lokalnya juga mereka yang punya, artinya undang-undang ini malah sudah pingsan bahkan mati sebelum disahkan.

Kembali ke misi dari pemerintahan Jokowi/JK sekarang, apakah masih menganggap TVRI cuma jadi monumen atau landmark masa lalu yang dibiarkan jadi saksi atau penonton kepongahan adik-adiknya atau segera merevitalisasi TVRI untuk bisa bersaing, semua kembali ke kebijakan pemerintahan ini. Kalau pemerintahan ini pro kepada program program yang lebih variatif, berimbang, punya nasionalime, mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak merangsang konsumerisme dan gaya hedonisme, sudah selayaknya TVRI diberikan peran lebih besar dan berarti.

Legacy pemerintah ini akan dilihat dengan kebijakannya yang memberikan warisan terbaik buat generasi berikutnya dan itu lewat tayangan yang punya meaning dan understanding jati diri bangsa ini. Masak kita nonton acara televisi yang sebenarnya bukan adat dan budaya kita? Kok kita jadi tamu di negeri sendiri?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun